Menguak Sejarah Kebijakan Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam Memindahkan Ibu Kota Negara

 
Menguak Sejarah Kebijakan Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam Memindahkan Ibu Kota Negara
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah membuat sebuah keputusan besar yang sangat berani dan "kontroversial". Khalifah keempat itu membuat kebijakan untuk memindahkan ibu kota negara dari Madinah ke Kufah. Tindakan ini luar biasa berani karena tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh Rasulullah SAW dan ketiga khalifah awal, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Ditengarai tindakan tersebut merupakan cara Khalifah Ali melakukan pemisahan urusan politik dan agama. Lalu apa yang melatarbelakangi keputusan itu? Mari kita simak penjelasannya.

Khalifah Utsman terbunuh pada 17 Juni tahun 656. Khalifah yang berusia 79 tahun tersebut berkuasa selama 12 tahun. Kabarnya enam tahun pertama pemerintahannya dijalankan dengan gemilang. Namun, karena tidak ada pembatasan masa jabatan, Khalifah Utsman terus berkuasa, meski usianya sudah sepuh dan beliau tidak lagi sepenuhnya dapat mengontrol negara yang sudah meluas melewati jazirah Arab.

Singkat cerita, ketidakpuasan meletus dan muncullah pemberontak yang berani membunuh Khalifah Utsman di rumahnya, saat beliau tengah membaca Al-Qur’an.

Para pemberontak dari Mesir menguasai Madinah selama lima hari, dan sampai hari ketiga, jenazah Khalifah Utsman tidak bisa dikuburkan. Akhirnya, jasad beliau berhasil dikuburkan di tempat yang tidak biasa, bukan di dekat kuburan Nabi Muhammad SAW dan dua khalifah sebelumnya. Setelah kejadian itu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib kemudian dibaiat menjadi khalifah keempat pada 24 Juni 656 -hari ketujuh setelah wafatnya Utsman-, meski sebelumnya beliau sempat menolak dipilih.

Namun, persoalan belum selesai, munculllah kemudian suara-suara yang menggugat pemilihan Imam Ali karena hanya sedikit sahabat besar yang tersisa di Madinah. Meluasnya kekuasaan Islam membuat para sahabat menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Mu’awiyah yang menjadi gubernur di Damaskus. Mereka merasa suaranya tidak didengar dan tidak terwakili dalam pemilihan Imam Ali sebagai khalifah.

Tercatat, bahwa dua sahabat Nabi, Thalhah dan Zubair, akhirnya bergerak ke Makkah. Diriwayatkan juga, bahwa istri Nabi, Siti Aisyah, tengah melakukan umrah di Makkah ketika Utsman terbunuh. Ketika mendengar Imam Ali yang terpilih menjadi Khalifah, Siti Aisyah memutuskan bertahan tinggal di Makkah dan bersama-sama penduduk Makkah meminta Khalifah Ali bin Abi Thalib mengadili para pembunuh Khalifah Utsman.

Khalifah Ali saat itu meminta umat untuk tenang cooling down terlebih dahulu. Keengganan Imam Ali memenuhi tuntutan itu membuat beliau dituduh terlibat di belakang pemberontakan yang mengakibatkan wafatnya Khalifah Utsman. Kemudian Thalhah, Zubair, dan Siti Aisyah bergerak ke Basrah bersama pasukannya untuk memobilisasi massa melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib, meski secara sah terpilih menjadi pengganti Khalifah Utsman bin Affan.

Ketika Imam Ali meminta penduduk Madinah bersiap perang, mereka tidak segera merespons permintaan tersebut. Dibutuhkan cukup waktu untuk Imam Ali dalam mengumpulkan relawan yang siap bergerak ke Basrah.

Selanjutnya, singkat cerita, terjadilah peperangan antara menantu Nabi, Khalifah Ali bin Abi Thalib, dan istri Nabi, Siti Aisyah. Pasukan Ali berjumlah 20 ribu dan pasukan Siti Aisyah berjumlah 30 ribu.

Dikabarkan tidak kurang dari 18 ribu umat Islam dari kedua belah pihak terbunuh dalam perang saudara ini, termasuk Thalhah dan Zubair, dan 3 ribu lainnya terluka.

Selepas perang usai, yang dimenangkan Khalifah Ali, Siti Aisyah diantar kembali ke Madinah dengan penghormatan dan pengawalan lengkap. Namun, setelah itu pilihan untuk Imam Ali hendak ke manakah?

Apakah memutuskan kembali ke Madinah ketika suasana masih tidak kondusif, mengingat pendukung Utsman masih membara dan istri Nabi, Siti Aisyah yang baru saja dikalahkan dalam pertempuran juga tentu menetap di Madinah? Tentu kondisi yang demikian itu tidak membuta nyaman Khalifah Ali untuk kembali ke Madinah.

Bagaimana kalau ke Damaskus? Tidak mungkin! Mu’awiyah berkuasa di sana dan sedang mengumpulkan kekuatan untuk menyerang Khalifah Ali. Atau ke Makkah saja? Tidak mungkin. Siti Aisyah berhasil memulai perlawanannya justru dari Makkah dengan dukungan 3000 relawan dan bantuan Gubernur Makkah.

Bagaimana kalau ke Basrah? Meskipun Khalifah Ali menang perang, namun sebelum beliau tiba di Basrah, Thalhah, Zubair, dan Siti Aisyah telah lebih dulu meraih simpati dan dukungan penduduk Basrah. Kalau begitu Basrah dan Makkah bukanlah pilihan bijak.

Maka, akhirnya Khalifah Ali memutuskan untuk menetap di Kufah dan sekaligus memindahkan ibu kota negara dari Madinah ke Kufah. Selain latar belakang kondisi sosial politik di atas, tindakan Imam Ali ini luar biasa dampaknya. Beliau belajar dari masuknya pemberontak ke Ibu Kota Madinah yang telah mengotori kesucian kota Madinah.

Politik kekuasaan di Kota Nabi Muhammad SAW yang suci sungguh tak terbayangkan. Pemindahan ibu kota dari Kota Suci Nabi ke wilayah yang cukup jauh, yaitu Kufah (Irak sekarang), membuat simbol agama (Madinah) dipisahkan dengan persoalan politik. Dengan demikian, secara tidak langsung Imam Ali telah berusaha menarik batas antara agama dan politik, agar gesekan yang terpicu mengenai kedua hal itu tidak terus berlanjut.

Khalifah Ali juga tidak mengambil kesempatan untuk memindahkan ibu kota ke Makkah, karena kalau terjadi penyerangan, maka Kakbah yang ada di dalam Kota Makkah itu akan menjadi taruhannya. Terbukti kelak pada masa Dinasti Umayyah, ketika Abdullah bin Zubair memisahkan diri dari Dinasti Umayyah dan menjadikan Makkah sebagai pusat pergerakannya, keponakan Siti Aisyah ini bukan saja terbunuh di sekitar Kakbah, tapi kota Makkah juga diserang dengan panah berapi dan diblokade selama 6 bulan oleh pasukan Al-Hajjaj bin Yusuf.

Ironisnya, bukan saja banyak penduduk Makkah dan jamaah haji yang terbunuh, tapi Kakbah pun sempat terbakar akibat serangan panah api. Inilah akibatnya kalau politik kekuasaan dilakukan di Kota Suci Makkah. Jadi, melihat kenyataan yang terjadi belakangan itu, maka memang sudah sangat tepat Khalifah Ali memindahkan ibu kota pemerintahan ke Kufah.

Konflik yang terjadi masih belum selesai. Diriwayatkan bahwa empat bulan setelah kebijakan pemindahan ibu kota itu, kemudian perang saudara kedua pecah. Peperangan antara pasukan Gubernur Mu’awiyah dari Damaskus dan pasukan Khalifah Ali dari Kufah berlangsung di daerah Shiffin. Di sini, kita mengamati bahwa perang saudara memang terjadi, namun dua Kota Suci Makkah dan Madinah aman dari semua hal yang berpotensi merusak jika terjadi peperangan. Sekali lagi, kebijakan pemindahan ibu kota ke Kufah, sebagaimana yang diputuskan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib merupakan upaya menjaga agar kesucian Kakbah dan Masjid Nabawi tidak tercemar oleh pertarungan kekuasaan. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 27 Agustus 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Prof. Nadirsyah Hosen

Editor: Hakim