Maulana Habib Luthfi bin Yahya : Belajar Malu Dari Ziarah Para Wali

 
Maulana Habib Luthfi bin Yahya : Belajar Malu Dari Ziarah Para Wali

LADUNI.ID- Masyarakat sekarang semestinya belajar malu dari ulama dan tokoh besar yang sampai sekarang makamnya selalu dibanjiri peziarah.

"Melihat Wali Sembilan, saya kagum dengan hasil karya beliau-beliau. Namun, sekaligus saya merasa malu melihat kondisi bangsa sekarang. Semestinya kita semua juga harus malu.

Sunan Ampel yang termasuk salah satu Walisongo, sampai sekarang ini makamnya dikunjungi banyak sekali peziarah setiap hari yang membuat masyarakat sekitar ikut merasakan manfaatnya.

"Kalau tidak percaya, datang ke sana. Hitung berapa bus setiap hari yang datang. Masyarakatnya senang, Masjidnya jadi kaya, lingkungannya juga kaya. Coba saja kalau tidak ada Sunan Ampel di situ,"

Orang yang sudah mati pun masih mampu menciptakan ekonomi kerakyatan bagi masyarakatnya, sementara yang masih hidup sekarang ini malah sibuk bertengkar dan memikirkan dirinya sendiri.
"Yang datang ke sana itu tidak ada yang sekadar begadang. Ada yang membaca Al Fatihah, ada yang melantunkan tahlil, tasbih, berzikir, dan puji-pujian kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW,".

Sunan Ampel yang sudah wafat pun bisa mengajak orang banyak untuk datang membaca ayat-ayat suci Al Quran, berzikir, dan, bertasbih.
"Orang-orang (peziarah) yang semula tidak kenal juga bisa saling kenal. Di sana tidak ada yang nyembah kuburan, minta ke kuburan, karena i'tikad itu di hati. Saya tidak tahu hati setiap orang.

Tak hanya itu makam Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati yang juga salah satu Walisongo justru diziarahi tidak hanya umat muslim, melainkan juga dari kalangan nonmuslim.

"Kanjeng Syekh Maulana Syarif Hidayatullah meski sudah meninggal pun masih bisa mempersatukan umat dan bangsa, serta menciptakan ekonomi kerakyatan. Mestinya, kita malu kepada beliau-beliau.

Di saat bangsa-bangsa lainnya sudah berlomba-lomba menciptakan teknologi maju, seperti nuklir, dan sebagainya, sementara bangsa Indonesia masih disibukkan dengan perdebatan soal pilihan.

Manusia diberikan sejengkal tanah yang masing-masing berkembang menjadi bangsa, seperti China, Afrika, sampai tanah Jawa yang semestinya harus merasa "handarbeni" atas pemberian Yang Kuasa.

"Belajar dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalijaga itu artinya jaga kali (sungai). Makna sebenarnya kali itu adalah aliran. Beliau bertugas menjaga agar antar-aliran ketika itu tidak mudah dibenturkan.