Kisah Unik Mbah Mahfudz Madiun dan Mbah Jaelani Nganjuk

 
Kisah Unik Mbah Mahfudz Madiun dan Mbah Jaelani Nganjuk

Oleh SYARONI AS-SAMFURIY

LADUNI.ID, Jakarta - Dulu itu ada Kiai Mahfudz Madiun, terkenal wali, tinggalnya di tengah kota, mondok lama bertahun-tahun di Nganjuk. Gak bisa-bisa (bodoh). Akhirnya saking putus asanya dia memilih minggat. Padahal sudah puluhan tahun mondok di situ. Akhirnya dia pamit ke kiainya.

Jawab Kiai, "Mau apa?"

"Mau minggat/boyong saja," jawab Mahfudz.

"Kamu mau minggat ke mana? Ya sudah, kalau kamu mau minggat, minggat saja ke Mekkah," jawab Kiai.

"Waduh," keluh Mahfudz.

"Kamu punya uang berapa?" tanya Kiai.

"Punya 35 rupiah," jawab Mahfudz.

"Ya sudah, uang kamu belikan kitab semua," pinta Sang Kiai.

Akhirnya dapat satu pikul kitab.

"Pergilah ke Mekkah dengan memikul kitab-kitab itu," pesan Kiai.

Akhirnya berangkat dengan jalan kaki. Setiap kali lelah dia istirahat di pohon-pohon. Selalu saja ada yang memberinya makan padahal tidak diminta. Sambil tiduran di bawah pohon, dibukalah kitab yang dibawanya. Saat memegang pulpen dan tinta, ajaibnya pulpen berjalan sendiri menulis.

Singkat cerita, sampai lah di Aceh, di sana dia sudah putus asa karena merasakan jarak yang sangat jauh. Bertemulah dia dengan orang yang berjalan ngesot. Ditanya, "Pak, mau ke mana?"

Dijawab, "Mau ke Mekkah."

Batin Mahfudz, "Wah masa saya kalah!"

Perjalanan pun dilanjut. Entah naik apa, akhirnya sampai juga di laut Mekkah. Di depannya padang pasir. Berhari-hari berjalan melalui padang pasir, tidak sampai-sampai ke tujuan, Utara-Selatan tidak diketahui.

Akhirnya dia kebingungan campur putus asa. Digalilah lubang di atas padang pasir untuk dibuat kuburan. Lalu dia tidur di dalamnya, sudah pasrah. Kira-kira ada 3 hari di situ, siap mati. Tiba-tiba terdengar suara krosek-krosek, membuat Mahfudz takut dikira ular besar.

Setelah dilihat ternyata orang yang di Aceh, yang jalannya ngesot. Melihat itu Mahfudz langsung bangkit melanjutkan perjalanan hingga sampai di Mekkah Al-Mukarramah. Dan mondok di Mekkah hingga alim.

***

Selesai mondok, Mahfudz pulang ke Madiun. Saya (Kiai Luqman) waktu itu masih kecil, pernah menemui beliau, saat usia 6-7 tahunan. Nah lucu. Mbah Buyutku punya adik namanya Mbah Jaelani, dulunya mondok di Gedong Nganjuk, itu Mbah Saya. Di situlah rumahku.

Nah Mbah Jaelani juga pernah mondok di Madiun. Rupanya dia bertapa/khalwat di bawah pohon papringan yang sangat angker, sebesar pohon kelapa dan panjang, di belakang pesantren. Para santri pasti tahu. Di situ mondok selama 5 tahun, kadang makan kadang tidak, Mbah Jaelani itu.

Akhirnya Mbah Jaelani dikawinkan dengan putri Kepala Desa, daerah pusatnya PKI Madiun, tahun 48-65. Hebatnya Mbah Jaelani, setelah dinikahkan dengan anak Kepala Desa itu, lalu dibuatkan mushalla. Satu kampung semuanya tobat berkat Mbah Jaelani.

Lalu suatu ketika saat Mbah Jaelani meninggal, Mbah Mahfudz yang sudah alim dan jadi Wali Allah itu tiba-tiba datang dan berpidato. Bahkan dia tahu siapa sosok yang meninggal itu, "Mbah Jaelani".

Mbah Mahfudz mengatakan, "Saya ini kesetnya Mbah Jaelani. Jadi saya ini, apa saja nunggu perintahnya Mbah Jaelani."

Jadi ternyata Mbah Jaelani ini wali yang mastur, dirahasiakan. Thariqahnya Akmaliyyah. Menurut beliau Thariqah Akmaliyyah itu diberikan hanya kepada orang-orang tertentu saat hendak meninggal dunia, dan hanya satu orang saja. Dan bukan kepada putra-putranya, tetapi entah kepada siapa, wallahu a'lam, langsung Allah yang memilihkan.


*) Artikel ini ditulis oleh Syaroni As-Samfuriy, ketika ngobrol santai bareng DR. KH. M. Luqman Hakim, di Kediaman Ust. Afif Alghifari Pesayangan Tegal, 28 Oktober 2019. Sumber video di sini.