Serial Tokoh Wayang: Semar, Tokoh Sang Paku Dakwah Islam bagi Peradaban

 
Serial Tokoh Wayang: Semar, Tokoh Sang Paku Dakwah Islam bagi Peradaban

Setelah beberapa edisi yang lalu disampaikan tentang spiritualitas dunia pewayangan dan berlanjut pada perkembangan dunia pewayangan dari masa ke masa sampai dengan paska kemerdekaan, serta tuntunan atau ajaran serta amanah Wali Sanga terkait perkembangan wayang untuk kepentingan dakwah Islam.

Maka, kita akan memasuki edisi penjelasan tokoh pewayangan yang sering kita dengar. Sebagaimana diamanahkan bahwa bentuk lahiriah wayang kulit harus berbeda dan tidak membentuk manusia biasa, maka begitulah wayang kulit itu dikembangkan sampai dengan saat ini.

Tokoh pertama yang akan disajikan adalah Semar.

Semar berasal dari kata mismaarun yang berarti paku. Paku dalam kesehariannya adalah alat untuk memperkokoh sesuatu. Sedangkan yang dimaksud Semar sebagai Paku adalah Semar itu ibarat ajaran agama Islam yang membuat kokoh dunia. Islam menjadi paku duni ajika ajaran-ajaran di dalamnya dilaksanakan manusia, karena ajarannya menjanjikan dunia menjadi kokoh dan teratur. Islam tak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi Islam juga merupakan way of life yang lengkap dan sempurna bagi manusia, menuju hidup yang damai dan bahagia dunia akhirat.

Semar identik dengan warna hitam, hal ini mempunyai kandungan filosofis barang siapa yang didampingi Semar, hidupnya tidak goncang, tetapi suci murni, wajar, dan tidak diliputi sifat kemunafikan. Hal ini sesuai dengan warna hitam, sebagai warna yang sulit untuk diubah-ubah. Demikian pula manusia yang berjiwa Semar, hidupnya tidak akan berubah-ubah tetapi tetap menjaga kesucian jiwanya.

Dalam wayang kulit tokoh Semar mempunyai tugas sebagai pamomong dan penasihat para kesatria untuk selalu menempuh jalan yang benar dalam hidupnya. Maka siapa saja yang didampingi Semar tidak pernah gagal dalam tugasnya dan tidak pernah kalah dalam perang. Keadaan yang demikian bisa dilihat pada para Pandawa. Sebenarnya kemenangan Pandawa bukan karena kekuatan mereka sendiri, melainkan karena mereka selalu didampingi Semar dalam setiap langkahnya. Andaikata Semar meninggalkan mereka, maka mereka pasti hancur. Karena Semar selalu memberi tuntunan ke arah kebenaran, karena ia seolah-olah telah menuntun cahaya ke jalan yang benar.

Semar menurut ukuran fisik manusia tidaklah bagus, tetapi bagi orang Jawa di balik semua itu terdapat tanda dan nilai keilahian yang sebenarnya. Karena cita-cita keindahan dan estetika manusia dengan sendirinya tidak memadai dengan yang benar-benar ilahiah. Maka munculnya Semar dalam wayang Jawa menunjukkan pengertian yang mendalam tentang apa yang sebenarnya bernilai pada manusia bukanlah wujud yang kelihatan, bukan pembawaan lahiriah yang sopan santun atau kehalusan dalam tata krama, tetapi sesungguhnya yang menentukan derajat kemanusiaan seseorang adalah sikap batinnya.

Dari uraian tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa dalam diri Semar terdapat nilai-nilai pendidikan Islam terutama nilai-nilai kesusilaan dengan basis akhlak dan nilai-nilai keindahan dengan basis ihsan. Hal ini digambarkan lewat tokoh Semar walaupun berbentuk fisik jelek, tetapi ia menjadi panutan kesatria sebab ia berperilaku benar dan selalu menunjukkan atau menasihati ke arah kebenaran. Sehingga kesatria mempunyai jiwa suci murni, jauh dari kemunafikan dan goncangan batin. Perilaku seperti ini merupakan bentuk dari pengalaman ajaran Islam yang mempu memperkokoh kehidupan dunia.

Jangan dilihat dari sisi fisiknya saja, tetapi lihat juga hatinya. Sebab siapa tahu ia adalah manusia seperti Semar. Walaupun fisiknya jelek tetapi jiwanya bersih dan suci. Hal ini sesuai dengan hadits berikut ini:

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi Dia langsung melihat/ memperhatikan niat dan keikhlasan dalam hatimu.”

Jadi nilai atau kualitas manusia bukan terletak pada bagus dan indahnya fisik (material), tetapi lebih pada rohaniahnya. Walaupun fisik seperti Semar tetapi jika berjiwa suci dan lurus akan jauh lebih bernilai dari yang fisiknya bagus dan indah tetapi hatinya busuk dan jahat.

Mari kita tengok pribadi kita masing-masing.

 

Sumber: Buku Wayang Kebatinan Islam

Penulis: Dharmawan Budi Suseno