Kerajaan Sumenep Sepeninggal Panambahan Mandaraka

 
Kerajaan Sumenep Sepeninggal Panambahan Mandaraka
Sumber Gambar: Paragonswords, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Babad menyebutkan sepeninggal Panambahan Mandaraka, kerajaan dibelah dua, antara Panambahan Bukabu dan Panambahan Baragung. Tentang Panambahan Bukabu Babad tidak banyak terberitakan dalam Babad, tidak seperti Panambahan Baragung.  

Panambahan Baragung mempunyai seorang putra benama Endang Kilengngan, yang kawin dengan Bramakandha. Dari hasil perkawinannya itu, lahir seoang putera bernama Wakung Ru'yat. Setelah dewasa dia menggantikan ayahnya sebagai raja Sumenep, bergelar Pengeran Saccadiningrat I. Pusat Pemerintahannya berada di Benasareh. Pada waktu itu kerajaan Sumenep masih berada di bawah kekuasaan Majapahit.

Pengeran Saccadiningrat I ini kawin dengan Dewi Sarine, putri Panambahan Bukabu, yang kemudian mempunyai anak perempuan bernama Saine, yang bergelar Putri Kuning. Dengan perkawinan di antara kedua keturunan raja Sumenep itu (Panambahan Bukabu dan Panambahan Baragung) mungkin diharapkan timbulnya persatuan kembali di antara keluarga raja Sumenep, yang pecah sepenjnggal Panambahan Mandaraka. Atas dasar ini, kerajaan Sumenep dapat dipersatukan kembali pada masa pemerintahan Pengeran Saccadiningrat I.

Model perkawinan demikian kita kenal dalam sejarah kuno Indonesia, yang dikenal sebagai perkawinan politik (the export of pincesses), atau menurut istilah Berg adalah “in a devine unio mystica" (Zoetmuldel 1965, 331-332). Hal ini dilakukan sebagai peningkatan metode guna mempertahankan politik suatu kerajaan dengan cara pengikatan melalui suatu pranata perkawinan. Dan cara itulah yang dipilih oleh Pengeran Saccadiningrat I.

Puteri Kuning memiliki kegemaran bertapa. Pada suatu waktu dia pergi ke gunung Pajuddan untuk bertapa. Setelah 7 hari 7 malam, tepat tanggal 14 malam bulan pumama dia bemimpi bertemu dengan seseorang, dan melakukan persetubuhan dengannya. Orang itu kemudian dikenal sebagai Adi Poday, putra kedua Panembahan Blingi, yang bergelar Arya Pulangjiwo yang berkuasa di Pulau Sepudi. Dan karena mimpinya itu Pute Kuning akhirnya mengandung. Kemudian lahirlah seorang putra yang diberi nama Joko Tole (Namun ada yang perlu diperhatikan oleh pembaca bahwa, ada sebagian yang mengatakan bahwa Putri Kuning dan Adi Poday telah malakukan proses pernikahan, tidak lewat mimpi karena hal tersebut adalah mustahil).

Dari kisah di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya perkawinan Putri Kuning dengan Adi Poday tidak mendapat persetujuan ayahnya, sebab Sapudi merupakan kerajaan bawahan Sumenep. Tentang bagaimana pemerintahan Sumenep di bawah Pengeran Saccadiningrat I, Babad tidak menceritakan. Berdasarkan garis keturunan, sebenarnya yang menggantikan Pangeran Saccadiningrat I adalah puterinya Dewi Saine/ Adi Poday. Akan tetapi justru cucunya, Joko Tole (Arya Kuda Panoleh).

Di dalam tradisi kerajaan Sumenep, nampaknya kekuasaan tidak perhah jatuh kepada anak perempuannya, tetapi kepada saudara laki-laki, atau anak laki-laki. Ini terbukti bahwa di dalam sejarah dinasti Sumenep, tidak pernah ada raja perempuan. Selain itu Adi Poday hendak menggantikan ayahnya sebagai penguasa di Pulau Sepudi.

Joko Toleh yang bergelar Pangeran Saccadiningrat II mempunyai seorang adik laki-laki, bernama Banyak Wedi yang menjadi penguasa di Gersik, berkat perkawinannya dengan putri Raja Gersik yang tedahulu bernama Puttri Sekar. Dia memiliki 3 orang anak, yaitu: Arya Banyak Modhang, Arya Susuli, dan seorang perempuan. Pada saat pemerintahan Joko Tole, Raja Gersik itu pemah berkunjung ke Sumenep. Dari kisah tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Sumenep dengan Gersik cukup baik. Dan hubungan ini nampaknya terus dipertahankan, dan bahkan lebih ditingkatkan pada masa-masa selanjutnya, terutama di dalam bidang ekonomi perdagangan (Sutjipto; 1977, 177). Wallahu A'lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 25 Agustus 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar