Hukum Jual Beli Dalam Islam

 
Hukum Jual Beli Dalam Islam
Sumber Gambar: laduni.id

LADUNI.ID, Jakarta - Jual beli adalah interaksi ekonomi yang umurnya setua dengan peradaban manusia. Sejak manusia memiliki kebutuhan yang tak bisa mereka penuhi sendiri, mereka melakukan kegiatan transaksi atau jual beli. Agar tertata dan tak menimbulkan konflik, maka terciptalah aturan kegiatan jual beli baik dalam tatanan sosial maupun agama. Jual beli sendiri adalah pertukaran suatu barang karena memiliki nilai dengan uang atau alat pembayaran lain yang diakui pada suatu daerah tertentu. Transaksi ini ditujukan agar mendapatkan produk lainnya guna memenuhi kebutuhan baik bersifat primer maupun sekunder.

Kata tersebut sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu al bay yang berarti jual beli, sedangkan secara harfiah didefinisikan sebagai pertukaran atau mubadalah. Sebutan ini digunakan untuk menyebutkan penjual maupun pembeli sebagai penentu keabsahan dari transaksinya.

Bagaimana hukum jual beli itu sendiri menurut pandangan Islam?

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ (٢٧٥)

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba [174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila [175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu [176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”  [174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah. [175] Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan. [176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan. (QS. Al-Baqarah 2:275).

Ayat yang lain juga disebutkan,

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّكُمْ ۗ فَاِذَآ اَفَضْتُمْ مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ وَاذْكُرُوْهُ كَمَا هَدٰىكُمْ ۚ وَاِنْ كُنْتُمْ مِّنْ قَبْلِهٖ لَمِنَ الضَّاۤلِّيْنَ (١٩٨)

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masyarilharam [125]. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” [125] Ialah bukit Quzah di Muzdalifah.
 (QS. Al-Baqarah 2:198).

Dalam hadits juga disebutkan dari Hakim bin Hizam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Orang yang bertransaksi jual beli masing-masing memilki hak khiyar (membatalkan atau melanjutkan transaksi) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, No: 2110 dan Muslim, No: 1532)

Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, Beliau berkata:
“Wahai Rasulullah, saya sering melakukan jual beli, apa jual beli yang halal dan yang haram? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai anak saudaraku! Bila engkau membeli sebuah barang janganlah engkau jual sebelum barang tersebut engkau terima.’’ (HR. Ahmad, No: 3402).

Kemudian secara dalil Ijma’, para ulama sejak zaman Nabi sampai sekarang sepakat bahwa asal muasal jual beli secara umum hukumnya adalah mubah, atau diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat islam. (Kitab Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 9:8)

Karena sejak dulu sampai sekarang jual beli masih tetap ada meskipun bentuknya berbeda, asalkan dengan syarat bahwa dalam jual beli ini mengikuti syari’at, syarat sah dan rukunnya yang sudah diatur dan ditentukan porsinya dalam agama islam. Begitu pula berdasarkan dalil Qiyas, atau secara logika bahwa manusia  tentu sangat teramat membutuhkan barang-barang yang dimiliki oleh manusia lainnya, dan wasilah atau jalan untuk memperoleh barang manusia yang lain tersebut tentu dengan cara jual beli.

Ada ketergantungan manusia yang satu dan manusia lainnya dalam hal memperoleh uang dan barang. Hal itu bisa diperoleh hanya dengan adanya timbal balik. Oleh karena itu berdasarkan hikmah, jual beli itu dibolehkan untuk mencapai hal yang dimaksud. Dan tentu Islam tidak melarang manusia melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya.

Ringkasnya, hukum asal jual beli itu halal. Namun, hukum tersebut bisa keluar dari hukum asal jika terdapat hal-hal yang dilarang dalam syari’at. Jual beli yang terlarang itulah yang akan dibahas sedikit dalam artikel ini. InsyaAllah.

Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا (٢٩)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu [287]; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” [287] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
(Q.S. An-Nisa 4:29)

Kedzaliman itu meniadakan aturan suka sama suka atau ridha sama ridha antara dua belah pihak yang bertransaksi, dan juga termasuk dengan memakan harta orang lain dengan jalan yang dilarang syariat. Terjadi jika salah satu pihak baik itu penjual atau pembeli merasa dirugikan. Contoh, jika seandainya seorang penjual tidak berperilaku jujur dalam berdagang, maka di antara penjual dan pembeli akan timbul perselisihan akibat kecurangan penjual.

Maka dari itu hindarilah segala hal yang dapat mendatangkan keburukan, agar dalam melakukan jual beli ini mendapatkan barakah serta rezeki yang melimpah, sehingga dalam melakukan jual beli tersebut diridhai oleh Allah SWT.

Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ (٩٠)

اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ (٩١)

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Al-Maidah 5:90)

Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Q.S. Al-Maidah 5:91)

Kemudian, hadits juga mengatakan yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu:
“Nabi melarang jual beli Hashah (jual beli tanah yang menentukan ukurannya sejauh lemparan batu) dan juga melarang jual beli Gharar.”
(H. R. Muslim).

Terjadi jika jual beli ini tidak jelas kesudahannya dan ketidakjelasan itu terjadi pada barang atau harga dalam jual beli itu sendiri sehingga menjadi seperti judi.
Ketidakjelasan pada barang disebabkan beberapa hal:

  • Fisiknya.
  • Sifatnya.
  • Ukurannya.
  • Barang bukan milik penjual itu sendiri.
  • Barang tidak dapat diserah terimakan.

Selanjutnya, ketidakjelasan harga disebabkan beberapa hal:
Penjual tidak menentukan harga
Penjual memberikan dua pilihan, dan pembeli tidak menentukan salah satunya.
Tidak jelas jangka waktu pembayarannya.

Menurut bahasa riba itu berarti bertambah. Secara istilah adalah bertambah atau keterlambatan dalam menjual harta tertentu, dan merupakan dosa besar yang membinasakan.

Allah SWT berfirman QS. Al- Baqarah 2:276

يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ ۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ (٢٧٦)

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah [177]. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa [178]. [177] Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya. [178] Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.(QS. Al- Baqarah : 276).

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ (٢٧٨)

فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۚ وَاِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْۚ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ (٢٧٩)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(Q.S. Al- Baqarah 2:278- 279).

Al-Mawardi berkata: “tidak satu agama samawi pun yang menghalalkan riba”.

Allah SWT menjelaskan syari’at umat terdahulu,

وَّاَخْذِهِمُ الرِّبٰوا وَقَدْ نُهُوْا عَنْهُ وَاَكْلِهِمْ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۗوَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا (١٦١)

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya “(Q.S. An-Nisa 4:161)

Rukun Jual Beli dalam Islam
Berikut daftar rukun jual beli dalam Islam yang wajib Anda ketahui, khususnya apabila Anda seorang pedagang atau konsumen.

1. Pihak yang bertransaksi
Dalam jual beli, dua pihak yang bertransaksi harus ada dan hadir. Harus ada penjual dan pembeli. Jika tak ada salah satu pihak itu, maka jual beli tak bisa dipenuhi.

2. Barang atau objek jual beli
Jual beli adalah aktivitas tukar menukar barang/jasa. Maka, saat jual beli barang atau objek ini harus ada dan bisa dipahami oleh kedua pihak.

3. Harga yang disepakati
Jika sudah ada penjual, pembeli, dan barang yang mereka transaksikan, maka harus ada kesepakatan harga. Harga ini, harus terbuka dan diketahui oleh kedua pihak. Jika ada pihak yang tak sepakat dengan harga, maka jual beli tak tidak sah.

4. Akad atau serah terima
Akad ini menunjukkan bahwa penjual dan pembeli sudah akur. Penjual sudah mau melepas barang/objeknya, pembeli mau membayar sesuai dengan harga yang disepakati. Dalam dunia properti, akad ini bahkan dibuat secara tertulis dan dibuat di depan notaris.

Jual beli tersebut hukumnya sah! Menurut Imam Syafi’i, dan sebagian ulama Maliki.
Keterangan, dalam kitab:
Syams al-Isyraq[1]

قَالَ الدَّسُوْقِي نَقْلاً عَنْ شَيْخِهِ الْعَدَوِي وَالْعَلاَّمَةِ الدَّرْدِيْرِي أَجَازَ بَعْضُهُمْ ذَلِكَ فِي الرِّيَالِ الْوَاحِدِ أَوْ نِصْفِهِ أَوْ رُبُعِهِ لِلضَّرُوْرَةِ كَمَا أُجِيْزَ صَرْفُ الرِّيَالِ الْوَاحِدِ بِالْفِضَّةِ الْعَدَدِيَّةِ وَكَذَا نِصْفُهُ وَرُبُعُهُ لِلضَّرُوْرَةِ وَإِنْ كَانَتْ الْقَوَاعِدُ تَقْتَضِى الْمَنْعَ.

Al-Dasuqi berkata dengan menukil dari gurunya al-‘Adawi dan al-Dardiri, bahwa sebagian dari ulama memperbolehkan pertukaran tersebut dalam satu riyal atau setengahnya atau pula seperempatnya karena darurat, sebagaimana diperbolehkan menukar satu riyal dengan uang logam perak recehan, demikian pula separuhnya atau seperempatnya karena darurat, walaupun kaidah mengarah pada pelarangan.

Al-Umm[2]

لَوْ بَاعَهُ ثَوْبًا بِنِصْفِ دِيْنَارٍ فَأَعْطَاهُ دِيْنَارًا وَأَعْطَاهُ صَاحِبُ الثَّوْبِ نِصْفَ دِيْنَارٍ ذَهَبًا لَمْ يَكُنْ بِذَلِكَ بَأْسٌ  لِأَنَّ هَذَا بَيْعٌ حَادِثٌ غَيْرَ الْبَيْعِ اْلأَوَّلِ.

Seandainya penjual menjual baju kepada seorang pembeli dengan harga setengah dinar, kemudian pembeli memberi uang satu dinar, dan si pemilik baju kemudian memberinya setengah dinar emas, maka yang demikian itu tidak mengapa, karena (penyerahan setengan dinar dari penjual) ini merupakan penjualan yang baru, bukan penjualan yang pertama.

Setiap muslim hendaknya ketika melakukan transaksi jual beli atau selainnya berkewajiban terlebih dahulu untuk mempelajarinya, agar supaya transaksinya sehat dan sah serta terhindar dari transaksi syubhat apalagi haram. Dan ketika kita enggan bahkan cenderung cuek untuk mempelajarinya adalah sebuah dosa dan merupakan kesalahan.

 

Footnote:
[1]   Muhammad Ali al-Maliki, Syams al-Isyraq fi Hukmi al-Ta’ammuli bi al-Arwaq, (Mesir: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1921 M), h. 14.
[2]   Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm, (Mesir: Mathba’ah al-Fanniyah al-Muttahidah, 1381 H/1961 M), Cet. Ke-1, Jilid III, h. 32.


Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 31 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-2 Di Surabaya Pada Tanggal 12 Rabiuts Tsani 1346 H./9 Oktober 1927 M.

___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Senin, 09 Juni 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan
Editor : Sandipo