Literasi dalam Islam : Perbedaaan Syarah dan Hasiyiyah

 
Literasi dalam Islam : Perbedaaan Syarah dan Hasiyiyah

LADUNI.ID - Secara umum bisa dikatakan bahwa “syarah” (الشرح) dan “hasyiyah” (الحاشية) itu bisa saja dibedakan, akan tetapi tetap akan sangat susah dipisah tegas karena memang ada banyak sisi yang beririsan. Karenanya, banyak orientalis Barat yang menganggap dua macam gaya karangan ini sama saja karena begitu tidak mudahnya menemukan titik-titik perbedaan di antaranya keduanya.

Dalam bahasa singkat bisa dikatakan bahwa “syarah” adalah penjelasan dari sebuah kitab “matan”. Adapun “hasyiyah”, ia merupakan penjelasan dari “syarah” itu. Dengan kata lain “hasyiyah” adalah “syarah”nya “syarah”.

Kita ambil contoh umpamanya kitab “matan” Abu Syuja’ (penjelasan definisi “matan” silakan dibaca catatan saya yang berjudul “Mengenal Berbagai Macam Gaya Penulisan Kitab Fikih”). Kitab ini dijelaskan dan diuraikan isinya oleh Ibnu Qosim Al-Ghozzi dalam kitab yang bernama “Fathu Al-Qorib”. Oleh karena kitab “Fathu Al-Qorib” adalah penjelas “matan” Abu Syuja’ maka bisa kita katakan bahwa kitab “Fathu Al-Qorib” adalah kitab “syarah”. Kemudian kitab “Fathu Al-Qorib” ini di”syarah” lagi oleh Al-Bajuri dalam karya yang terkenal dengan nama “Hasyiyah Al-Bajuri”. Oleh karena karya Al-Bajuri itu adalah penjelasan dari sebuah “syarah”, maka karyanya kita golongkan dalam kitab “hasyiyah”. Demikianlah gambaran umum perbedaan antara “syarah” dengan “hasyiyah”.

Adapun perbedaan lebih detail, berikut ini akan dipaparkan karakteristik utama “syarah” dan “hasyiyah” sehingga dengan demikian akan lebih terlihat titik-titik perbedaan dan persamaan di antara keduanya.

“SYARAH”

“Syarah” adalah komentar penjelas (explanation commentary) untuk sebuah kitab “matan”. Lafaz “syarah” dijamakkan menjadi syuruh (الشروح). Ulama yang mengarang kitab “syarah” disebut dengan syarih (الشَّارِح).

“Syarah” melaksanakan tugas “tafshil mujmal” (memerinci yang global), “tabyin mubham” (menjelaskan yang belum jelas), “taqyidul muthlaq” (membatasi yang masih mutlak), “tash-hihul khotho’ (mengoreksi kesalahan), “fakkul ‘ibaroh” (menyibak makna ungkapan), dan “ta’lilat” (memberikan reasoning-reasoning). “Syarah” juga menyajikan “i’tirodhot” (sanggahan-sanggahan/keberatan-keberatan/objections). Kadang “syarah” juga memperkuat penjelasan “matan” dengan cara menyajikan dalil-dalil, istinbath dan wajhul istidlal. Kadang “syarah” juga memperluas bahasan dengan cara membahas “ushul” (dasar-dasar) yang dipakai oleh pengarang matan dalam menurunkan hukum-hukum cabang. Kadang pengarang “syarah” juga mengkritik beberapa cara penyajian yang ditulis oleh pengarang “matan”. Kadang “syarah” juga menonjol dalam memberikan contoh-contoh penjelas (“amtsilah”) dan “syawahid”.

Mengkaji “syarah” adalah tingkatan/level kedua setelah pelajar mengkaji “matan”. Orang yang sudah bisa membuat “syarah” dan sanggup menyajikan “i’tirodhot”, artinya dia sudah mencapai level ulama, karena dia sudah mampu membaca kritis yang sifatnya bertanggungjawab dan berargumentasi. Bahkan bisa dikatakan, orang yang sudah mencapai level men”syarah” sesungguhnya dia sudah merasakan dirinya selevel dengan pengarang kitab yang di”syarah”i sehingga sanggup menyajikan keberatan-keberatan. Karena itulah, orang yang membaca kitab “syarah”, levelnya bukan lagi orang yang sedang menimba ilmu untuk pertama kali, tapi level yang sudah masuk ke alam pikir seorang ulama yang sedang mendebat ulama yang lain dan cara ulama tersebut membaca pikiran ulama lain.

Adapun teknik penulisan “syarah”, maka para ulama menempuh jalan yang berbeda-beda. Ada ulama yang menulis “syarah” dengan cara langsung dicampur dengan “matan”. Untuk kepentingan pembedaan, “matan” hanya ditandai dengan cara diletakkan di dalam kurung. Cara ini dipakai oleh Ibnu Qosim Al-Ghozzi saat mengarang “Fathu Al-Qorib” (“syarah” “matan” Abu Syuja’). Kadang cara yang ditempuh adalah dengan mengutip terlebih dahulu satu kalimat dalam kitab “matan” atau satu paragraf, kemudian baru di”syarah”. Cara ini dilakukan oleh Ibnu Qudamah saat menulis kitab “Al-Mughni” (“syarah” “Mukhtashor Al-Khiroqi”). Terkadang, pengarang sengaja tidak mengutip “matan” secara lafaz, tetapi hanya mementingkan maknanya sehingga yang ditulis juga hanya makna “matan”. Ini adalah cara Al-Mawardi saat mengarang “Al-Hawi Al-Kabir” (“syarah” “Mukhtashor Al-Muzani”) termasuk juga cara Al-Juwaini saat mengarang “Nihayatu Al-Mathlab” (“syarah” “Mukhtashor Al-Muzani”).

Dari sisi tingkat keluasan penjelasan, “syarah” ada yang ringkas (wajiz), pertengahan (mutawassith) dan ada yang panjang lebar (muthowwal/mabsuth).

“HASYIYAH”

“Hasyiyah” (الحاشية)/”note” adalah penjelas “syarah”. Dengan kata lain bisa dikatakan “hasyiyah” adalah “syarah” untuk “syarah”. “Hasyiyah” dijamakkan menjadi “hawasyi” (الحواشي). Ulama yang mengarang kitab “hasyiyah” disebut “muhasysyi” (الْمُحَشِّيْ) dan aktifitasnya disebut “tahsyiyah” (التحشية). Istilah yang sinonom dengan “hasyiyah” atau mendekatinya adalah “ta’liq”/”ta’liqoh”, “qoul ‘ala”, “kalam ‘ala”, “nukat/tankit”, “thurroh/thuror”, dan “taqrir” . “Hasyiyah” biasanya diletakkan pada pinggir kitab. Peletakan dipinggir ini sesuai dengan makna bahasa “hasyiyah” yang memang secara bahasa bisa dimaknai “catatan pinggir”. Kadang hasyiyah juga diletakkan di bawah kitab.

Makna asal “hasyiyah” adalah seperti ini, lalu dikalangan mutaakhirin ada yang memperluas makna istilah “hasyiyah” sehingga sebagian dari mereka ada yang menggunakan istilah “hasyiyah” dengan makna “syarah”. Jadi tidak usah heran jika ada kitab yang dinamai “hasyiyah”, tapi isinya sama dengan “syarah” atau mirip dengan “syarah”. Kadang “hasyiyah” juga langsung disebut “syarah” jika isinya memang seperti “syarah”. “Hasyiyah” kadang juga ditulis hanya untuk mentakhrij ayat, hadis dan “syarah” kata-kata sulit.

Di zaman sekarang, “hasyiyah” kadang juga dimaknai “footnote”. Tapi istilah yang lebih populer untuk “footnote” adalah “hamisy” (الهامش) -yang dijamakkan menjadi “hawamisy”-, bukan “hasyiyah”.

“Hasyiyah” pasti muncul sesudah “syarah”. Tidak mungkin ada “hasyiyah” yang dikarang sebelum “syarah”, karena hakikat “hasyiyah” adalah “syarah” untuk sebuah “syarah”.

Ciri utama “hasyiyah” adalah tidak mengomentari semua ungkapan dalam kitab yang di”hasyiyah”i. Penulis “hasyiyah” hanya mengomentari hal-hal yang dianggap perlu saja. Titik ini menjadi perbedaan terpenting dengan “syarah”, karena “syarah” itu menyajikan seluruh “matan” kemudian dijelaskan, sementara “hasyiyah” hanya menyajikan sebagian saja, tidak semuanya. Sebagai konsekuensinya, “syarah” akan selalu memperhatikan “munasabah” (kesesuaian konteks) antara satu bagian dengan bagian yang lain, sementara “hasyiyah” tidak. Sangat biasa jika dalam “hasyiyah” itu antara penjelas satu hal dengan yang lain terputus sama sekali. Dengan deskripsi demikian, berarti bisa disimpulkan bahwa umumnya “hasyiyah” seharusnya pasti lebih kecil/tipis daripada “syarah” jika yang di”syarah” dan di”hasyiyah”i adalah kitab yang sama.

“Hasyiyah” tidak selalu berupa komentar terhadap “syarah”. “Hasyiyah” bisa juga komentar terhadap “matan”. Hanya saja ciri utama “hasyiyah” tetap terwujud, yakni hanya mengomentari yang dianggap perlu. Tidak mengomentari semua isi kitab.

Umumnya “hasyiyah” ditulis ulama bukan untuk dipublikasikan secara khusus, tetapi untuk koleksi pribadi agar lebih memudahkan mengkaji atau mengajarkan kitab. Memang, kemunculan “hasyiyah” biasanya diawali dari seorang ulama yang mengkaji sebuah kitab, atau mengajarkannya, atau memuroja’ahinya, lalu timbul “khowathir” (lintasan-lintasan ilmu), “thoro-if” (ilmu-ilmu unik), “nukat” (ilmu-ilmu halus), dan “lafatat jamilah” (catatan-catatan yang menarik perhatian nan indah).

Kemudian generasi berikutnya, setelah tahu nilai ilmu “hasyiyah” seperti ini, mereka memandang penjelasannya yang sangat berharga itu terasa sayang jika dibiarkan hanya menjadi catatan pribadi. Dari situ itu, “hasyiyah” tersebut kemudian dipisah-sendirikan dan disebarkan sebagai karya mustaqill. Oleh karena itu, sering kita temui dalam penjelasan karya-karya ulama ungkapan seperti, “lahu hasyiyah ‘ala kadza jurridat fi mujallad” (beliau mengarang “hasyiyah” untuk kitab “X” yang dipisahkan menjadi kitab tersendiri dalam satu jilid).

Berdasarkan paparan di atas, bisa dipahami bahwa dalam konteks tingkat kedalaman ilmu, “hasyiyah” itu umumnya lebih tinggi daripada “syarah”. Karena orang yang menulis “hasyiyah”, sudah pasti telah mengkaji “matan” dan mengkaji “syarah”. Tidak mungkin orang bisa menulis “hasyiyah” jika tidak paham betul apa isi “matan” dan apa isi “syarah”nya. Jadi pengarang “hasyiyah” adalah ulama yang sanggup mengkaji kritis ilmu penulis “matan” dan ilmu penulis “syarah” sehingga kadang-kadang setuju dengan penulis “matan + syarah” dan menguatkannya, kadang-kadang juga bisa tidak setuju dengan penulis “matan +syarah” dan membantahnya. Pengarang “hasyiyah” juga bisa berpendapat untuk menambahkan sejumlah hal yang belum dijelaskan oleh penulis “syarah”. Dengan demikian, pekerjaan penulis “hasyiyah” kalau di zaman sekarang adalah bagaikan seorang editor isi. Hanya saja, kualitas seorang pengarang “hasyiyah” bukan sekedar seperti editor isi formalitas, tapi editor isi yang sangat serius mengkaji paragraf demi paragraf, kalimat demi kalimat, bahkan kata demi kata sehingga sanggup menemukan hal-hal yang bahkan tidak sanggup ditemukan oleh penulis “syarah”.

Oleh karena ketinggian tingkat informasi dalam “hasyiyah” seperti ini, maka hanya pengkaji level “expert” yang bisa “menelan” “hasyiyah”. Untuk pemula jelas akan kesulitan.

Sudah dikenal sejak zaman dulu bahwa pelajar pemula akan dianggap menyia-nyiakan waktu jika langsung mencoba menelaah “hasyiyah”. Hal itu karena ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam “hasyiyah” memang diperuntukkan untuk pengkaji fikih level tinggi. Bagi pemula, seharusnya mereka mempelajari “matan”/muktashor dan menghafalnya, lalu naik ke “syarah”, bukan langsung mengkaji “hasyiyah”. Ahmad bin Hasan Al-‘Atthos (w.1334 H) berkata,

مَنْ قَرَأَ الْحَوَاشِي مَا حَوَى شَيْ

“Barangsiapa (di kalangan pemula) mengkaji “hasyiyah”, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa”

“Hasyiyah” hanya akan bermanfaat bagi orang yang level keilmuannya sudah tingkat lanjut/advanced, karena hal-hal yang umumnya sudah diketahui oleh pelajar tingkat lanjut tidak akan diterangkan oleh pengarang “hasyiyah”. Pengarang “hasyiyah” hanya akan menerangkan hal-hal yang paling sulit sehingga tetap bermanfaat bagi pelajar tingkat lanjut itu.

Adapun dari sisi fungsinya, -mirip “syarah”-, “hasyiyah” juga melakukan aktifitas “tafshil mujmal” (memerinci yang global), “tabyin mubham” (menjelaskan yang belum jelas), “taqyidul muthlaq” (membatasi yang masih mutlak), “tash-hihul khotho’ (mengoreksi kesalahan), “fakkul ‘ibaroh” (menyibak makna ungkapan), dan “ta’lilat” (memberikan reasoning-reasoning). Dalam “hasyiyah” terkadang juga disajika “ziyadat” (tambahan-tambahan) yang tidak dibahas oleh “syarah”. Jadi bisa juga dikatakan bahwa “hasyiyah” itu sifatmya melengkapi kekurangan “syarah”, mengoreksi penjelasan kelirunya, atau memperjelas ungkapan yang masih ambigu atau sulit dipahami/terpecahkan (mughlaq). Penjelasan lafaz yang dianggap susah ini biasanya menjadi ciri yang menonjol dari “hasyiyah”.

Oleh; Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)