Beginilah Penjelasan tentang Adat Menurut Pandangan Para Ulama

 
Beginilah Penjelasan tentang Adat Menurut Pandangan Para Ulama

Adat berasal dari kata al-‘adah yang bersinonim dengan kata al-‘urf. Derivasi kata al-‘urf yang lebih dipakai di masyarakat adalah kata makruf. Kata makruf sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab al-ma’ruf yang berarti; (1) perbuatan baik, jasa, dan (2) terkenal atau masyhur. Kata al-ma’ruf masih satu akar kata dengan kata al-‘urf. Al-ma’ruf merupakan antonim kata al-munkar, dan al-nukr antonim dari kata al-’urf. Dalam ungkapan keagamaan di Indonesia, kita sering mendengar istilah amar makruf nahi mungkar. Secara etimologi, kata al- ‘urf bermakna segala bentukan kebaikan yang disukai oleh setiap manusia. Namun demikian, al-Zujaj membatasi kebaikan ini dalam bentuk perbuatan saja, tidak dalam bentuk perkataan, kebudayaan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, al-munkar berarti sesuatu yang suatu bentuk tindakan, perkataan, dan sikap yang tidak disukai oleh manusia secara umum.

Al-‘urf, menurut Ibnu Faris, memiliki dua arti dasar; (1) sesuatu yang terus menerus dilakukan secara turun-temurun; dan (2) kedamain serta ketenangan. Arti dasar yang pertama, bersinonim dengan kata al-‘adah, namun terdapat sedikit perbedaan komponen makna. Bila al-‘urf adalah suatu perbuatan yang sudah dilakukan berkali-kali, sehingga telah menjadi kebiasaan, namun al-‘adah adalah suatau perbuatan yang dilakukan lebih dari dua kali. Oleh karena itu, al-‘urf dalam arti dasar yang pertama tepat bila diterjemahkan dengan kata adat dalam bahasa Indonesia. Menurut Syekh Yasin, yang memiliki julukan musnid al-dunya, kata al-‘urf sering digunakan dalam arti yang sama dengan al-‘adah. Menurutnya, al-‘adah adalah suatu kebiasaan yang diterima oleh akal sehat. Namun demikian, menurut sebagian pakar, al-‘urf dan al-’adah itu berbeda. Al-‘urf suatu kebiasaan baik yang diterima oleh akal sehat masyarakat pada umumnya. Kebiasaan baik itu berupa suatu perkataan. Sementara itu, kebiasan baik yang berupa suatu perbuatan atau tindakan disebut dengan al-‘adah.

Dalam literatur usul fikih, al-‘urf dijadikan sebagai dasar landasan hukum dalam menetapkan suatu permasalahan hukum. Namun, al-‘urf termasuk salah satu landasan hukum yang diperdebatkan ulama Usul Fikih. Secara formal, al-‘urf diakui sebagai dalil oleh tiga mazhab fikih, yaitu Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad. Sementara itu, al-Syafi’i dalam kitabnya al-Risalah tidak menuliskan secara formal tentang al-‘urf. Namun demikian, secara praktik al-Syafi’i juga mengakui al-‘urf merupakan hal penting yang perlu diterima dalam menentukan sebuah hukum. Hal ini dibuktikan dengan adanya qaul qadim (pendapat al-Syafi’i ketika di Irak) dan qaul jadid (pendapat al-Syafi’i ketika di Mesir). Dengan demikian, para fukaha mazhab Syafi’i beranggapan bahwa perubahan pendapat alSyafi’i itu dikarenakan pada kondisi sosial, budaya, tradisi yang berbeda antara dua negara tempat al-Syafi’i tinggal pada waktu itu.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN