Sejarah Arab Islam, Cermin Meneguhkan Komitmen Kebangsaan

 
Sejarah Arab Islam, Cermin Meneguhkan Komitmen Kebangsaan

LADUNI.ID - Setelah membaca sejarah Arab pra Islam sampai pada masa keemasan Islam ada relasi kontradiktif dengan apa yang terjadi hari ini di Indonesia. Arab bergerak dari jahiliyah ke intelektulaitas dengan hadirnya sejumlah Universitas ternama dunia. Tahun 1967 menjadi titik nadir kemerosotan Arab-Islam, hingga kini terus bergemuruh kembalinya politik identitas seperti awal mereka memulai peradabannya.

Saat ini Indonesia dikejutkan oleh dentuman kemarahan yang mengarah pada kebangkitan separatis. Kejadian di Malang, Surabaya dan Makasar menjadi suatu fenomena yang harus segera diwaspadai. Kejelian melihat pokok persoalan dan pandangan masa depan bangsa ini menjadi suatu langkah yang sangat krusial. Pengelola…
[13.56, 20/8/2019] Ahmad Tijani Lakpesdam NU Pontianak: SEJARAH ARAB ISLAM, CERMIN MENEGUHKAN KOMITMEN KEBANGSAAN

Jika kita membaca sejarah Arab pra Islam sampai pada masa keemasan Islam ada relasi kontradiktif dengan apa yang terjadi hari ini di Indonesia. Arab bergerak dari jahiliyah ke intelektulaitas dengan hadirnya sejumlah Universitas ternama dunia. Tahun 1967 menjadi titik nadir kemerosotan Arab-Islam, hingga kini terus bergemuruh kembalinya politik identitas seperti awal mereka memulai peradabannya.

Saat ini Indonesia dikejutkan oleh dentuman kemarahan yang mengarah pada kebangkitan separatis. Kejadian di Malang, Surabaya dan Makasar menjadi suatu fenomena yang harus segera diwaspadai. Kejelian melihat pokok persoalan dan pandangan masa depan bangsa ini menjadi suatu langkah yang sangat krusial. Pengelolaan yang keliru akan berakibat fatal terhadap keutuhan NKRI.

Tentu kita semua tidak ingin anak cucu kita hanya membaca cerita kebesaran bangsa ini tanpa menikmati kebesarannya. Kita semua yang hadir hari ini mendapat tanggung jawab yang sama untuk terus melanggengkan kebesaran dan pluralitas bangsa ini.

Perbedaan daerah, etnis dan budaya tidak harus membelah integrasi bangsa. Komitmen konstitusional dan khazanah inspiratif dari narasi bhineka tunggal ika harus terus dijaga dengan saling memahami dan menghormati. Memahami dalam perselisihan dan menghormati perbedaan, baik itu karena bawaan generik atapun hasil olah dialektis. Bangsa besar tidak mungkin seragam, tapi sangat mungkin untuk bersatu.

Sangat tidak boleh ada negara Sumatera, Jawa, Kalimantan ataupun Papua walau persinggungan kerap terjadi. Jokowi berujar, memaafkan dan bersabar tetap lebih baik. Setidaknya pernyataan tersebut mengembalikan nalar kebangsaan kita, bahwa kita ini adalah Indonesia.

Ke depan kita tidak boleh hanya sibuk mengelola konflik, tapi kita harus lebih konsentrasi membangun peradaban. Anak-anak muda harus mengambil bagian di ruang yang lebih bereputasi. Bukan sekedar cengar-cengir di medsos sambil melahap hoaks yang meluber. Mudah mengkalaim pintar, padahal sedang dihajar. Inilah problem kenapa kita masih suka berbaku hantam.

Sejarah Arab pra Islam harusnya menjadi cermin dalam membangun peradaban. Mampu gemilang dengan segala modal yang penuh kekurangan. Bangsa ini memulai dari titik tolak yang lebih benderang, seharusnya akan melaju lebih kencang. Jangan sampai runtuh sebelum menjulang. Karena Arab-Islam baru runtuh setelah mencapai masa keemasan. Walau begitu tentu kita tidak boleh mengulang sejarah keruntuhan Arab-Islam, tapi kita terus harus  optimis merajut masa depan yang gemilang. Kita berbeda, tapi kita Indonesia.

Oleh: Ach Tijani

Anggota Lakpesdam PCNU Kota Pontianak