Cerita Aktivis HTI Menipu Kiai NU Pakai "Sayyidina"

 
Cerita Aktivis HTI Menipu Kiai NU Pakai

LADUNI.ID, Jakarta - Pertama kali saya mengikuti Rakernas HTI di Bumi Perkemahan Cibubur tahun 2006. Diundang sebagai Mas’ul (Penanggung Jawab) HTI di Babel yang tanzhimnya baru dibentuk April 2004. Di sana berkumpul semua anggota Majlis Wilayah (DPP HTI) yang baru terpilih dan para mas’ul HTI dari berbagai daerah. Tidak banyak yang saya kenal dari mas’ul itu. Sedangkan dengan anggota Majlis Wilayah saya bisa ketemu langsung yang sebelumnya sering muncul di majalah Al-Wa’ie (majalah HTI) dan di website hizbut-tahrir.or.id.
 
Acara Rakernas dimulai dengan ta’aruf. Host pada sesi ini adalah AJ yang dikenal dengan nama GJ. Dia seorang syabab halaqah ula Hizbut Tahrir di Indonesia. Syabab halaqah ula maksudnya orang yang pertama-tama halaqah bersama Hizbut Tahrir di suatu tempat. GJ pertama kali halaqah di Universitas Jember. Masa itu (pertengahan 1980-1990-an) pimpinan tertinggi Hizbut Tahrir di Indonesia adalah Ust. Abu Fuad (Ahmad Saifullah). GJ ini anak seorang Kiai NU di Kediri. Sebagai anak Kiai dia sudah familiar dengan kitab kuning dan shalawatan. Kemudian dia merantau ke Jakarta, mungkin karena panggilan dakwah.

Saat acara ta’aruf ini, beliau bercerita tentang shalawatan. Katanya berhubungan dengan Kiai-kiai NU gampang, asal shalawat pakai “sayyidina” berarti NU. Nanti dianggap orang NU. Kiai NU tidak tahu kalau sebenarnya kita HTI. Terus beliau mencontohkan mengucapkan shalawat sambil menekankan suara ketika mengucapkan kata  “sayyidina.”

Saya datar-datar saja dan agak tidak nyaman menyimak ceritanya. Sedikit tersinggung. Makanya jadi teringat terus sampai sekarang. Rasanya terlalu sakral, shalawatan dijadikan bahan guyonan. Mudah-mudahan ini atsar dari kesukaan saya pada shalawat waktu sebelum bergabung dengan HTI. Tetapi ada juga peserta Rakenas ketawa-ketiwi. Mungkin merasa lucu membayangkan betapa lugu dan polosnya Kiai-kiai NU yang cukup bershalawat dengan “sayyidina” sudah menganggap NU seseorang.

Namun kini Kiai-kiai NU di kampung-kampung sudah melek dunia luar. Dengan teknologi digital, Kiai-kiai NU terkoneksi dari desa sampai ke luar negeri. Segala macam informasi politik dan keagamaan bisa mereka terima dari Kiai NU yang lain sehingga upaya penyesatan informasi dan opini yang dilakukan HTI kepada Kiai-kiai kampung tidak berdampak sama sekali.

Faktanya kini pesantren-pesantren NU di desa-desa dipegang oleh kiai, anak dan cucu kiai yang berpendidikan tinggi. Kebanyakan sarjana (S1) selain lulusan pasca sarjana. Tidak sedikit dari mereka lulusan kampus-kampus ternama di dalam negeri dan luar negeri. Artinya kiai-kiai NU di kampung-kampung cerdas-cerdas. Mereka tidak mudah ditipu HTI pakai kata "sayyidina".

HTI melafadzkan kata "sayyida" dalam shalawat tujuannya untuk menipu kiai-kiai NU agar diterima dan dianggap nahdliyin karena HTI sendiri tidak mentabanni (mengadopsi) secara khusus soal shalawatan. Shalawatan amalan pribadi yang tidak terlalu urgen untuk disamakan bagi semua anggota. Soal shalawatan terserah pribadi masing-masing. Namun demikian untuk memudahkan mendekati Kiai dan santri NU, aktivis HTI memilih bershalawat ala NU. Setidaknya meminimalisir resistensi Kiai dan santri NU terhadap HTI.

Sedari awal HTI menyadari penghalang terbesar dan terkuat berdirinya Khilafah mereka adalah NU. Mengingat NKRI merupakan hasil ijtihad syar’i sekaligus warisan ulama NU. Wilayah NKRI tidak boleh direplace oleh bentuk negara apapun termasuk Khilafah Tahririyah (Khilafah ala HTI).

Oleh: Ayik Heriansyah