Literasi dalam Islam : Perbedaan Syarah dan Taqrir

 
Literasi dalam Islam : Perbedaan Syarah dan Taqrir

Baca : Literasi dalam Islam : Perbedaaan Syarah dan Hasiyiyah

LADUNI.ID - Jika kita sudah paham perbedaan antara syarah dengan hasyiyah, maka insya Allah kita akan mudah memahami perbedaan antara syarah (الشرح) dengan taqrir (التقرير) (silakan dibaca catatan saya yang mengupas perbedaan syarah dengan hasiyah yang berjudul “Apa Bedanya “Syarah” Dengan “Hasyiyah”?”)

“Taqrir” adalah bentuk “mashdar” dari kata kerja “qorroro” (قرّر) yang secara bahasa bisa bermakna menetapkan, menguatkan, memutuskan, membuat mengakui dan membuatnya jadi keputusan. Bentuk jamak dari “taqrir” adalah “taqorir” (تقارير) atau “taqrirot” (التقريرات).

Dalam istilah para ulama pengarang kitab, sebutan “taqrir” dipakai untuk menunjukkan versi lebih dalam dari sebuah “hasyiyah” karena “taqrir” adalah penjelas “hasyiyah”. Maksudnya, jika “hasyiyah” adalah penjelas syarah, maka “taqrir” adalah penjelas “hasyiyah”. Dengan kata lain “taqrir” adalah “syarah”nya “hasyiyah”, atau “syarah” dari “syarah”nya “syarah”.

Kita ambil contoh kitab fikih mukhtashor bermazhab Asy-Syafi’i yang bernama Al-Ghoyah wa At-Taqrib atau yang lebih terkenal dengan nama matan Abu Syuja’.

Kitab ini disyarah oleh Ibnu Qosim Al-Ghozzi/Al-Ghorobili dalam karyanya yang bernama “Fathu Al-Qorib”. Artinya, kitab “Fathu Al-Qorib” adalah jenis kitab yang terkategori syarah.

Lalu kitab “Fathu Al-Qorib” ini disyarah lagi oleh “Al-Bajuri”. Hal ini bermakna karya Al-Bajuri tersebut terklasifikasi sebagai jenis kitab berupa hasyiyah, sehingga kitab tersebut diberi nama Hasyiyah Al-Bajuri.

Kemudian, ada satu tim ulama’ Al-Azhar yang bangkit membuat penjelasan tambahan, editing dan komentar terhadap “Hasyiyah Al-Baijuri” ini, kemudian karya mereka diberi nama “Taudhihu Al-Baijuri ‘Ala Syarhi Ibni Qosim Li Matni Abi Syuja’”. Nah, kitab “Taudhih Al-Bajuri Ala Syarhi Ibni Qosim Li Matni Abi Syuja’” itulah yang dinamakan “taqrir”.

Jadi, taqrir itu adalah syarahnya hasyiyah.

Contoh lain kita mengambil kitab mukhtashor yang juga sangat populer di dunia Asy-Syafi’iyyah, yakni kitab “Minhaj Ath-Tholibin” karya An-Nawawi.

Kitab ini, meskipun sudah berupa mukhtashor (ringkasan), akan tetapi Zakariyya Al-Anshori meringkasnya lagi, sehingga lahir kitab yang lebih ringkas dan lebih tipis yang bernama “Manhaju Ath-Thullab”. Jadi, kitab “Manhaju Ath-Thullab” adalah mukhtashornya mukhtashor.

Kemudian, kitab “Manhaju Ath-Thullab” ini disyarahi sendiri oleh Zakariyya Al-Anshori dalam kitab yang berjudul “Fathu Al-Wahhab”. Berarti kitab “Fathu Al-Wahhab” adalah kitab yang terkategori kitab syarah.

Lalu, kitab “Fathu Al-Wahhab” dihasyiyahi oleh Al-Jamal (1204 H) dalam karya yang berjudul “Futuhat Al-Wahhab Bitaudhihi Syarhi Manhaji Ath-Thullab”. Berarti kitab “Futuhat Al-Wahhab Bitaudhihi Syarhi Manhaji Ath-Thullab” adalah kitab yang terkategori hasyiyah. Wajar jika karya ini kemudian lebih populer dengan nama “Hasyiyah Al-Jamal/Al-‘Ujaili”.

Kemudian kitab “Hasyiyah Al-Jamal” ini kemudian disyarahi lagi oleh Al-Kalawi (w. 1334) dalam karya yang bernama “Taqrirot Al-Kalawi”. Nah, kitab Taqrirot Al-Kalawi inilah yang dimaksud dengan taqrir.

Jadi, sekali lagi, pengertian taqrir adalah syarahnya hasyiyah atau hasyiyahnya hasyiyah. Oleh karena taqrir itu juga sejenis dengan hasyiyah, dalam batas tertentu ia bisa disinonimkan dengan hasyiyah, tapi dalam konteks yang lain tetap dibedakan dengan hasyiyah. Dari sisi ketebalan, taqrir biasanya lebih singkat daripada hasyiyah.

“Taqrir” yang merupakan syarah hasyiyah ini masih bisa disyarah lagi dengan “taqrir” baru dan biasanya disebut “taqrir ‘ala taqrir”. Tetapi ini jarang dan hanya terjadi pada kitab-kitab tertentu.

Tentu saja, jika ada kitab yang sampai level ini perhatian ulama terhadapnya (yakni sampai dibuatkan taqrir), maka hal itu menunjukkan level urgensinya yang sangat tinggi. Tingkat kedalaman yang disajikan juga akan semakin tinggi, semakin luas, semakian variatif dan semakin kaya, karena umumnya penjelas dari sebuah kitab akan menyajikan informasi yang tidak disebutkan oleh kitab yang dijelaskan. Jadi, ketika sebuah kitab sampai dijelaskan ke level “taqrir”, maka hal itu menunjukkan kitab tersebut telah didalami oleh ulama sampai empat level. Dikatakan empat level karena level pertama kitab adalah level “mukhtashor/manzhumah”, level kedua adalah “syarah”, level ketiga adalah “hasyiyah”, dan level keempat adalah “taqrir”. Empat level inipun kadang untuk kitab tertentu naik menjadi lima, karena “taqrir” dalam kasus tertentu juga ada yang membuatkan “taqrir”nya lagi (“taqrirut taqrir/taqrir ‘ala taqrir”).

“Taqrir” lebih tinggi daripada “hasyiyah” karena penulis “taqrir” sudah pasti mengkaji matan, syarah dan hasyiyah. Dari hasil bacaan kritisnya itu kadang-kadang penulis “taqrir” mengkritik penulis matan, penulis syarah, atau penulis hasyiyah.

Dari sisi waktu penulisan, “taqrir” pasti datang sesudah “hasyiyah”. Tidak mungkin ada “taqrir” yang dikarang sebelum “hasyiyah”, karena hakikat “taqrir” adalah syarahnya “hasyiyah”. “Taqrir” pasti muncul setelah keluar “hasyiyah”. Tidak mungkin ada “taqrir” yang muncul sebelum “hasyiyah”, karena “taqrir” memang dibuat untuk mensyarah, mengomentari, mengkritisi dan menjelaskan hasyiyah.

Hanya saja, jika ada nama kitab yang mengandung lafaz “taqrir”, maka kitab itu tidak selalu bermakna taqrir yang dibahas dalam tulisan ini. Maksudnya, jika ada nama kitab yang mengandung taqrir, jangan langsung difahami bahwa kitab tersebut adalah syarah dari hasyiyah tertentu.

Contohnya kita ambil misalnya kitab “At-Taqrirot As-Sadidah Fi Al-Masa-il Al-Mufidah” karya Hasan Al-Kaf. Kitab ini tidak tergolong kitab “taqrir” yang bermakna syarah hasyiyah, karena kitab ini adalah hasil ringkasan dari kajian dengan guru penulis yang bernama Zain bin Sumaith. Secara fakta, kitab ini bisa dianggap sebagai syarah dari “manzhumah” karya Ibnu Roslan yang bernama Shofwatu Az-Zubad (صفوة الزبد) atau disebut juga Alfiyyatu Az-Zubad. Shofwatu Az-Zubad adalah versi puisi dari matan terkenal di kalangan Asy-Syafi’iyyah yang bernama Matan Az-Zubad karya Hibatullah Al-Barizi. Sisi “modern” kitab At-Taqrirot di antaranya, bab-bab dibagi dengan penomoran sistematis, ada tabel-tabel perbandingan, dan ada konversi besaran plus satuan dengan ukuran modern.

Lafaz taqrir dalam kitab “At-Taqrirot As-Sadidah” lebih dekat dipahami dengan makna bahasanya yakni bermakna tatsbit/penetapan (hukum) atau mungkin juga dimaksudkan bermakna syarah, karena makna lain “taqrir” dalam istilah fuqoha’ adalah syarah atau “bayanu al-ma’na bi Al-‘ibaroh” (menjelaskan makna dengan ungkapan).

Oleh; Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)