Ilmu Itu Cahaya Allah

 
Ilmu Itu Cahaya Allah
Sumber Gambar: Unsplash.com, Ilustrasi: laduni.ID

LADUNI.ID, Jakarta - Sejarah telah banyak menceritakan kisah adab dan etika para ulama salaf saat menuntut ilmu dan juga butiran mutiara hikmah yang dapat kita petik pelajaran (ibrah). Tentunya yang terfokus kepada adab atau etika sopan santun terhadap ilmu dan guru serta ahli ilmu itu sendiri. Dihikayatkan pada suatu saat Abu Yazid Al-Busthami, seorang tokoh sufi terkemuka di dunia, bermaksud mengunjungi seorang laki laki yang dikatakan memilki kebaikan. Maka dia pun menunggunya di sebuah masjid. Orang yang ditunggu itu pun keluar, kemudian meludah di masjid, tepatnya di dinding sebelah luar. Menyaksikan hal itu, Al-Busthami pun pulang dan tidak jadi bertemu dengannya.

Beliau mengatakan “Tidak dapat dipercaya untuk menjaga rahasia Allah, orang yang tidak dapat memelihara adab syari’at.” Kisah di atas sangat menganjurkan kepada kita penuntut ilmu untuk menjaga adab etika, sebelum memperhatikan perincian adab yang mesti dijaga saat menuntut ilmu, langkah pertama yang harus dilakukan oleh seorang penuntut ilmu adalah membersihkan hatinya.

Hal ini sebutkan oleh  Imam An-Nawawi dalam mukadimah karyanya berbunyi , “Semestinya seorang pelajar membersihkan hatinya dari kotoran agar layak untuk menerima ilmu, menghafalnya, dan mendapatkan buahnya.” (Imam Nawawi, kitab Syarh al-Muhadzdzab).

Imam Nawawi dalam kesempatan yang lainnya juga ungkapan yang senada untuk menghormati guru dengan bunyinya:“Hendaklah seorang murid memperhatikan gurunya dengan pandangan penghormatan. Hen­daklah dia meyakini keahlian gu­runya dibandingkan yang lain. Karena hal itu akan menghantarkan seorang murid untuk banyak mengambil manfaat darinya, dan lebih bisa membekas dalam hati terhadap apa yang dia dengar dari gurunya tersebut.” (Kitab al-Majmu’ : 1: 84).

Dengan hati yang bersih tentu saja ilmu sebagai nurullah (cahaya Allah) mampu terpatri dalam setiap jiwa dan qalbu para penuntut ilmu. Beranjak dari paparan diatas, kita sebagai penuntut ilmu tidak salah kaprah dalam memahami menghormati guru (mu’alllim) dan ahli ilmu terkhusus  dalam istilah “teumeurka” itu tidak harus kita artikan hanya untuk guru di lembaga pendidikan agama, namun hendaknya dapat kita realisasikan rasa “teumeurka” sebagai  bentuk tidak mengindahkan nilai takdhim di semua jenjang kita pernah menimba ilmu dengan menghilangkan dikotomi ilmu.

Andaipun ada yang mengasumsikan keberkahan ilmu di sekolah (lembaga pendidikan formal) dibandingkan dayah (lembaga pendidikan non formal) itu sangat berbeda, jelas itu berbeda sesuai dengan tingkat keikhlasan kita masing-masing dan ikhlas itu urusan hati dan tentu saja berbicara hal tersebut termassuk kedalam persolaan bainahu wa bainalllah (antara seseorang dengan Allah). Itu bukan urusan kita menghakiminya. Tugas kita sebagai sebagai penuntut ilmu hanya berkewajiban menghormati sang guru dan ahlinya tanpa di syaratkan duluan harus berniat ikhlas mereka yang mengajari kita.       

Kupasan ini tidak ada maksud lain selain untuk meluruskan image dan adanya ketimpangan yang sering terjadi di lembaga pendidikan yang menganut dua sistem pendidikan semacam pesantren terpadu yang ada diajarkan pendidika formal (sekolah/universitas) dan nonformal (pesantren/pendidikan agama ala tradisional).

Realita di lapangan sebagian pelajar hanya lebih menghormati guru belajar agamanya (guru rangkang) di bandingkan dengan guru di lembaga formalnya seperti di sekolah atau universitas, bahkan terkadang ada semacam “jurus” dari sebagian pengajar yang menanamkan pemahaman “keliru” tersebut kepada anak didiknya secara subjektif terhadap sosok guru tertentu tanpa menjelaskan secara objektif bagaimana esensialnya menghormati guru dan ahlinya yang di tuntun oleh agama.

Wallahu ‘Allam wa Muwaffiq Ila ‘Aqwamith Thariq


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 16 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

______

Penulis: Helmi Abu Bakar El-langkawi 

Editor: Athallah