Pembebasan Tanah Rakyat dengan Harga yang Tidak Memadai

 
Pembebasan Tanah Rakyat dengan Harga yang Tidak Memadai

Pembebasan Tanah Rakyat Dengan Harga yang Tidak Memadai

Dewasa ini banyak terjadi pembebasan tanah milik rakyat, baik oleh pemerintah maupun oleh swasta yang disokong pemerintah, baik untuk kepentingan umum maupun untuk bisnis semata, misalnya untuk kawasan perumahan. Biasanya ganti rugi yang ditawarkan tidak memadai, karenanya rakyat menolak. Namun biasanya juga dengan berbagai cara, akhirnya rakyat terpaksa menyerahkan tanahnya dengan ganti rugi yang tidak memadai, dan pindah entah kemana.

Pertanyaan :

  1. Bagaimana hukum pembebasan tanah semacam itu?.
  2. Jika pemerintah ikut terlibat, siapakah pejabat pemerintah/orang-orang yang bertanggung jawab di hadapan Allah?
  3. Bagaimana hukum keuntungan yang diperoleh dari usaha semacam itu?. Dan bagaimana hukumnya jika keuntungan yang diperoleh digunakan untuk membangun sarana ibadah?.
  4. Bagaimana hukum tinggal di kawasan perumahan yang dibangun di atas tanah dengan pembebasan seperti itu?

Jawab :

  1. Pembebasan tanah dengan harga yang tidak memadai dan tanpa kesepakatan kedua belah pihak, tergolong perbuatan zalim karena termasuk bai’ al-mukrah dan hukumnya haram serta tidak sah. Apabila pembebasan tanah tersebut dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang dibenarkan menurut syara’, dengan harga yang memadai, maka hukumnya boleh sekalipun tanpa kesepakatan.
  2. Yang bertanggungjawab adalah semua pejabat instansi pemerintah yang terkait.
  3. Keuntungan tersebut hukumnya haram. Bila dimanfaatkan untuk membangun sarana ibadah juga tetap haram.
  4. Hukumnya tafshil:
  • Apabila pihak yang menempati bangunan itu mengetahui bahwa prosedurnya haram, maka hukumnya haram juga.
  • Jika tidak mengetahui prosedur tersebut, maka hukumnya boleh.

  Keterangan, dari kitab:

1. Fath al-Wahhab [1]

فَلاَ يَصِحُّ عَقْدُ مُكْرَهٍ فِيْ مَالِهِ بِغَيْرِ حَقٍّ لِعَدَمِ رِضَاهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Tidak sah akad seseorang yang dipaksakan dalam hartanya tanpa hak, karena tidak ada kerelaannya sesuai dengan firman Allah Swt.: “Kecuali harta-harta itu adalah harta perniagaan yang keluar dari persetujuan dari kalian.” (QS. al-Nisa’: 29).  

2. Rahmah al-Ummah [2]

وَاتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ عَلَى أَنَّ الْبَيْعَ يَصِحُّ مِنْ بَالِغٍ مُخْتَارٍ مُطْلَقِ التَّصَرُّفِ

Para Imam sepakat  atas sungguh jual beli itu sah dari orang baligh, berkehendak sendiri, dan bebas membelanjakan hartanya.  

3. Al-Asybah wa al-Nazhair [3]

تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

Tindakan penguasa atas rakyatnya itu terbatasi dengan maslahat.  

4. Al-Asybah wa al-Nazhair [4]

إِذَا كَانَ فِعْلُ اْلإِمَامِ مَبْنِيًّا عَلَى الْمَصْلَحَةِ فِيْمَا يَتَعَلَّقُ بِاْلأُمُوْرِ الْعَامَّةِ لَمْ يَنْفَذْ أَمْرُهُ شَرْعًا إِلاَّ إِذَا وَافَقَهُ فَإِنْ خَالَفَهُ لَمْ يُنَفَّذْ. وَلِهَذَا قَالَ اْلاِمَامُ أَبُوْ يُوْسُفَ فِيْ كِتَابِ الْخَرَّاجِ مِنْ بَابِ إِحْيَاءِ الْمَوَاتِ : وَلَيْسَ لِلاِمَامِ أَنْ يُخْرِجَ شَيْئًا مِنْ يَدِ أَحَدٍ إِلاَّ بِحَقٍّ ثَابِتٍ مَعْرُوْفٍ

Ketika tindakan penguasa dalam hal yang terkait kepentingan umum itu harus didasarkan pada maslahat, maka secara syar’a perintahnya itu tidak berlaku kecuali sesuai dengannya. Dan jika bertentangan, maka tidak berlaku. Oleh karenanya, Imam Abu Yusuf dalam kitab al-Kharraj dari bab Ihya al-Mawat menyatakan: “Dan seorang penguasa tidak boleh mengeluarkan apapun dari tangan seseorang kecuali dengan hak yang sudah tetap serta ketahui.”  

5. Al-Ahkam al-Sulthaniyah [5]

فَلَمَّا اسْتُخْلِفَ عُمَرُ -  وَكَثُرَ النَّاسُ وَسَّعَ الْمَسْجِدَ وَاشْتَرَى دَوْرًا هَدَمَهَا وَزَادَهَا فِيْهِ وَهَدَمَ عَلَى قَوْمٍ مِنْ جِيْرَانِ الْمَسْجِدِ أَبَوْا أَنْ يَبِيْعُوْا وَوَضَعَ لَهُمْ اْلأَثْمَانَ حَتَّى أَخَذُوْهَا بَعْدَ ذَلِكَ وَاتَّخَذَ لِلْمَسْجِدِ جِدَارًا قَصِيْرًا دُوْنَ الْقَامَةِ وَكَانَتْ الْمَصَابِيْحُ تُوْضَعُ عَلَيْهِ وَكَانَ عُمَرُ -  أَوَّلَ مَنْ يَتَّخِذُ جِدَارًا لِلْمَسْجِدِ. فَلَمَّا اُسْتُخْلِفَ عُثْمَانُ  - اِبْتَاعَ مَنَازِلَ فَوَسَّعَ بِهَا الْمَسْجِدَ وَأَخَذَ مَنَازِلَ أَقْوَامٍ وَوَضَعَ لَهُمْ أَثْمَانَهَا فَضَجُّوْا مِنْهُ عِنْدَ الْبَيْتِ فَقَالَ : إِنَّمَا جَرَأَكُمْ عَلَيَّ حِلْمِيْ عَنْكُمْ فَقَدْ فَعَلَ بِكُمْ عُمَرُ - هَذَا فَأَقْرَرْتُمْ وَرَضِيْتُمْ ثُمَّ أَمَرَ بِهِمْ إِلَى الْحَبْسِ حَتَّى كَلَّمَهُ فِيْهِمْ عَبْدُ اللهِ بْنِ خَالِدِ بْنِ أَسَدٍ فَخَلَّى سَبِيْلَهُمْ

Ketika Umar r.a diangkat sebagai Khalifah dan jumlah penduduk semakin banyak, ia perluas mesjid Nabawi dengan membeli rumah dan dirobohkannya. Lalu ia menambah perluasannya dengan merobohkan (bangunan) penduduk sekitar mesjid yang enggan menjualnya. Beliau lalu memberi harga tertentu sehingga mereka mau menerimanya. Beliau membangun dinding yang pendek kurang dari tinggi manusia, dan memasang lampu-lampu di atasnya. Beliau adalah orang yang pertama kali membuat dinding untuk mesjid.   Ketika Utsman r.a. diangkat sebagai khalifah, ia lalu membeli rumah-rumah (untuk perluasan mesjid Nabawi). Beliau mengambil rumah-rumah penduduk dan menetapkan harganya. Mereka lalu berdemo di kediamannya. Beliau lalu berkata: “Sungguh kesabarankulah yang membuat kalian berani terhadapku, sungguh hal ini pernah dilakukan Umar terhadap kalian, dan kalian menyetujuinya”. Lalu beliau memerintah memenjarakan mereka, sampai Abdullah bin Khalid bin Asad berbicara kepadanya, dan ia melepas mereka kembali.  

6. Tahqiq al-Asybah wa al-Nazhair li Tajuddin al-Subki [6]

وَلَعَلَّ مُرَادُهُ بِنَقْلِ اْلاتِّفَاقِ أَنَّ عُمَرَ اشْتَرَى الدُّوْرَ مِنْ أَصْحَابِهَا فِيْ وُسْعِ الْمَسْجِدِ وَكَذَلِكَ عُثْمَانُ وَكَانَ الصَّحَابَةُ فِيْ زَمَانِهِمَا مُتَوَافِرِيْنَ وَلَمْ يُنْقَلْ إِنْكَارُ ذَلِكَ

Dan barangkali maksud al-Rafi’i dengan kutipan kesepakatan para sahabat dan ulama setelahnya itu adalah sungguh Umar Ra. pernah membeli beberapa rumah dari pemiliknya untuk perluasan mesjid. Begitu pula Utsman Ra. Sementara para sahabat pada masa beliau berdua masih banyak dan tidak pernah dikutip riwayat yang mengingkari hal tersebut.  

7. Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj [7]

أَمَّا اْلإِكْرَاهُ بِحَقٍّ فَيَصِحُّ إِقَامَةً لِرِضَا الشَّرْعِ مَقَامَ رِضَاهُ

Adapun pemaksaan dengan hak (kebenaran), maka akad jual belinya sah, sebab memposisikan persetujuan syara’ pada posisi persetujuan pelaku akad.  

8. Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir [8]

(قَوْلُهُ جَبْرًا حَرَامًا)

 أَيْ وَأَمَّا لَوْ أُجْبِرَ عَلَى الْبَيْعِ جَبْرًا حَلَالًا كَانَ الْبَيْعُ لَازِمًا كَجَبْرِهِ عَلَى بَيْعِ الدَّارِ لِتَوْسِعَةِ الْمَسْجِدِ أَوِ الطَّرِيقِ أَوِ الْمَقْبَرَةِ

(Ungkapan Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Dardiri: “Dengan paksaan yang haram.”), maksudnya bila pelaku akad dipaksa menjual dengan paksaan yang halal, maka akad jual belinya lazim –tetap-, seperti memaksanya menjual rumah untuk perluasan mesjid, jalan umum, atau kuburan.  

9. Mirqah Su’ud al-Tashdiq Syarh Sulam al-Taufiq [9]

وَمِنْ مَعَاصِيْ الْبَطْنِ أَكْلُ الرِّبَا ... أَوْ مَا يَأْخُذُهُ أَعْوَانُ السُّلْطَانِ ظُلْمًا عِنْدَ الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ

Dan di antara maksiat perut adalah memakan riba ... atau harta yang diambil oleh aparat penguasa secara zalim ketika jual beli.  

10. Ihya ‘Ulum al-Din [10]

الْقِسْمُ اْلأَوَّلُ الْمَعَاصِيْ وَهِيَ لاَ تَتَغَيَّرُ عَنْ مَوْضِعِهَا بِالنِّيَّةِ ... أَوْ يَبْنِى مَدْرَسَةً أَوْ مَسْجِدًا أَوْ رِبَاطًا بِمَالٍ حَرَامٍ قَصَدَ الْخَيْرَ فَهَذَا كُلُّهُ جَهْلٌ وَالنِّيَّةُ لاَ تُؤَثِّرُ فِيْ إِخْرَاجِهِ عَنْ كَوْنِهِ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا وَمَعْصِيَّةً

Bagian pertama adalah maksiat. Dan maksiat itu tidak akan berubah dari posisinya (sebagai hal yang diharamkan) disebabkan niat (baik). ... atau seseorang membangun sekolahan, mesjid atau pondokan dengan uang haram dengan bermaksud melakukan kebajikan, maka semua itu adalah kebodohan, dan niat tidak akan berpengaruh mengeluarkan tindakan itu dari keberadaannya sebagai kezaliman, kejahatan dan maksiat.  

11. Fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin [11]

لَوْ أَخَذَ مِنْ غَيْرِهِ بِطَرِيْقٍ جَائِزٍ مَا ظُنَّ حِلُّهُ فَهُوَ حَرَامٌ بَاطِنًا فَإِنْ كَانَ ظَاهِرُ الْمَأْخُوذِ مِنْهُ الْخَيْرَ لَمْ يُطَالَبْ فِي الآخِرَةِ وَإِلَّا طُولِبَ

(وَقَوْلُهُ وَإِلَّا طُولِبَ )

أي وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ظَاهِرُهُ الْخَيْرَ وَالصَّلاَحَ بِأَنْ كَانَ ظَاهِرُهُ الْفُجُوْرَ وَالْخِيَانَةَ طُوْلِبَ فِي اْلآخِرَةِ وَأَمَّا فِيْ الدُّنْيَا فَلاَ يُطَالَبُ مُطْلَقًا لأَنَّهُ أَخَذَهُ بِطَرِيْقٍ جَائِزٍ

Seandainya seseorang mengambil sesuatu yang diduga halal dari orang lain dengan cara yang diperbolehkan, sementara pada hakikatnya sesuatu itu merupakan sesuatu yang haram, maka bila lahiriah orang yang diambil sesuatunya itu baik, maka si pengambil tidak akan dituntut di akhirat, bila tidak maka ia akan dituntut. (Pernyataan Syaikh Zainuddin al-Malibari: “Bila tidak maka ia akan dituntut.“), maksudnya bila lahiriah orang yang diambil sesuatunya itu tidak baik dan saleh, yakni lahiriahnya lacur dan suka berkhianat, maka si pengambil akan dituntut di akhirat. Sedangkan di dunia, ia tidak akan dituntut sama sekali karena ia mengambil sesuatu tersebut dengan cara yang diperbolehkan.  

[1] Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab Pada al-Tajrid li Naf’ al-‘Abid, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1950), Jilid II, h. 174.

[2] Abu Abdillah al-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah pada al-Mizan al-Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), Juz I, h. 158.

[3] Abdurrahman al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir, (Indonesia: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1403 H), h. 67.

[4] Ibn Najim al-Mishri, al-Asybah wa al-Nazha’ir, (Makkah: Nizar Musthafa al-Baz, 1997), Jilid I, h. 124.

[5] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1966), h. 162.

[6] Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad ‘Aud, Tahqiq pada al-Asybah wa al-Nazha’ir li Tajuddin al-Subki, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid I, h. 116.

[7] Muhammad al-Khatib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj, (Mesir: al-Tijariyah al-Kubra, t. th.), Jilid II, h. 3.

[8] Ibn ‘Irfah al-Dasuqi, Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr,  1969),  Jilid III, h. 6.

[9] Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani, Mirqah Su’ud al-Tashdiq Syarh Sulam al-Taufiq, (Bandung:Syirkah Nur Asia, t. th.), h. 65.

[10] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1939), Jilid IV, h. 65.

[11] Zainuddin al-Malibari dan Muhammad Syaththa al-Dimyathi, fath al-Mu’in dan I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr,  1997),  Jilid III, h. 13.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 419 HASIL KEPUTUSAN MUSYAWARAH NASIONAL ALIM ULAMA NAHDLATUL ULAMA TENTANG MASAIL DINIYAH WAQI’IYYAH 16-20 Rajab 1418 H/17-20 Nopember 1997 M Di Ponpes QOMARUL HUDA Bagu, Pringgarata Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat