Kemaksiatan atau Vulgar

 
Kemaksiatan atau Vulgar

LADUNI.ID | Kolom --

Foto ini konon diambil di sebuah jalan di Vancouver, Kanada. Saya comot dari sebuah grup senirupa. Aslinya tidak seperti itu. Suasana sebelah menyebelahnya sengaja saya kaburkan. Supaya fokus kepada karya seni jalanan ini. Terutama kepada pesan yang saya duga ingin disampaikan senimannya. Agar tak terganggu oleh lainnya.

Dan ketika saya sodorkan kepada sejumlah teman, berbuihlah kami tentangnya. Ada yang ngilmiah milosofis dengan mengaitkannya pada isu gender dan feminisme, dengan menyebut-nyebut "upaya sia-sia menghapus masoginis". 

Ada pula yang melihatnya dengan kacamata moral dan agama. "Apapun, gambar ini sangat tak pantas. Terlebih di tempat umum seperti itu," katanya.

Ada lagi yang sangat berterusterang, sekaligus vulgar dan "brutal": "Sekali ngaceng, ya tetap ngaceng. Mau ditutupi pakai apapun".

Apapun ekspresi bahasa dan sudut pandang kami, saya berkesimpulan: Karya ini memiliki humor yang kuat. Dan sangat relevan dengan kondisi kita di Indonesia sekarang ini. Bahkan, mungkin, di negeri lain. Dan kapanpun. Tak hanya sekarang.

Kecuali bagi kawan yang moralis agamis tadi, ini tak semata melucu. Tapi, memaparkan sejenis ironi sekaligus sinisme. Terkait moral umumnya, etika khususnya, terlebih khusus lagi ihwal pornografi dan hal-hal terkaitnya. 

Sederhananya, praktik menghapus kemaksiatan lebih merupakan usaha yang sia-sia. Kalaulah bukan cara menghapusnya yang menimbulkan kemaksiatan lain, bahkan dalam bentuk yang lebih vulgar, faktanya tak semua manusia memiliki iman dan takwa sebagaimana si penghapus maksiat. Kemaksiatan lain pun akan timbul.

Tentu saja, dengan menyebut sia-sia tadi tak berarti upaya menghapus kemaksiatan tak perlu dilakukan. Bukan. Malah harus. Tapi, caranya hendaknya dilakukan secara “canggih” sehingga tak menimbulkan kemaksiatan lainnya. Lewat penegakan hukum.

Hal lainnya: Sebagaimana diwakili kawan kami yang moralis agamis tadi, adakah hal ini layak disebut keindahan - karya seni? Terutama untuk locus Indonesia yang konon relijiyeus ini.

Kalaupun iya, layakkah itu dipertontonkan di tempat umum? Terlebih di tepi jalan seperti itu? Bahkan, sebagai praktik seni jalanan sekalipun? Dan seterusnya.

Dua hal itu, moral dan konservatisme agama, kita tahu, tak henti mengintai praktik kesenian di sini selama beberapa dekade ini. Termasuk, atau malah terlebih, terhadap apa yang kita anggap sebagai seni tradisi.

Penulis: Maman Gantra

 

(srf)