Pengakuan Ekonom Penghancur: Kelahiran Seorang Ekonom Penghancur

 
Pengakuan Ekonom Penghancur: Kelahiran Seorang Ekonom Penghancur

Semuanya dimulai tanpa dosa.

Aku adalah anak tunggal, lahir di dalam keluarga kelas menengah pada tahun 1945. Kedua orangtuaku berasal dari tiga abad keturunan orang Amerika New England; sikap mereka yang keras, menjunjung tinggi moral dan kukuh mendukung Partai Republik merefleksikan bergenerasi-generasi leluhur yang puritan. Mereka adalah yang pertama di dalam keluarga mereka yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi - karena mendapatkan beasiswa. Ibuku menjadi guru bahasa Latin di sekolah lanjutan. Ayahku menjalani Perang Dunia II sebagai letnan Angkatan Laut dan bertanggung jawab atas pengawal bersenjata awak kapal pada sebuah kapal tangki niaga yang mudah terbakar di Atlantik. Ketika aku lahir di Hanover, New Hampshire, ia sedang di dalam proses penyembuhan dari pinggulnya yang patah di sebuah rumah sakit di Texas. Aku tidak melihatnya hingga aku berusia satu tahun.

Ia mengajar bahasa di Tilton School, sekolah berasrama untuk anak laki-laki di pedalaman New Hampshire. Kampusnya tegak berdiri di atas bukit - beberapa orang akan mengatakan, dengan angkuhnya - tinggi menjulang di atas kota yang bernama sama. Institusi yang eksklusif ini membatasi penerimaan siswanya pada sekitar lima puluh siswa saja di dalam setiap tingkat, dari tingkat sembilan hingga duabelas. Para siswanya kebanyakan adalah keturunan keluarga kaya-raya dari Buenos Aires, Caracas, Boston, dan New York.

Keluargaku kekurangan uang; namun kami pasti tidak menganggap diri kami miskin. Meskipun para guru sekolah itu digaji sangat kecil, semua kebutuhan kami disediakan dengan cuma-cuma: makanan, perumahan, pemanas, air, dan para pekerja yang menyiangi halaman rumput dan membersihkan salju kami. Sejak hari ulang tahunku yang keempat, aku makan di ruang makan sekolah lanjutan itu, menangkap dan melemparkan bola untuk tim sepakbola yang dilatih ayahku, dan membagikan handuk di ruang ganti.

Adalah suatu pernyataan yang mengecil-ngecilkan jika dikatakan bahwa para guru dan istri mereka merasa lebih unggul daripada penduduk setempat. Aku dulu terbiasa mendengar gurauan orangtuaku tentang menjadi tuan tanah, yang berkuasa atas para petani yang rendah - warga kota. Aku tahu itu lebih dari sekadar gurauan.

Teman-temanku di sekolah dasar dan menengah termasuk kelas petani itu; mereka sangat miskin. Orangtua mereka adalah para petani yang bergelimang lumpur, penebang pohon, dan pekerja di penggilingan. Mereka tersinggung dengan julukan "siswa sekolah lanjutan yang mahal di atas bukit", dan sebaliknya, ayah dan ibuku menghalangiku bergaul dengan cewek-cewek warga kota, yang mereka juluki "pelacur"atau "perek". Aku saling berbagi buku sekolah dan krayon dengan anak-anak perempuan ini sejak kelas satu, dan sesudah beberapa tahun, aku jatuh cinta kepada tiga orang dari mereka: Ann, Priscilla, dan Judy. Aku sulit memahami perspektif orangtuaku; namun aku tunduk pada keinginan mereka.

Setiap tahun kami menghabiskan tiga bulan liburan musim panas ayahku di sebuah pondok di tepi danau, yang dibangun oleh kakekku pada tahun 1921. Pondok itu dikelilingi oleh hutan, dan pada malam hari kami dapat mendengar suara burung hantu dan singa gunung. Kami tidak mempunyai tetangga; aku adalah anak satu-satunya dalam jarak seperjalanan kaki. Dalam tahun-tahun awal itu aku melewati hari dengan membayangkan pohon-pohon itu adalah para ksatria Meja Bundar dan gadis yang sedang menderita bernama Ann, Priscilla, atau Judy (tergantung dari tahunnya). Aku tidak ragu, gairahku sebesar Lancelot diam-diam menggairahi Guinevere - dan malah lebih terahasia lagi.

Pada usia empatbelas tahun, aku mendapatkan pembebasan uang sekolah di Tilton School. Karena desakan orangtuaku, aku menjauhi semua yang terkait dengan kota itu dan tidak pemah melihat para ternan lamaku lagi. Ketika teman-teman sekelasku yang baru pulang ke rumah dan istana mereka masing-masing selama liburan, aku tinggal bersendiri di atas bukit. Pacar-pacar mereka adalah cewek-cewek debutan, sedangkan aku tidak mempunyai pacar. Semua cewek yang kukenal adalah ''pelacur". Aku telah mencampakkan mereka, dan mereka telah melupakanku. Aku sendirian- dan aku sangat frustrasi.

Orangtuaku piawai memanipulasi; mereka meyakinkan aku bahwa aku teristimewakan karena mempunyai kesempatan seperti itu dan bahwa suatu hari nanti aku akan merasa berterima kasih. Aku akan menemukan istri yang sempurna, seseorang yang cocok dengan standar moral kami yang tinggi. Namun di dalam, aku mendidih. Aku sangat membutuhkan pertemanan dengan perempuan - seks; bayangan tentang pelacur adalah yang paling memikat.

Akan tetapi, alih-alih memberontak, aku menekan amukanku dan menyalurkan rasa frustrasiku dengan berprestasi tinggi. Aku menjadi siswa yang terhormat, kapten dua regu olah raga sekolah, editor surat kabar sekolah. Aku bertekad untuk mengalahkan teman-teman sekelasku yang kaya-raya dan meninggalkan Tilton untuk selamanya. Selama tahun kelas seniorku, aku dihadiahi bea siswa atletik penuh ke Brown dan bea siswa akademis ke Middlebury. Aku memilih Brown, terutama karena aku lebih suka menjadi atlet - dan karena Brown berlokasi di sebuah kota. Ibuku lulusan Middlebury dan ayahku telah menerima gelar masternya dari sana, jadi meskipun Brown termasuk dalam Liga Ivy, mereka lebih menyukai Middlebury.

"Bagaimana jika kakimu patah?" tanya ayah. "Lebih baik ambillah bea siswa akademis itu." Aku kalah.

Dalam pandanganku, Middlebury hanyalah versi Tilton yang lebih besar- meskipun di pedalaman Vermont sebagai ganti di pedalaman New Hampshire. Memang ada mahasiswi, tetapi aku miskin dan hampir semua orang lain kaya, dan aku telah bersekolah tanpa seorang perempuan pun selama empat tahun. Aku kurang percaya diri, merasa terasing, merasa amat sengsara. Aku memohon kepada ayah untuk berhenti kuliah atau mengambil cuti setahun. Aku ingin pindah ke Boston dan belajar tentang kehidupan dan perempuan. Ia tidak mau mendengarnya. "Bagaimana mungkin aku berbangga dengan mempersiapkan anak-anak orangtua lain ke perguruan tinggi jika anakku sendiri tidak kuliah?" tanyanya.

Aku sudah dapat memahami bahwa kehidupan terdiri dari serangkaian kejadian yang kebetulan. Bagaimana kita bereaksi terhadap kejadian-kejadian ini- bagaimana kita menerapkan apa yang beberapa orang namakan kehendak bebas- adalah segalanya; pilihan yang kita buat di dalam batas-batas putaran nasiblah yang menentukan siapa kita. Dua kejadian kebetulan yang penting yang menentukan hidupku berlangsung di Middlebury. Yang pertama di dalam wujud Iran, putra seorang jenderal yang adalah seorang penasihat pribadi Shah Iran; yang lain adalah seorang pemudi cantik bernama Ann, seperti kekasih masa kanak-kanakku.

Yang pertama, yang akan kusebut Farhad, dulunya pemain sepakbola profesional di Roma. Ia dikaruniai bentuk badan yang atletis, rambut hitam keriting, mata lembut secokelat kenari, dan latar belakang dan karisma yang menarik sekali bagi kaum hawa. Ia bertolak belakang denganku dalam banyak hal. Aku berupaya keras imtuk menjadi sahabatnya, dan ia mengajariku banyak hal yang akan membantuku di tahun-tahun mendatang. Aku juga berjumpa dengan Ann. Meskipun ia serius berkencan dengan seorang pemuda dari perguruan tinggi lain, dia melindungiku. Hubungan kami yang platonis adalah cinta pertama yang sesungguhnya yang pernah kualami.

Farhad mendukung aku untuk minum, pesta, dan mengabaikan orangtuaku. Aku dengan sadar memilih untuk berhenti belajar. Aku memutuskan untuk menghentikan karier akademisku untuk melakukan pembalasan kepada ayahku. Nilaiku merosot tajam; aku kehilangan bea siswaku. Di tengah tahun kuliah keduaku, aku memilih untuk keluar. Ayahku mengancam untuk tidak mengakui aku sebagai anaknya; Farhad memanas-manasiku, aku menerjang masuk ke kantor dekan dan berhenti kuliah. ltu adalah momen yang sangat penting di dalam kehidupanku.

Farhad dan aku merayakan malam terakhirku di kota bersama-sama di sebuah bar lokal. Seorang petani mabuk yang bertubuh raksasa menuduh aku telah menggoda istrinya, mengangkatku dari lantai dan melemparkan aku ke dinding. Farhad melompat di antara kami, menghunus sebilah pisau dan menyayat pipinya. Lalu ia menyeretku melintasi ruangan dan mendorongku melalui sebuah jendela, keluar ke suatu birai yang tinggi di atas Sungai Otter. Kami melompat dan menempuh perjalanan di sepanjang sungai kembali ke asrama kami.

Pagi berikutnya, ketika diinterogasi oleh polisi kampus, aku berdusta dan menolak mengetahui apa pun tentang peristiwa itu. Meskipun demikian, Farhad dipecat. Kami berdua pindah ke Boston dan berbagi sebuah apartemen di sana. Aku mendapatkan pekerjaan di surat kabar Record American/Sunday Advertiser milik Hearst sebagai asisten pribadi redaktur pelaksana Sunday Advertiser.

Kemudian dalam tahun 1965 itu, beberapa temanku di surat kabar terkena wajib militer. Untuk menghindari nasib serupa, aku masuk Boston University's College of Business Administration (BU). Pada waktu itu Ann telah putus dengan pacarnya, dan dia sering menempuh perjalanan dari Middlebury untuk berkunjung. Aku menyambut hangat perhatiannya. Dia lulus tahun 1967, sementara aku masih satu tahun lagi untuk menyelesaikan kuliahku di BU. Dia tetap menolak untuk pindah bersamaku sampai kami menikah. Meskipun aku bercanda tentang pemerasan, dan aku sesungguhnya benci melihat apa yang kurasa sebagai kelanjutan dari standar moral orangtuaku yang kolot dan sarat tatakrama, aku menikmati kebersamaan kami dan aku ingin lebih. Kami menikah.

Ayah Ann, seorang insinyur brilian, telah merencanakan sistem navigasi untuk sejenis rudal yang penting dan dihadiahi posisi tinggi di Angkatan Laut. Teman terbaiknya, seorang laki-laki yang dipanggil Ann dengan sebutan Paman Frank (bukan nama sebenarnya), bekerja sebagai seorang eksekutif pada eselon paling tinggi National Security Agency (NSA), organisasi spionase negara yang paling sedikit diketahui - dan menurut desas-desus, yang terbesar.

Tidak lama setelah pernikahan kami, militer memanggilku untuk pemeriksaan fisik. Aku lulus dan oleh karena itu ditetapkan sebagai prospek ke Vietnam ketika wisuda. Gagasan bertempur di Asia Tenggara mencabik- cabikku secara emosional, meskipun perang selalu memesonaku. Aku dibesarkan dengan kisah-kisah tentang leluhur kolonialku- yang mencakup Thomas Paine dan Ethan Allen- dan aku telah mengunjungi semua lokasi pertempuran di New England dan bagian utara New York, baik perang melawan Perancis dan suku Indian maupun Perang Kemerdekaan Amerika Serikat. Aku telah membaca setiap novel sejarah yang dapat kutemukan. Sesungguhnya ketika satuan-satuan pasukan khusus Amerika pertama kali memasuki Asia Tenggara, aku ingin sekali mendaftarkan diri.

Tetapi ketika media masa memaparkan kekejaman dan ketidak- konsistenan kebijakan Amerika Serikat, pikiranku berubah. Aku ragu, ke pihak mana Paine akan berpihak. Aku merasa pasti ia akan bergabung dengan musuh kami Vietcong.

Paman Frank datang menolongku. Ia memberitahu aku bahwa bekerja pada NSA dapat menjadikan seseorang berhak atas penundaan wajib militer, dan ia mengatur serangkaian pertemuan di kantornya, termasuk satu hari wawancara dengan pengawasan poligraf yang sangat meletihkan. Aku diberitahu bahwa tes ini akan menentukan apakah aku calon yang sesuai untuk perekrutan dan pelatihan NSA. Danjika aku memenuhi syarat, maka tes ini akan membentuk suatu profil kelemahan dan kekuatanku, yang akan digunakan untuk merencanakan karierku. Dengan sikapku terhadap Perang Vietnam, aku yakin akan gagal dalam tes itu.


Pada saat pengujian aku mengaku bahwa sebagai warga Amerika yang setia aku menentang perang, dan aku heran ketika para pewawancara tidak mengejar hal ini. Sebagai gantinya, mereka memusatkan pada pendidikanku, sikapku terhadap orangtuaku, emosi yang ditimbulkan oleh kenyataan aku tumbuh sebagai seorang puritan miskin di antara demikian banyak orang kaya, siswa-siswa hedonistik. Mereka juga menyelidiki frustrasiku tentang ketiadaan perempuan, seks, dan uang di dalam kehidupanku, dan dunia khayalan yang berkembang sebagai hasilnya. Aku takjub akan perhatian yang mereka berikan pada hubunganku dengan Farhad dan akan minat mereka pada kesediaanku untuk berbohong kepada polisi kampus untuk melindungi Farhad.


Pada mulanya aku menganggap semua ini yang tampak begitu negatif bagiku menandai aku sebagai penolakan NSA, tetapi wawancara berlanjut, yang menandakan sebaliknya. Hingga beberapa tahun kemudian barulah aku menyadari bahwa dari sudut pandang NSA hal-hal negatif ini sesungguhnya positif. Penilaian mereka lebih sedikit berhubungan dengan isu kesetiaan kepada negara dibanding dengan frustrasi kehidupanku.

Kemarahanku kepada orangtuaku, obsesiku terhadap perempuan, dan ambisiku untuk menjalani kehidupan yang baik memberikan kepada mereka pegangan bahwa aku dapat dibujuk. Kebulatan tekadku untuk unggul di sekolah dan di dalam olahraga, pemberontakanku yang terakhir kepada ayahku, kemampuanku untuk bergaul baik dengan orang asing, dan kesediaanku untuk berbohong kepada polisi adalah atribut yang mereka cari. Aku juga menemukan kemudian bahwa ayah Farhad bekerja untuk komunitas intelijen Amerika Serikat di Iran; oleh karena itu pertemananku dengan Farhad adalah hal yang amat positif.

Beberapa minggu setelah ujian NSA, aku ditawari pekerjaan untuk memulai pelatihan seni memata-matai yang akan dimulai setelah aku menerima gelar dari BU beberapa bulan kemudian. Akan tetapi, sebelum aku secara resmi menerima tawaran ini, aku secara impulsif menghadiri suatu seminar yang diadakan di BU oleh perekrut Peace Corps. Hal yang amat menarik adalah, seperti NSA, bekerja untuk Peace Corps dapat memberikan seseorang hak atas penundaan wajib militer.

Keputusan untuk mengikuti seminar itu adalah salah satu kejadian yang kebetulan yang tampaknya tidak penting pada saat itu, tetapi ternyata mempunyai implikasi yang mengubah kehidupanku. Perekrut itu menguraikan beberapa tempat di dunia yang sangat memerlukan sukarelawan. Salah satunya adalah hutan hujan Amazon yang seperti ia tunjukkan, penduduk pribuminya masih hidup seperti penduduk asli Amerika Utara sebelum kedatangan orang Eropa.

Aku telah selalu memimpikan hidup seperti suku Indian Abnaki yang menghuni New Hampshire ketika leluhurku mula-mula menetap di sana. Aku tahu bahwa di dalam pembuluh darahku mengalir darah Abnaki, dan aku ingin mempelajari tradisi dan pengetahuan hutan yang amat dikuasai oleh mereka. Aku menghampiri si perekrut setelah ceramahnya selesai dan menanyakan tentang kemungkinan penugasan ke Amazon. Ia meyakinkan aku bahwa ada kebutuhan yang besar akan sukarelawan di wilayah itu dan bahwa kesempatanku baik sekali. Aku menelepon Paman Frank.

Untuk keherananku, Paman Frank mendukung aku untuk Peace Corps. Ia menceritakan rahasianya bahwa setelah Hanoi - yang pada masa itu tampaknya merupakan kepastian bagi orang-orang di dalam posisi serupa - Amazon akan menjadi tempat aktivitas yang penting.


“Penuh dengan minyak,” katanya." Kita memerlukan agen-agen yang baik di sana - orang-orang yang memahami penduduk asli. “Ia meyakinkanku bahwa Peace Corps akan menjadi kancah pelatihan yang sempurna, dania mengimbauku untuk mahir berbahasa Spanyol dan juga dialek pribumi. "Kau barangkali,” ia tertawa kecil, "pada akhirnya akan bekerja untuk sebuah perusahaan swasta alih-alih untuk pemerintah.”

Aku tidak memahami maksudnya pada saat itu. Aku sedang ditatar dari mata-mata menjadi EHM, walaupun aku tidak pernah mendengar istilah itu dan juga tidak selama beberapa tahun selanjutnya. Aku tidak dapat membayangkan bahwa ada beratus-ratus laki-laki dan perempuan tersebar di seluruh dunia, bekerja untuk perusahaan konsultan dan perusahaan swasta lainnya, orang-orang yang tidak pernah menerima gaji sesen pun dari badan pemerintah mana pun, namun mengabdi pada kepentingan kekuasaan global. Juga aku tidak dapat menduga, bahwa suatu jenis baru dengan sebutan yang lebih halus akan mempunyai ribuan anggota record American/Sunday Advertiser milik Hearst sebagai asisten pribadi redaktur pelaksana Sunday Advertiser.

Kemudian dalam tahun 1965 itu, beberapa temanku di surat kabar terkena wajib militer. Untuk menghindari nasib serupa, aku masuk Boston University's College of Business Administration (BU). Pada waktu itu Ann telah putus dengan pacarnya, dan dia sering menempuh perjalanan dari Middlebury untuk berkunjung. Aku menyambut hangat perhatiannya. Dia lulus tahun 1967, sementara aku masih satu tahun lagi untuk menyelesaikan kuliahku di BU. Dia tetap menolak untuk pindah bersamaku sampai kami menikah. Meskipun aku bercanda tentang pemerasan, dan aku sesungguhnya benci melihat apa yang kurasa sebagai kelanjutan dari standar moral Qrangtuaku yang kolot dan sarat tatakrama, aku menikmati kebersamaan kami dan aku ingin lebih. Kami menikah.

Ayah Ann, seorang insinyur brilian, telah merencanakan sistem navigasi untuk sejenis rudal yang penting dan dihadiahi posisi tinggi di Angkatan Laut. Teman terbaiknya, seorang laki-laki yang dipanggil Ann dengan sebutan Paman Frank (bukan nama sebenarnya), bekerja sebagai seorang eksekutif pada eselon paling tinggi National Security Agency (NSA), organisasi spionase negara yang paling sedikit diketahui - dan menurut desas-desus yang terbesar.


Tidak lama setelah pernikahan kami, militer memanggilku untuk pemeriksaan fisik. Aku lulus dan oleh karena itu ditetapkan sebagai prospek ke Vietnam ketika wisuda. Gagasan bertempur di Asia Tenggara mencabik- cabikku secara emosional, meskipun perang selalu memesonaku. Aku dibesarkan dengan kisah-kisah tentang leluhur kolonialku- yang mencakup Thomas Paine dan Ethan Allen- dan aku telah mengunjungi semua lokasi pertempuran di New England dan bagian utara New York, baik perang melawan Perancis dan suku Indian maupun Perang Kemerdekaan Amerika Serikat. Aku telah membaca setiap novel sejarah yang dapat kutemukan. Sesungguhnya ketika satuan-satuan pasukan khusus Amerika pertama kali memasuki Asia Tenggara, aku ingin sekali mendaftarkan diri.

Tetapi ketika media masa memaparkan kekejaman dan ketidak- konsistenan kebijakan Amerika Serikat, pikiranku berubah. Aku ragu, ke pihak mana Paine akan berpihak. Aku merasa pasti ia akan bergabung dengan musuh kami Vietcong.

Paman Frank datang menolongku. Ia memberitahu aku bahwa bekerja pada NSA dapat menjadikan seseorang berhak atas penundaan wajib militer, dan ia mengatur serangkaian pertemuan di kantornya, termasuk mempertimbangkan untuk kembali kepada mereka, ia memberitahu aku bahwa ia terkadang bertindak sebagai penghubung NSA. Aku curiga bahwa bagian dari tugasnya adalah mengevaluasi kemampuanku. Aku sekarang percaya bahwa ia sedang memperbarui profilku, dan terutama memperkirakan kemampuanku untuk bertahan hidup di dalam lingkungan yang dianggap bermusuhan oleh kebanyakan orang Amerika Utara.

Kami menghabiskan dua hari bersama-sama di Ekuador, dan setelah itu berkomunikasi melalui surat. Ia memintaku untuk mengiriminya laporan tentang penilaian prospek ekonomi Ekuador. Aku mempunyai mesin tik jinjing yang kecil, suka menulis dan sangat gembira memenuhi permintaan ini. Sesudah sekitar satu tahun, aku telah mengirimi Einar sedikitnya limabelas surat yang panjang. Dalam surat-surat ini aku berspekulasi tentang masa depan ekonomi dan politik Ekuador dan aku memperkirakan frustrasi yang meningkat di antara komunitas-komunitas pribumi ketika mereka berjuang menghadapi perusahaan-perusahaan minyak, badan-badan pengembangan internasional dan usaha-usaha lain untuk menarik mereka ke dalam dunia modern.

Ketika tugasku di Peace Corps selesai, Einar mengundang aku untuk wawancara pekerjaan di kantor pusat MAIN di Boston. Dalam pertemuan pribadi kami, ia menekankan bahwa bisnis utama MAIN adalah rekayasa, tetapi kliennya yang terbesar, Bank Dunia, baru-baru ini telah mulai bersikeras agar ia mempekerjakan ekonom untuk membuat prediksi ekonomi yang kritis yang akan dipergunakan untuk menentukan kelayakan dan besaran proyek-proyek rekayasa. Ia menceritakan rahasianya bahwa ia sebelumnya mempekerjakan tiga orang ekonom berkualifikasi tinggi dengan latar belakang tanpa cela - dua orang dengan gelar master dan satu dengan gelar PhD. Mereka telah gagal dengan sangat menyedihkan.

"Tak seorang pun dari mereka," Einar berkata, "mampu menangani gagasan untuk membuat prediksi ekonomi di negara-negara di mana statistik yang dapat dipercaya tidak tersedia. "Ia terus bercerita kepadaku, bahwa selain itu mereka semua berpendapat tidak mungkin memenuhi ketentuan kontrak mereka, yang mengharuskan mereka bepergian ke tempat-tempat terpencil di negara-negara seperti Ekuador, Indonesia, Iran, dan Mesir untuk mewawancarai para pemimpin lokal, dan untuk membuat penilaian pribadi tentang prospek pembangunan ekonomi di wilayah-wilayah itu. Satu orang telah mengalami gangguan saraf di sebuah desa di Panama; ia dikawal oleh polisi Panama ke bandar udara dan dimasukkan ke dalam pesawat terbang kembali ke Amerika Serikat.

Surat-surat yang Anda kirimkan kepada saya menunjukkan bahwa Anda tidak keberatan mengambil risiko, bahkan ketika data sulit diperoleh. Dan dengan mempertimbangkan kondisi kehidupan Anda di Ekuador, saya yakin Anda dapat bertahan hidup hampir di mana saja. "Ia mengatakan bahwa ia telah memecat salah satu dari ketiga ekonom itu dan ia siap melakukan hal yang sama terhadap dua orang lainnya jika aku menerima pekerjaan itu.

Maka begitulah pada bulan Januari 1971 itu aku ditawari posisi sebagai seorang ekonom di MAIN. Aku telah mencapai usia 26 tahun- usia ajaib ketika dewan wajib militer tidak menginginkan aku lagi. Aku berdiskusi dengan keluarga Ann; mereka mendukung aku untuk menerima pekerjaan itu, dan kuanggap ini mencerminkan sikap Paman Frank juga. Kuingat ia pernah mengatakan kemungkinan aku pada akhirnya akan bekerja untuk perusahaan swasta. Tidak pernah ada yang dinyatakan secara terbuka, tetapi aku tidak ragu bahwa pekerjaanku di MAIN merupakan hasil pengaturan Paman Frank tiga tahun sebelumnya, selain pengalamanku di Ekuador dan kesediaanku untuk menulis tentang situasi ekonomi dan politik negara itu.

Kepalaku serasa berputar-putar selama beberapa minggu, dan egoku menggelembung. Aku hanya mendapatkan gelar bachelor dari BU, yang tampaknya tidak membenarkan posisi sebagai ekonom pada perusahaan konsultan terhormat seperti itu. Aku tahu bahwa banyak teman sekelasku dari BU yang telah ditolak oleh dewan wajib militer, lalu terus melanjutkan untuk mendapatkan gelar MBA dan gelar-gelar lanjutan lain akan sangat iri. Aku mengkhayalkan diriku sebagai agen rahasia yang keren, bepergian ke daerah yang eksotis, bermalas-malasan di samping kolam renang hotel, dikelilingi oleh cewek-cewek berbikini, dengan gelas berisi martini di tangan.

Meskipun ini hanyalah khayalan, aku akan menemukan bahwa ada kadar kebenaran di dalamnya. Einar telah merekrut aku sebagai seorang ekonom, tetapi aku segera belajar bahwa pekerjaanku yang sebenarnya jauh melebihi itu, dan bahwa sesungguhnya lebih mendekati pekerjaan James Bond daripada yang pernah kukira.

 

Sumber: Buku Confessions of an Economic Hit Man, 2004.