Peran KH. Abbas dalam Pertempuran 10 November 1945

 
Peran KH. Abbas dalam Pertempuran 10 November 1945
Sumber Gambar: laduni.id

LADUNI.ID, Jakarta – Kiai Abas adalah putra sulung KH. Abdul Jamil yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 1879 M di desa Pekalangan, Cirebon. Wafat pada hari Ahad pada waktu subuh, 1 Rabiul Awal 1365 atau 1946 Masehi, di pemakaman Buntet Pesantren.
Sedangkan KH. Abdul Jamil adalah putra dari KH. Muta’ad yang tak lain adalah menantu pendiri Pesantren Buntet, yakni Mbah Muqayyim salah seorang mufti di Kesultanan Cirebon.

Beliau menjadi Mufti pada masa pemerintahan Sultan Khairuddin I, Sultan Kanoman yang mempunyai anak sultan Khairuddin II yang lahir pada tahun 1777. Tetapi Jabatan terhormat itu kemudian ditinggalkan semata-mata karena dorongan dan rasa tanggungjawab terhadap agama dan bangsa. Selain itu juga karena sikap dasar politik Mbah Muqayyim yang non-cooperative terhadap penjajah Belanda – karena penjajah secara politik saat itu sudah “menguasai” kesultanan Cirebon.

Kiai Abbas mempunyai pengaruh dan peran yang sangat besar dalam Pertempuran Surabaya 1945. Pengaruh yang diberikan Kiai Abbas bisa dilihat ketika Kiai Hasyim Asy’ari belum memberikan izin untuk melakukan pertempuran sebelum Kiai Abbas datang, hal inilah yang mempengaruhi jalannya waktu pertempuran. Selain itu peran Kiai Abbas bisa dibuktikan dengan ikut sertanya Kiai Abbas dalam merumuskan Resolusi Jihad, sebagai komandan tertinggi Laskar Hizbullah dalam Pertempuran Surabaya 1945, membentuk dan mengirim pasukan dari Cirebon ke Surabaya, membentangkan jaringan telik sandi dari Cirebon ke arah timur hingga Surabaya, menentukan waktu pertempuran, dan berhasil mengobarkan semangat para pejuang dari berbagai kalangan.

Selain kedalaman ilmu agamanya, Kiai Abbas dikenal seantero tanah Jawa sebagai seorang pendekar karena kedigdayaan dan kesaktiannya. Kesaktian Kiai Abbas ini sejak awal diketahui oleh Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Diceritakan sekitar tahun 1900-an pada awal pendirian Pesantren Tebu Ireng, Kiai Abbas diminta bantuan oleh Kiai Hasyim untuk melindungi pesantrennya dari berbagai gangguan para bromocorah dan begal yang didukung Belanda serta Penguasa pabrik gula cukir. Maka, berangkatlah Kiai Abbas bersama Kiai Sholeh Zam zam Bendakerep, Kiai Abdullah Pengurangan dan Kiai Syamsuri Wanantara. Berkat pertolongan Alloh, berbagai gangguan yang menimpa pesantren Tebuireung ini akhirnya teratasi.

Disaat usianya memasuki masa senja, Kiai Abbas lebih berkonsentrasi melakukan dakwah ditengah masyarakat juga mengembleng ilmu kanuragan kepada santri dan masyarakat. Mendidik para santri dan masyarakat dengan ilmu beladiri saat itu dipandang Kiai Abbas sebagai kebutuhan mendesak sebagai bekal melakukan perlawanan atas kesewenang-wenangan para penjajah. Untuk membimbing pengajian kitab kuning kepada ribun santrinya diserahkan kepada dua adiknya, Kiai Anas dan Kiai Akyas.

Tidaklah mengherankan disaat menjelang meletusnya peperangan heroik tanggal 10 November 1945 di Surabaya, setelah keluar fatwa resolusi jihad Hadratusyaikh KH.Hasyim Asy’ari, panglima tertinggi laskar Hizbullah sekaligus Rois Akbar Nahdlatul Ulama (NU) ini memerintahkan para pemimpin laskar santri dan rakyat – termasuk kepada aktor menonjol saat itu yakni Bung Tomo – untuk menunggu dulu singa dari Jawa Barat. Tiada lain singa Jawa Barat yang dimaksud ini adalah Kiai Abbas. Melalui musyawarah dan restu Hadratusyaikh, Kiai Abbas ditunjuk menjadi komandan perang suci tersebut.

Fatwa Resolusi Jihad tentang kewajiban ummat Islam menentang penjajah yang dikumandangkan Hadratusyaikh KH.Hasyim Asy’ari dalam rapat konsul NU se Jawa Madura pada tanggal 22 Oktober 1945 di kantor NU Bubutan Surabaya menjadi titik tolak terpenting yang tidak bisa dipisahkan meletusnya perang heroik di Surabaya. Himbauan itu telah mendidihkan semangat juang laskar-laskar santri dari berbagai penjuru tanah Jawa berbondong-bondong membantu arek-arek Suroboyo.

Syahdan, setibanya di Surabaya Kiai Abbas disambut takbir dan pekik merdeka. Pasukan ulama, santri dan rakyat bahu membahu melancarkan perlawanan kepada tentara Inggris bersenjatakan lengkap dan modern. Konon, Meletusnya peperangan akibat tewasnya Brigadir Jenderal AWS Mallaby sebagai panglima militer itu memicu pasukan Inggris mengerahkan pasukan inti militernya, baik dari darat, udara maupun laut, yang merupakan pengerahan terbesarnya pasca perang dunia ke II.

Secara matematis dengan perbandingan kekuatan senjata tentara kolonial Inggris yang lengkap akan dengan dengan mudah menyapu bersih laskar pejuang santri-rakyat yang bermodalkan senjata seadanya. Namun tidak demikian yang terjadi. Kiai Abbas sebagai komandan perang sadar dengan kelengkapan tempur pasukan yang ada. Tiada jalan lain, kecuali memohon pertolongan kepada Alloh SWT . Kepada Kiai Ahmad Tamin yang menjadi pengawalnya, Kiai Abbas memerintahkan untuk berdoa ditepi kolam. Kepada Kiai Bisri Syamsuri, Kiai Abbas meminta agar memerintahkan para laskar santri dan pemuda yang akan berjuang untuk mengambil air wuldu dan meminum air yang yang telah didoai.

Diceritakan oleh seorang santri Rembang pengawal Kiai Bisri Syamsuri yang turut serta ke Surabaya saat itu, ditengah berkecamuknya peperangan Kiai Abbas yang mengenakan alas kaki bakiak berdiri tegak dihalaman masjid sambil menengadahkan tangan ke langit. Disaat itulah terjadi peristiwa luar biasa yang menunjukan karomah Kiai Abbas. Beribu-ribu alu (penumbuk padi) dan lesung (tempat menumbuk padi) dari rumah-rumah rakyat berhamburan menerjang para tentara sekutu. Suaranya bergemuruh seperti air bah. Sehingga bala tentara sekutu mundur kocar kacir kembali ke kapal induk.

Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 di Surabaya merupakan bagian dari penggalan sejarah saksi utama kecintaan Kiai Abbas terhadap Republik ini. Bersama pasukan laskar santri, Kiai pejuang dari Pesantren Buntet Cirebon ini telah mencurahkan segenap nafas kehidupannya untuk menegakkan kehormatan dan martabat sebuah bangsa.

Fatwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, mewajibkan umat Islam untuk berperang melawan koloni.
Tercetusnya fatwa tersebut melahirkan perlawanan hebat dari bangsa Indonesia hingga melahirkan perang 10 November 1945 yang dijadikan sebagai Hari Pahlawan. Semua manusia dari berbagai tingkatan usia turun gelanggang di Surabaya.
KH. Abbas Abdul Jamil, sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon saat itu, menjadi orang yang sangat dinantikan kehadirannya untuk memimpin jalannya pertempuran tersebut. Di usianya yang sudah tak lagi muda saat itu, 62 tahun, Kiai Abbas berada di garda terdepan menahan laju pesawat tempur yang siap membombardir ibukota Jawa Timur itu.

Memang, ada ribuan orang menjadi syahid pada peperangan tersebut. Namun, peperangan itu membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Sebab, sang panglima perang dari Inggris pun harus meregang nyawa pada 30 Oktober 1945, berbagai pesawat tempur meledak di udara, dan banyak hal yang secara nalar logika tidak mungkin, tetapi terjadi juga. Begitulah sikap patriotik masyarakat kaum santri. Kecintaan terhadap negeri bukanlah isapan jempol belaka, bukan pula hanya pada tataran wacana, tapi terimplementasikan dalam laku.

Para santri sudah sedari dulu bahu-membahu untuk memerdekakan bangsa ini dari belenggu kolonialisme. Mereka memperjuangkan segalanya, termasuk nyawanya, demi lepas dari kungkungan penjajah. Sebab, negara dan agama adalah dua hal yang membentuk simbiosis mutualisme, saling menguntungkan satu sama lain. Bahkan, ada juga yang menyebutnya sebagai dua sisi mata uang. Artinya, keduanya tidak bisa terpisahkan.

Dengan begitu, maka membela negara atau sikap patriotik adalah wajib karena bagian dari menjaga agama. Hal itu dikarenakan negara menjadi wadah tumbuhnya agama. Tanpa negara, mustahil agama akan tumbuh mengingat masyarakatnya akan terus disibukkan dengan peperangan tiada henti.

Sikap santri  tujuan berjuang melawan penjajahan bukan untuk mendapatkan pangkat, jabatan, dan apresiasi lainnya. Sikap patriotik mereka itu dilakukan demi menjaga kedaulatan negeri yang di dalamnya mengandung juga penjagaan terhadap eksistensi agama Islam, bela diri dan martabat bangsa, serta penjagaan atas aset harta yang sudah menjadi hak bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Semoga dari tulisan ini kami berharap untuk generasi penerus bangsa bisa meneladani dan membangkitkan sikap kepahlawanan yang telah ditunjukkan Kiai Abbas

 

Sumber : Dari berbagai sumber Sejarah Perjuangan Para Ulama

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal  08 Oktober 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan
Editor : Lisandipo