Mengenal Dibalik Nama Bandara Mutiara SIS Al-Jufri Palu

 
Mengenal Dibalik Nama Bandara Mutiara SIS Al-Jufri Palu
Sumber Gambar: Bandaramutiarasaj.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Bandara udara di kota Palu Sulawesi Tengah, pernah menjadi perhatian utama, karena wilayah Palu dan Donggala terkena musibah gempa yang sebagian mengakibatkan tsunami dengan menelan korban jiwa lebih dari 380 orang.

Bandara ini pada awalnya bernama Mosovu yang berarti “Tanah Berdebu”, namun setelah kunjungan Presiden Soekarno pada 10 Oktober 1957, Bung Karno mengubah namanya menjadi Bandara Udara Mutiara. Penamaan ini beralasan karena Palu merupakan rangkaian pernik mutu manikam mutiara khatulistiwa.

Seiring jalannya waktu, bandara ini diganti namanya menjadi Bandara Mutiara SIS Al-Jufri, setelah Menteri Perhubungan Evert Ernest Mangindaan meresmikan perubahan nama bandara tersebut pada 28 Februari 2014.

Nama SIS Al-Jufri adalah kependekan nama dari Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri yang merupakan pejuang dan pahlawan nasional di Sulawesi Tengah. Dalam sejarahnya, Sayyid Idrus telah menjadi inspirator terbentuknya sekolah di berbagai jenis dan tingkatan di Sulawesi Tengah yang dinaungi oleh organisasi Al-Khairaat hingga berkembang sampai saat ini di kawasan Timur Indonesia.

Beliau memiliki nasab keturunan As-Sayyid Idrus bin Salim bin Alwi bin Saqqaf bin Muhammad bin Idrus bin Salim bin Husain bin Abdillah bin Syaikhan bin Alwi bin Abdullah At-Tarisi bin Alwi Al-Khawasah bin Abubakar Al-Jufri Al-Husain Al-Hadhramiy yang mempunyai jalur keturunan dari Sayyidina Husain bin Fatimah Az-Zahra Puteri Rasulullah SAW.

Habib Idrus dilahirkan di kota Taris, Seiwun, Hadramaut, Yaman pada 15 Maret 1892. Ayahnya, yaitu Habib Salim adalah seorang ilmuwan dan tokoh yang memiliki banyak karangan dan tulisan dari berbagai bidang keilmuan, beliau menjabat sebagai Qadhi dan Mufti di negerinya. Sementara kakeknya, yaitu Habib Alwi adalah pemimpin dan ilmuwan yang terkenal dan termasuk lima ahli fiqih di Yaman yang memiliki fatwa tertulis dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan Sayid  Abdurrahman Al Masyhur.

Habib Idrus sudah belajar keagamaan sejak kecil dari ayahnya dan menjadi penghafal Al Qur’an di umur 12 tahun. Ayahnya mengajarnya secara khusus tentang ilmu tafsir, hadits, tasawuf, fiqih, tauhid, mantiq, ma’ani, bayan, badi’, nahwu, sharaf, falaq, tarikh, dan sastra. Pada umur 19 tahun, beliau sudah menjadi ulama terkenal, dan beliau berguru kepada para guru-guru besar pada zaman itu, seperti Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Habib Abdurrahman bin Alwi bin Umar Assegaf, Habib Muhammad bin Ibrahim bilfaqih, Habib Abdullah bin Husein bin Sholeh Al-Bahar, Habib ldrus bin Umar Al-Habsyi, dan Habib Abdullah bin Umar As-Syathiri di Rubath Tarim.

Pada usianya yang ke 25 tahun, Habib Idris sudah diangkat menjadi Mufti dan Qadhi di kota Taris, Hadramaut oleh Sultan Mansur untuk menggantikan posisi ayahnya. Namun, dalam karirnya di kerajaan tersebut, Habib Idris pada tahun 1922 memutuskan untuk berjuang di bidang keilmuan dan keagamaan di Indonesia, selanjutnya beliau berlayar ke Manado untuk menemui ibunya Syarifah Nur Al-Jufri.

Dalam buku Perguruan Islam Alkhairaat dari Masa ke Masa yang disusun oleh Pengurus Besar Alkhairaat disebutkan pilihan beliau ke Indonesia tidak hanya melepaskan kerinduannya dengan kampung halaman neneknya, tetapi sekaligus menetap dan berkiprah untuk umat Islam di Indonesia.

Beliau membangun bangunan sekolah yang pertama atas biaya beliau sendiri di kota Palu, yang merupakan sekolah Islam yang pertama di Negeri Palu dan kemudian berkembang menjadi cabang-cabang mencapai ratusan madrasah tersebar di kota-kota dan kampong-kampung di bagian Timur Indonesia yang diberi nama “Al-Khairaat”, dengan harapan optimis dan keberkahan dari nama tersebut yang banyak di sebut dalam Al-Qur’an.

Sekolah tersebut secara resmi dibuka pada tanggal 14 Muharram 1349 H bertepatan dengan 11 Juni 1930 yand dihadiri oleh para pemuka-pemuka Arab yang tinggal di Palu dan sebagian petinggi-petinggi negeri. Para murid yang belajar di sana tidak dipungut biaya sama sekali. Habib ldrus memberikan gaji kepada para guru dan staf sekolah dari hasilnya berdagang.

Habib ldrus mengajar para santrinya dengan penuh dedikasi dan profesionalitas yang tinggi. Keikhlasan dan keuletan beliau telah membuahkan hasil. Perguruan AI-Khairaat waktu itu telah menghasilkan guru-guru Islam yang handal yang kemudian disebarkan ke seluruh pelosok Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan lrian Jaya.

Pada tanggal 11 Januari 1942, penjajah Jepang menduduki Sulawesi dan menjadikan kota Manado sebagai pusat pangkalan di Kawasan Timur Indonesia. Tidak berselang lama stelah itu, Jepang memerintahkan penutupan perguruan AI-Khairaat. Selama tiga setengah tahun kependudukan Jepang, Habib ldrus tidak menyerah sedikitpun untuk mengajar para muridnya.

Pada masa penjajahan Jepang tersebut, proses belajar mengajar tetap berlangsung meskipun secara sembunyi-sembunyi. Lokasi pembelajaran dialihkan ke desa Bayoge, yang berjarak satu setengah kilometer dari lokasi perguruan Al-Khairaat. Pengajarannya dilaksanakan pada malam hari dan hanya menggunakan penerangan seadanya, para muridnya datang satu persatu secara sembunyi- sembunyi.

Tepat saat kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 Habib ldrus kembali membuka perguruan AI-Khairaat secara resmi. Beliau berjuang kembali untuk mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam. Hingga selama kurun waktu 26 tahun (1930-1956) lembaga yang telah dirintisnya ini telah menjangkau seluruh kawasan Indonesia Timur.

Waktu terus berjalan tahun berganti tahun hingga pada tahun lima puluhan Sayid Idrus mulai mengembangkan pendidikan Islam Alkhairaat ini membuka berbagai jenis pendidikan dan strata di antaranya Ibtidaiyah, Muallimin empat tahun, dan enam tahun, madrasah lanjutan pertama (MLP), setara dengan SMP, Pendidikan Guru Agama (PGA), serta Perguruan Tinggi Islam (UNIS) pada tahun 1964 dengan nama Universitas Islam Al-Khairaat. UNIS pada waktu itu memiliki tiga fakultas di dalamnya, yaitu: Fakultas Sastra, Fakultas Tarbiyah, dan Fakultas Syariah, beliau sebagai Rektor pertamanya.

Pada peristiwa pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965, perguruan tinggi AI-Khairaat dinonaktifkan untuk sementara. Para Mahasiswanya diberikan tugas untuk berdakwah di daerah-daerah terpencil kawasan Sulawesi. Hal ini sebagai upaya untuk membendung paham komunis sekaligus melebarkan dakwah Islam. Setelah keadaan kondusif, pada tahun 1969 perguruan Tinggi AI-Khairaat dibuka kembali.

Sejak berdiri tahun 1930, saat ini Alkhairaat telah menaungi sekitar 1.700 madrasah, 43 pondok pesantren dan satu perguruan tinggi, Lembaga pendidikan tersebut masih eroperasi yang tersebar di 12 Provinsi dan 84 kabupaten/kota. Selain itu Alkhairaat juga memiliki rumah sakit yang dikelola secara mandiri. Saat ini ratusan ribu guru telah tersebar di pelosok-pelosok kampung untuk mengabdikan diri mereka mengembangkan Alkhairaat. Al-Khairaat saat ini merupakan lembaga sosial keagamaan terbesar di kawasan Timur Indonesia yang berpusat di kota Palu yang memiliki puluhan cabang di kabupaten/kota dan provinsi.

Setiap 12 Syawal, warga Palu Sulawesi tengah banyak berdatangan untuk menghadiri haul Habib Idrus yang juga dikenal dengan sebutan Guru Tua dalam rangka mengenang dan mendoakan beliau yang merupakan keturunan nabi Muhammad Rasulullah SAW. Sehingga, atas jasa beliau itu pulalah, bandara udara Palu diubah menjadi nama beliau, Bandar Udara Mutiara Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri.


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 30 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar