Shalat Ghaib: Pengertian dan Hukum Menshalati Jenazah yang Sudah Dikubur

 
Shalat Ghaib: Pengertian dan Hukum Menshalati Jenazah yang Sudah Dikubur
Sumber Gambar: Ilustrasi shalat ghaib (foto ist)

Laduni.ID, Jakarta - Shalat ghaib adalah shalat jenazah yang jenazahnya tidak berada di hadapannya, tetapi berada di lain tempat, bisa jadi di desa lain ataupun di negara lain.

ﻻَ ﺗَﺼِﺢُّ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻤَﻴِّﺖِ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﺃَﻯْ ﺍﻟْﺒَﻠَﺪِ ﺍﻟَّﺘِﻲْ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﻤُﺼَﻠِّﻲْ ﺣﺎﺿﺮﺍ ﻓﻴﻬﺎ ﻭﻟﻢ ﻳﺤﻀﺮ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻤﻴﺖ : ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺒُﺮَﺕْ ﺍَﻟْﺒَﻠَﺪُ ﻟَﺘَﻴَﺴَّﺮَ ﺍﻟﺤُﻀُﻮْﺭُ ﻏﺎﻟﺒﺎ، ﻭﺍﻟْﻤُﺘَّﺠَﻪُ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻤُﻌْﺘَﺒَﺮَ ﺍﻟْﻤَﺸَﻘَّﺔُ ﻭَﻋَﺪَﻣُﻬَﺎ ﻓَﺤَﻴْﺚُ ﺷَﻖَّ ﺍﻟْﺤُﻀُﻮْﺭُ ﻭَﻟَﻮْ ﻓِﻲ ﺍْﻟﺒَﻠَﺪِ ﻟِﻜِﺒَﺮِﻫَﺎ ﻭَﻧَﺤْﻮِﻩِ ﺻَﺤَّﺖْ، ﻭَﺣَﻴْﺚُ ﻻَ ﻭَﻟَﻮْ ﺧﺎَﺭِﺝَ ﺍﻟﺴُّﻮْﺭَ ﻟَﻢْ ﺗَﺼِﺢَّ ﻛَﻤَﺎ ﻧَﻘَﻠَﻪُ ﺍﻟﺸِّﺒْﺮَﺍﻣُﻠِﺴِﻰ ﻋَﻦْ ﺍِﺑْﻦِ ﻗﺎَﺳِﻢٍ، ﻓَﻠَﻮْﻛﺎَﻥَ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖُ ﺧَﺎﺭِﺝَ ﺍﻟﺴُّﻮْﺭَ ﻗَﺮِﻳْﺒﺎ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﻛَﺪَﺍﺧِﻠِﻪِ ﻭَﺍﻟْﻤُﺮَﺍﺩُ ﺑِﺎﻟْﻘَﺮِﺏِ ﻫُﻨﺎَ ﺣَﺪُّ ﺍْﻟﻐَﻮْﺙِ ‏( ﻧﻬﺎﻳﺔ ﺍﻟﺰﻳﻦ ﺹ 160-159 ‏)

“ Tidak sah shalat mayit di suatu daerah yang memungkinkan untuk datang, namun dia tidak menghadirinya: walaupun daerah tersebut luas dan mudah dijangkau. Dan menurut qoul yang diunggulkan sesungguhnya hal yang menjadi pertimbangan adalah ada atau tidak adanya kesulitan untuk menghadirinya, apabila ada kesulitan maka shalatnya sah . (Nihayah al-Zain hal.159-160)

Shalat Ghaib hukumnya sah menurut qaul mu’tamad, pelaksanaan shalat ghaib tersebut dikatakan sah apabila tidak memungkinkan menghadiri shalat jenazah. Sebagaimana diterangkan dalam Nihayah al-Zain;

ﻭَﺗَﺼِﺢُّ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓُ ﻋَﻠَﻰ ﻏَﺎﺋِﺐٍ ﻋَﻦْ ﺑَﻠَﺪٍ ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠِّﻢَ ﺻَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺠَﺎﺷِﻲْ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﺑِﺎﻟْﻤَﺪِﻳْﻨَﺔِ ﻳَﻮْﻡَ ﻣَﻮْﺗِﻪِ ﺑِﺎﻟْﺤَﺒَﺸَﺔِ ‏( ﻧﻬﺎﻳﺔ ﺍﻟﺰﻳﻦ ﺹ 159 ‏)

”Sah pelaksanaan shalat ghaib di suatu daerah, karena Nabi Saw. telah menshalati orang Najasyi Ra. di Madinah waktu dia wafat di Habasyah. (Nihayah al-Zain, hal. 159)

Jika seorang menyalati jenazah di hari meninggalnya setelah dimandikan, hukumnya adalah sah, sebagaimana pendapat Imam Ar-Rayani. Juga menyalati jenazah yang telah dimakamkan, hukumnya juga sah karena Rasulullah pernah menyalati jenazah yang sudah dikubur (HR Bukhari dan Muslim dan Imam Darul-Quthni ). (Lihat dalam kitab Kifayatul Ahyar I hlm 103-104).

Dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim juga jelas tertera: Ada seorang Najasi meninggal Rasulullah segera memberi tahu para sahabatnya, sabdanya: ” Saudara kita di negeri Habasyah telah meninggal shalatlah kalian untuknya .” Mereka pun keluar menuju lapangan, membuat barisan, dan mengerjakan shalat untuknya. ( Tafsir Ibnu Katsir I hlm. 443)

Dalil ketiga: ”Boleh menyalati beberapa jenazah dengan sekali shalat dan niat untuk semua secara global.” Disebutkan juga boleh dengan niat ”ijmal” artinya seperti dalam kalimat saya niat shalat untuk para jenazah muslim atau, berniat shalat seperti sang imam menyalati saja. (dalam kitab Fathul Mu’in , juga Ianatut Thalibin II , 132-135).

Sedangkan ”Batasan ”ghaib” adalah bila seseorang berada di sebuah tempat di mana panggilan adzan sudah tak terdengar. Di dalam kitab Tuhfah disebutkan: Jika sudah di luar jangkauan pertolongan.” ( Bughyatul Musytarsyidin , hlm 95)

Sebagaimana Keputusan bahtsul masail Syuriah NU se-Jateng 1984, Ketentuan jarak untuk Shalat Ghaib ada tiga versi: (1) Jarak 44 meter, (2) Jarak 1666 meter (1 mil), (3) Jarak 2000 – 3000 meter.


Source: Nihayah al-Zain hal.159-160, HR Bukhari dan Muslim dan Imam Darul-Quthni, Tafsir Ibnu Katsir I hlm. 443, Kitab Fathul Mu’in, Bughyatul Musytarsyidin , hlm 95