Kisah Pangeran Diponogoro dalam Tradisi Folklor

 
Kisah Pangeran Diponogoro dalam Tradisi Folklor
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Cerita tentang Pangeran Diponegoro yang kemudian dilanjutkan oleh para pengikutnya termasuk dalam golongan folklor. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri folklor, berupa: pertama disebarkan secara lisan, dari mulut ke mulut dari generasi ke generasi berikutnya. Kedua tradisional, disebarkan dalam jangka waktu yang lama dan paling sedikit 2 generasi. Ketiga anonim, atau yang artinya nama sang pencipta folklor tidak diketahui lagi. Keempat berfungsi sebagai alat pendidik dan protes sosial. Kelima bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang berbeda dengan logika pada umumnya. Keenam milik bersama. Ketujuh terlihat polos dan lugu, sehingga terkesan kasar dan spontan, itu karena agar mudah dipahami dan diingat.

Tradisi lisan mengisahkan bahwa Diponegoro memang telah tertangkap dan diasingkan ke luar pulau Jawa. Selanjutnya, muncullah cerita baru tentang pasukan Diponegoro yang terpisah-pisah satu sama lainnya dan menuju ke berbagai tempat. Salah satu cerita ialah tentang Kyai Zakaria atau yang sering disebut sebagai Eyang Joego yang melarikan diri ke Jawa Timur. Inilah yang kemudian melahirkan folklor tentang Pesarean Gunung Kawi yang di dalamnya dimakamkan Kyai Zakaria dan pengikutnya. Pesarean Gunung Kawi terkenal sebagai tempat untuk mencari penglarisan dengan memohon berkah kepada yang dimakamkan di tempat tersebut.

Mayoritas masyarakat yang berada di sekitar gunung Kawi maupun peziarah, mereka berkeyakinan dan beranggapan bahwa Gunung Kawi memiliki aura gaib dan hal di luar logika manusia atau dapat dikatakan mistis bagi pencari pesugihan atau tujuan lainnya. Hal tersebut karena adanya ritual kejawen yang dilakukan dalam aktivitas ziarah yaitu mengelilingi pasarehan dengan jumlah ganjil dengan sugesti akan lebih afdhol ketika dilakukan di atas pukul 12 malam. Selanjutnya duduk di pohon dewa Ndaru, nyekar, mandi di air sumber dan melakukan syukuran selametan. Ritual-ritual tersebut paling banyak dilakukan pada malam Jumat legi, Senin pahing, Malam syuro, dan Tahun baru.

Pasarean Gunung Kawi terletak di wilayah administrasi Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sebagai sebuah ruang ritual, keberadaan Pasarean Gunung Kawi disakralkan. Para peziarah yang ingin datang ke wilayah ini berasal dari berbagai tempat. Bahkan terkenal sampai mancanegara. Setiap hari, kawasan Pasarean Gunung Kawi banyak didatangi oleh pengunjung yang bertujuan untuk berziarah ke makam Eyang Djoego dan R.M. Iman Soedjono atau hanya sekadar berwisata.  Keberadaan pasarean Gunung Kawi sebagai ruang ritual telah dikenal oleh masyarakat sejak lama.

Ketenaran nama pasarean Gunung Kawi disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama tokoh yang dimakamkan merupakan tokoh historis yang ikut menjadi pengikut Pangeran Diponegoro melawan Belanda dan kedua tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap makam kedua tokoh sebagai media perantara pengabul hajat. Hal ini menjadikan nama pasarean Gunung Kawi semakin menggaung.  Pasarean Gunung Kawi dikenal oleh masyarakat luas. Pengunjung yang datang ke tempat ini tidak hanya berasal dari masyarakat lokal di sekitar Kabupaten Malang, tetapi dari luar Pulau Jawa hingga mancanegara. Para pengunjung pasarean Gunung Kawi, di antaranya dari Singapura, Belanda, Malaysia, dan Inggris. Pasarean Gunung Kawi merupakan sebuah area yang cukup luas dengan makam kedua tokoh yang disemayamkan.

Terdapat beberapa bangunan berjajar di kompleks bangunan Pasarean Gunung Kawi, mulai bangunan peribadatan, tempat pertunjukan budaya, lapak pedagang, penginapan, bangunan bersejarah, serta area makam Eyang Djoego dan R.M. Iman Soedjono.  Dari area parkir, pengunjung harus menaiki anak tangga yang mengarah pada puncak tempat makam berada. Sepanjang jalan dari pelataran parkiran hingga makam, berjajar lapak pedagang yang menjajakan beraneka ragam kebutuhan pengunjung, seperti makanan, oleh-oleh, jimat, penginapan, hingga keperluan sarana ritual pengunjung.

Selain itu, di kompleks Pasarean Gunung Kawi juga banyak ditemui para pengemis musiman yang biasanya berada di sekitar kompleks Masjid Agung R.M. Iman Soedjono untuk mengharapkan pundipundi rupiah dari belas kasihan pengunjung. Sebagai ruang ritual, suasana kesakralan tidak tampak di Pasarean Gunung Kawi. Hal yang lebih tampak adalah corak keragaman agama dan budaya yang berasal dari berbagai penganut kepercayaan dan etnis. Para pengunjung yang datang dapat melihat arsitektur bangunan-bangunan yang bercirikan Tionghoa dan Jawa. Selain itu juga berdiri bangunan-bangunan peribadatan bagi pemeluk agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu. Suasana bangunan-bangunan yang mencirikan kebudayaan Indonesia justru lebih terasa ketika pengunjung datang ke kawasan ini. Meskipun begitu, nuansa sakral yang ada di Pasarean Gunung Kawi tidak sepenuhnya hilang. Pengunjung yang datang dapat mencium aroma dupa, kemenyan, dan bunga-bunga. Aroma ini terutama di kawasan sekitar makam Eyang Djoego dan R.M. Iman Soedjono.  


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 22 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar