Begini Beratnya Menjadi Santri di Era Millenial

 
Begini Beratnya Menjadi Santri di Era Millenial

LADUNI.ID, Jakarta - Sejauh ini, jika disebutkan kata milenial, persepsi kita langsung dibawa pada gugusan ciri satu generasi yang sepintas kilas begitu menyenangkan, ringan dan instan. Sekumpulan tingkah laku anak muda kekinian yang kurang lebih dideterminasi oleh perluasan fungsi teknologi informasi. Sehingga hubungan sosial apapun yang memungkinkan akan diproses secara online; mulai dari komunikasi biasa, belanja, politik dan bahkan dahwah. Dengan ditingkahi sapaan gaes, bro dan sist, generasi ini juga lekat pada sebuah hubungan produksi yang tengah jadi andalan, yaitu Industri kreatif. Apapun itu, mulai dari Industri merchandise sampai pada usaha warung kopi, yang tentunya tidak asal warkop. Asyik kan?

Sesuai data perkembangan demografi, Indonesia akan segera memanen bonusnya dan tentunya generasi milenial inilah subyek yang dimaksud. Secara keseluruhan, generasi ini disinyalir menempati lebih dari sepertiga jumlah penduduk Indonesia, proporsinya sekitar 34, 45 persen! Bayangkan jumlah kita gaes! Sangat menentukan ya, tapi secara jumlah lho.

Menurut para pencetus istilah ini, generasi yang dipatok pada mereka yang lahir sejak tahun 80 hingga tahun 2000-an ini, (ingat, ini ukuran Amrik, Gaes, mungkin di kita harus mundur sekian tahun) adalah mereka yang juga bersikap cuek pada fenomena politik, apalagi terhadap fenomena yang menyertakan perbincangan serius dan ndakik-ndakik, semacam perdebatan ideologi dan agama, umpamanya. Bayangkan, sesantai-santainya forum diskusi yang membahas politik dan isu keagamaan, sejauh ini, yang dikemas di cafe-cafe, tetap aja njlimet, dedet. Apalagi itu lho, pembicaranya, kadang bicara tanpa ekspresi, datar saja dari depan sampai belakang. Nggak ada sentuhan emosionalnya sama sekali. Mending kalau sekalian orasi, paling tidak ada sesuatu yang terasa menggugah-lah biar tidak lempeng-lempeng saja. Maka, dalam situasi seperti ini gawai menjadi lebih menyenangkan, seserius apapun paparan, kita akan lebih asyik WA-an, Messenggeran, Retweet, nge-Like dan Share konten-konten sosmed.

Di balik kecuekan dan asyiknya kita ini, ternyata banyak dari bapak dan ibu yang hebat-hebat itu, yang pinter-pinter mengolah ide dan gagasan, merangkai simpulan dari serangkaian pengamatan dan bahkan riset betulan(!), yang memerhatikan kita dengan dahi berkerut. Memikir-mikirkan kita akan menjadi apa, milenial akan diapakan? Mereka menyerukan agar kita tidak salah pilih secara politik, menyarankan agar tidak berlabuh pada paham keagamaan yang radikal, menganjurkan untuk lebih bersimpati pada kenyataan, bukan semata menyembunyikan diri dalam identitas kemayaan akun-akun sosmed. Kita harus berterima kasih lho, sudah dipikirkan oleh mereka.

Kalau dipikir-pikir memang benar, gaess. Kekhawatiran mereka tidaklah semata merumit-rumitkan masalah. Situasi memang penuh pergumulan, isme-isme itu saling merebut pengaruh dan percobaan untuk menghegemoni melalui kekuatan-kekuatan politik yang tengah berkontestasi. Mungkin sedikit membutuhkan konsentrasi bagi kita untuk memahami gejala konservatifisme agama. Fenomena ini sepertinya menumpang pada pertumbuhan kelas menengah urban yang independen dan cenderung terputus hubungannya dengan sumber-sumber pengetahuan keislaman yang selama ini dikelola secara tradisional di pelosok-pelosok desa sana. Mereka ini hidup dengan ritme yang sangat ditentukan oleh sistem masyarakat kapitalistik yang teratur, modern dan rasional. Hingga agak canggung kalau sudah bicara tentang berkah kiyai, belajar dengan metode yang lebih banyak Riyadloh-nya, atau menjadi bingung menyaksikan penghormatan pada Guru yang berpegang pada adab-adab yang disusun dengan nilai-nilai yang berlaku sejak ratusan tahun silam.

Namun, tiba-tiba, dengan cara berpikirnya yang simplistis, mereka memotong sekian untaian tradisi dan mencoba dengan sembrono mengembalikan pemahaman mereka langsung pada sumber teks Islam, Al-Quran dan Hadits. Kemudian apa yang terjadi? Islamnya tidak proporsional, aneh dan cenderung tidak nyambung antara nalar dan kenyataan keseharian. Tongkrongannya mantap di gerai-gerai warung kopi TNC/MNC, berkendaraan mobil mewah dan berjejaring dengan teknik yang sangat modern tapi begitu tekstual dalam memahami ayat-ayat suci dan hadits. Bahkan diantara mereka ada yang begitu instrumentalis-politis dalam memahami agama. Agama hanya alat untuk menggapai sesuatu. Agama hanya nilai-nilai sosial yang bisa dijadikan alat penggalangan sentimen politik. Aneh kan?

Orang-orang pinter tadi kemudian meringkus gejala ini dalam sebuah kata: konservatifisme. Padahal kita tahu kan gaess, kalau secara konvensional para pengamat dan cerdik-cendikia bule yang sudah lama meneliti NU, menabalkan NU sebagai salah satu golongan Islam konservatif. Nah sekarang, yang lebih konservatif dan wagu ternyata ada. Kenapa wagu, karena sandaran mereka goyah jika sudah dihadapkan pada mereka yang radikalis, mereka cenderung lebih akomodatif. Nah, agak menakutkan, kan gaess? Nggak jelas mereka ini kalau sudah bicara komitmen toleransi dan perdamaian. Jauh lebih tidak jelas dari yang dituduhkan pada kita, generasi milenial.. hehe..

Gaess, itulah constrain sisi kanan kita. Kita bahkan sangat progresif jika dibandingkan dengan sisi kanan tersebut. Tapi kita menjalankan Islam yang moderat. Moderatisme inilah yang selama ini menjiwai NU dalam pemahaman dan implemetasi Islam. Sebuah manhaj yang lentur dan bijak dalam merespon perkembangan jaman. Warga NU selalu bersikap tawassuth (moderat) dan i’tidal (lurus, konsisten). Sikap tawassuth (moderat) jamaah NU ini berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun. Tidak terlalu mudah terpancing pada kebaruan yang belum diselidiki kebaikan dan kebenarannya juga tidak terlalu bersikukuh untuk berpedoman pada pahaman-pahaman yang dirasa telah ketinggalan jaman serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat atharruf (ekstrimis).

Warga NU selalu bersikap toleran (tasamuh). Sikap toleran ini, terutama ditujukan terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ (cabang ) atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan. Tasamuh juga diartikan sebagai sikap menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini.

Kemudian, kita harus selalu bersikap seimbang (tawazun) dalam berkhidmah/mengabdi. Yakni, menyertakan khidmah kepada Allah SWT, khidmah kepada sesama manusia serta khidmah kepada lingkungan hidupnya. Artinya, kita harus menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin). Sikap seimbang juga berarti menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Tawazun juga berarti seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari al-Quran dan hadits).

Ah, masak? Ya iyalah. Buktinya, ketika ada kelompok politik yang mencoba memainkan isu yang ada irisannya dengan doktrin keislaman, ya.. tetap kita lawan(!) Jika itu mencoba menawarkan semacam ide yang menyunat tampilan utuh dari doktrin tersebut, contohnya tentang Isu penolakan Poligami yang belakangan lagi hits.

Doktrin, tetap tetaplah hal yang obyektif, gaess. Tidak boleh dicuplik sedikit lalu dipoles dengan semau-maunya kita. Hanya saja soal pelaksanaan, agama kan selalu bertumpu pada kebijaksanaan. Contohnya, soal membalas perbuatan jahat, kan boleh, hanya saja Allah lebih suka pada yang memaafkan. Sama dengan Poligami, boleh, hanya saja bijaksananya adalah untuk lebih mengutamakan kemaslahatan kehidupan Rumah Tangga, kemampuan berkeadilan dan masa depan anak-anak kita. (FYI, Tulisan ini diketik bukan di bawah pengawasan ibu negara lho, murni sedang sadar..hehe)

Anggap saja moderatisme islam ini sedang berjalan di antara godaan dan ujian konservatifisme di satu sisi dan sekularisme di sisi lainnya, maka menjadi santri milenial tidak mudah-mudah amat, kan? Artinya, kita tetap dituntut selalu update, agak cuek dikit, berwawasan luas, setia pada nilai-nilai tradisi, produktif, kreatif juga istiqomah nongkrong di cafe.

(Artikel ini ditulis oleh: Fuad al-Athor. Sumber: dakwah.web.id)