Pentingnya Syarah dalam Penyembelihan Hewan Kurban

 
Pentingnya Syarah dalam Penyembelihan Hewan Kurban

LADUNI.ID, Jakarta - Membaca bismillah tentunya sering kita lakukan di setiap aktivitas yang akan kita lakukan, tidak terkecuali ketika akan menyembelih hewan kurban. Namun, bagaimana ketika misal kita lupa membaca bismillah saat kita menyembelih hewan kurban? Apakah sah hewan kurban yang disembelih tanpa membaca bismillah?

Berdasarkan penjelasan KH Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha, dalam matan diterangkan bahwa penyembelihan hewan itu harus membaca bismillah. Namun demikian, apakah kata “harus” dalam matan itu berarti tentang sah tidaknya hewan kurban yang kita sembelih? Apakah kata “harus” itu hanya sebagai etika atau afdhaliyah? Atau, kata “harus” itu ditujukan agar kebiasaan atau kultur baik membaca bismillah ini  tidak hilang dan terus dilakukan?

Menurut madzhab Imam Syafi’I, sebagaimana Gus Baha terangkan, bahwa membaca bismillah ketika menyembelih hewan kurban adalah tidak wajib, tetapi lebih pada hal urusna etika atau afdhaliyah. Sehingga, tetap menjadi sah kurbannya orang yang tidak membaca bismillah baik secara sengaja atuapun lupa.

Kendati begitu, beberapa ulama memang mengatakan bahwa membaca bismillah itu wajib dan menjadi syarat sahnya penyembelihan hewan kurban. Sebab, dalam keterangan Gus Baha, karena dikaitkan dengan istilah pamit kepada Yang Memberi nyawa, yaitu Allah. Sehingga, untuk menghilangkan nyawa hewan kurban ketika tidak pamit, akan sangat tidak elok sementara hewan yang disembelih itu dagingnya akan dimakan.

Pentingnya Syarah

Jadi, dalam masalah tersebut yang tahu hanya syarah, perkara yang njilemet memang. Oleh karena itu tidak ada kitab matan yang induk, kecuali di-syarahi. Ada kitab matan namanya Taqrib misalnya, karangannya Abu Syuja’, kemudian di-syarahi kecil sekali oleh kitab Fathul Qarib yang dikarang Muhammad Qasim Al-Ghazy, terus di-syarahi oleh al-Bajuri, sehingga al-Bajury itu sudah syarhun ‘ala syarhin, jadi bukan syarhun ‘ala matnin. Itulah matan, dan umat Islam sangat butuh itu.

Misalnya kitab matan mengatakan bahwa yang disebut menyembelih adalah memotong hewan. Kemudian motongnya dari mana? Dari belakang atau depan? Pertanyaannya, ketika dari depan itu terpotong alhukum wal maridh misalnya, yang satu majrut tha’am, yang satu majran nafas. Tapi andaikan dari belakang bagaimana, tapi kan tetap terpotong.

Hal itu berbeda dengan kalangan sebelah, yang kalau tidak sunnah tidak akan dilakukan. Tapi cara berpikir kita tidak seperti itu, karena hal ini menyangkut status hukum halal atau haram ketika memotong hewan kurban misalnya. Kemudian muncullah perdebatan, mau dibilang haram nyatanya memenuhi syarat pemotongan, hukumnya baik, amrinya baik. Mau dibilang halal, jangan-jangan hewannya sudah mati karena sudah digorok dari belakang, nah begitulah ijtihad ulama.

Oleh karena itulah mau tidak mau kita harus bisa detail. Artinya, yang diatakan menyembelih itu apa dan bagaimana sebenanya. Bahwa, yang disebut menyembelih itu adalah mematikan hewan yang hidup dengan kaifiyah syariah. Nah, kata “hidup” ini mulai masalah, hidup yang apa? Misalnya ada ayam jago tertabrak mobil, tidak kita sembelih pun satu menit kemudian ayam itu akan mati. Pertanyaannya, ketika sudah kejang-kejang terus kita sembelih itu halal apa tidak? Padahal kenyataannya tidak kita sembelih pun ayam itu akan mati. Makanya penyembelihan ini tidak memberikan kontribusi pada kematian si ayam itu.

Di situlah kemudian muncul suatu perdebatan, karena status hewan itu ada hayatun mustaqirrah, ada hayatun ittirariyah, kemudian ada hayatun haraktu masbuk. Hal itu kalau tidak syarah tidak akan bisa.

Dalam kasus semacam ayam itu tadi, jika pada madzhab Syafi’I dihukumi tidak halal, karena hewan itu sudah tidak punya hayatun mustaqirrah, sebab satu menit lagi atau setengah menit lagi hewan itu akan mati.

Hal ini berbeda dengan Madzhab Maliki bahwa, dalam madzhab ini yang dikatakan hayatun mustaqirrah, hayatun ittirariyah, dan sebagainya itu diabaikan. Cara berpikir Imam Malik sebenarnya lebih matematis, kalau tidak disembelih itu matinya satu menit lagi, gara-gara disembelih dia mati sekarang. Berarti eksekutornya kematian ayam itu tetap pisau. Berarti pisau itu memenuhi kriteria mematikan yang masih hidup dengan cara syar’i.

Dengan demikian, dalam melaksanakan pembacaan bismillah ketika menyembelih hewan kurban misalnya, tetap harus  mengikuti syarah. Sebab hanya syarah lah yang tahu secara mendalam berdasarkan ijtihadiyah ulama tentang status halal atau haramnya suatu hal. Jadi tidak ujuk-ujuk menghukumi haram.