Hukum Memaksa Anak Gadis Untuk Menikah

 
Hukum Memaksa Anak Gadis Untuk Menikah
Sumber Gambar: ilustrasi.Png

LADUNI.ID, Jakarta – Pernikahan adalah salah satu ibadah dalam Islam. Dengan menikah, banyak sekali bentuk pahala yang didapatkan oleh suami maupun istri.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala  berfirman:  

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Ar-Rum 30:21)

Selain memiliki banyak pahala, menikah juga tentunya menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagi pasangan yang saling mencintai. Kehidupan berkeluarga dengan kasih sayang di dalamnya menjadi impian banyak orang. Namun apa jadinya jika pernikahan tersebut merupakan paksaan? Banyak sekali anak perempuan yang dipaksa menikah oleh orang tuanya dengan berbagai alasan.

Hal ini akan sulit tercapai bila pernikahan dibangun atas dasar pemaksaan. Perlu kita ketahui bahwa, kerido’an mempelai pengantin untuk mengikrarkan ikatan pernikahan adalah sebuah kewajiban. Cinta adalah ekspresi naluri yang tak bisa dipaksakan. Al-Qur’an pun memaklumi bahwa cinta tak bisa dipaksakan bagaimanapun keadaannya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala  berfirman,

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَة

“Kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil kepada istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Maka janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (QS. An-Nisa’ 4:129)

“Sebagian ahli tafsir (menjelaskan makna firman Allah Allah Subhanahu Wa Ta'ala  ), ‘Kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu)…’, maksudnya adalah: engkau tak akan mampu berlaku adil dalam hal perasaan yang tersimpan dalam hati (red. rasa cinta). ” Imam Syafi’i Rahimahullah dalam kitab Al-Umm.

Kejadian yang seperti ini pernah terjadi di masa Rasulullah Shallallahu’Alaihi Wasallam.
Disebutkan dalam riwayat dari shohabiyyah Khansa’ binti Khidzam Al-Anshariyah Radhiallahu Anha,

أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهَا

“Bahwa ayahnya menikahkan dia -ketika itu dia janda- dengan laki-laki yang tidak disukai. Maka dia datang menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (untuk mengadu) maka Nabi shallallahu alaihi wasallam membatalkan pernikahannya.” (HR. Bukhari no. 5138)

Di kesempatan yang lain, Ibnu ‘Abbas Radhiyallaahu ‘Anhuma menceritakan seorang gadis yang pernah menemui Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, mengadukan ayahnya yang telah menikahkan gadis tersebut tanpa keridhoan hatinya. Lantas Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam menyerahkan pilihan kepada Sang Gadis; apakah ia ingin meneruskan ataukah membatalkan pernikahannya. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2096 dan Ibnu Majah no. 1875)

Secara tegas, Rasulullah Shallallahu’Alaihi Wasallam melarang melalui sabdanya,

لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ

“Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta musyawarahnya. Demikian seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya.”
Para Shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimanakah ijinnya?”
“Bila ia diam.” Jawab Rasulullah.
( HR. Bukhori, Muslim no. 1419, Abu Dawud no. 2092, At-Tirmidzi (no. 1107), Ibnu Majah no. 1871 dan An-Nasai VI/86 )

Dalam hadis yang lain, Nabi Shallahu’Alaihi Wasallam juga tegas mengatakan,

الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا

“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Muslim no. 1421, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’Anhuma)

Dari hadis-hadis di ataslah kemudian mayoritas ulama (Jumhur) seperti mazhab Hanafi, Imam Ahmad, Al-Auza’i, Ats-Tsauri, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -semoga rahmat Allah menyertai mereka-, menyimpulkan, bahwa kerelaan seorang gadis untuk menerima lelaki yang meminangnya, adalah kewajiban. Memakasanya untuk menikah adalah perbuatan haram. (Lihat : Shahih Fiqh Sunnah, 3/127)

Sampai-sampai, Imam Bukhari memberikan judul bab dalam kitab shahih beliau terhadap hadits di atas,

باب لا ينكح الأب وغيره البكر والثيب إلا برضاها

“Bab: Seorang ayah atau wali lainnya, tidak boleh menikahkan anak gadisnya atau wanita janda, kecuali atas dasar kerelaan wanita yang hendak ia nikahkan.”

Dalam kitab Fathul Bari, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani memberikan catatan atas judul bab yang ditulis oleh Imam Bukhari di atas,

إن الترجمة معقودة لاشتراط رضا المزوجة بكرا كانت أو ثيبا صغيرة كانت أو كبيرة ، وهو الذي يقتضيه ظاهر الحديث

“Judul bab ini menjelaskan, bahwa disyaratkannya ridho dari mempelai wanita (dalam pernikahan), baik yang masih gadis ataupun janda; janda muda ataupun tua. Inilah yang sesuai dengan dzohir hadis.”

Boleh, tetapi makruh, asal tidak ada kemungkinan akan timbul bahaya.
Keterangan, dalam kitab: Tuhfah Al-Habib Hasyiyah Al-Bujairimi [Sulaiman Al-Bujairimi]

أَمَّا مُجَرَّدُ كَرَاهَتِهَا مِنْ غَيْرِ ضَرَرٍ فَلاَ يُؤَثِّرُ لَكِنْ يُكْرَهُ لِوَلِيِّهَا أَنْ يُزَوِّجَهَا بِهِ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي اْلأُمِّ وَيُسَنُّ اسْتِئْذَانُ الْبِكْرِ إِذَا كَانَتْ مُكَلَّفَةً لِحَدِيْثِ مُسْلِمٍ. (وَالْبِكْرُ يَسْتَأْمِرُهَا أَبُوْهَا) وَهُوَ مَحْمُوْلٌ عَلَى النَّدْبِ تَطْيِيْبًا لِخَاطِرِهَا. إهـ.

Adapun sekedar ketidaksukaan wanita tanpa hal yang dharuri (terpaksa), maka tidak berpengaruh, (terhadap keabsahan perkawinan), akan tetapi dimakruhkan bagi walinya untuk mengawinkannya sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab Al-Umm. Disunatkan meminta izin kepada perawan jika memang sudah dewasa berdasarkan hadis Muslim: “seorang ayah harus meminta persetujuan dari anaknya yang masih perawan”. Hadis ini dipahami sebagai “sunnah” demi menghargai perasaan.

Bukan hanya terlarang dalam Islam, memaksakan seorang perempuan untuk menikah dengan laki-laki yang tidak diinginkan juga dilarang dalam hukum Negara.
Sebagaimana bunyi pasal 6 UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
“Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Oleh karena itu Hendaknya para orang tua bertakwa kepada Allah. Kemudian mencari suasana yang pas dan nyaman untuk meminta persetujuan puterinya sebelum menikahkannya dengan lelaki pilihan orang tua. Agar ia tenang dan bahagia dalam menjalani bahtera rumah tangga. Demikian keberkahan dan mawaddah war rahmah dapat tercapai dalam pernikahannya. Kita tentu tak ingin anak kita merana, dalam menjalani bahtera rumah tangga, hanya dikarenakan ego kita yang sesaat.

 

Sumber : Ahkamul Fuqaha no. 86 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-5 Di Pekalongan Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1349 H. / 7 September 1930 M.

___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada  Sabtu, 9 Juni 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.

Editor : Sandipo