Orang Berilmu Lebih Utama dari Ahli Ibadah, Mengapa?

 
Orang Berilmu Lebih Utama dari Ahli Ibadah, Mengapa?
Sumber Gambar: Unsplash.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sayyidina Ali berkata, tidak ada ibadah yang nilainya itu seperti berpikir. Dan berkata sebagian Ahli Ma’rifat “Berpikir adalah lampunya hati” Di sisi lain disebutkan bahwa berpikir sebentar adalah lebih baik dari pada beribadah selama 60 tahun. Syekh Al Khafani berkata “Bertafakur di dalam hal-hal yang diciptakan oleh Allah, di dalam sakaratul maut, siksa kubur, dan prahara hari kiamat itu lebih baik, dari pada memperbanyak ibadah.

Ulama yang memiliki kedekatan lebih dengan Allah itu kebanyakan ibadahnya biasa saja, tetapi banyaknya adalah berpikir. Ada perumpamaan bahwa Allah SWT berkata, “Kalau kamu benar bisa mengendalikan kehidupan, coba nyawamu ketika akan sakaratul maut, ketika akan meninggal itu nyawanya ditahan.” Sehingga kita sadar, mengendalikan hal yang paling kita inginkan saja ketika itu tidak bisa, yaitu nyawa. Ini menunjukan betapa kita adalah makhluk yang sepele.

Pun juga dengan mengendalikan cinta, kita pasti tidak bisa. Karena itu bukan wilayah kita. Siapa yang mengarahkan perasaan cinta seseorang kepada kita? Tentu bukan wilayah kita. Di sisi lain terkadang kita memiliki pilihan, dan pilihan itu yang malah mengarahkan kepada kebangkrutan, terkadang punya keinginan malah mejadi kecelakaan. Misalkan seorang anak ingin sepeda, lalu dibelikan orang tuanya malah jadi sebab jatuhnya kecelakaan. Punya asset kaya, malah terpleset.

Kita jika melihat kuasanya Allah itu begitu dahsyatnya. Misalkan nyamuk saja yang kecil, bagaimana itu bisa tercipta uratnya, lalu bagaimana itu tercipta aliran darahnya, bagaimana di dalam pencernaannya yang kecil itu ada kumannya. Itu MasyaAllah sekali jika kita pikir bersama. Sehinggaa kita yakin sekali jika Alah itu ala kulli syai’in qodir. Allah adalah Maha Kuasa atas segala hal.

Daripada ibadah ratusan tahun, lalu yang diinginkan hanyalah surga, kan itu tidak bermutu sekali bandingannya. Karena itu sebenarnya digerakan oleh egoisnya sendiri. Coba bandingkan dengan orang yang berilmu. Ia memikirkan bagaimana agar caranya mengaji belajar ilmu itu murah, gampang, dan bisa diakses oleh siapa saja, dan kapan saja. Agar orang bisa mudah menyebut Allah dan benar.

Sehingga diajarkan caranya sesuatu yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW. Seperti para ulama yang mengajar Kitab Hikam, Bukhori, Ihya’ dan setersunya. Itu semua agar orang-orang bisa mengenal Tuhannya dengan mudah. Mengetahui caranya menyembah Allah dengan baik. Sampai-sampai mereka tidak memikirkan dirinya bakal di surga atau neraka nantinya.

Sehingga jika disebut ibadahnya seseorang awam ini dibandingkan dengan Ulama, perbandingannya adalah enam puluh tahun, adalah wajar saja.

Kalau kita pikirkan, di dunia dan di akhirat itu yang paling untung adalah orang yang mencapai derajat tinggi disisi Allah seperti para Nabi, Rasul, dan Wali-wali nya Allah SWT.

Salah satu nasehatnya KH. Nursalim (Abahnya Gus Baha) yang paling diingat adalah, bagaimana agar tidak sering kepikiran untuk menjadi wali. Apalagi yang bukan jalur ulama atau keilmuan. Karena itu tidak terlalu menguntungkan islam, jika bukan wali jalur keilmuan.

Jadilah kamu orang yang ahli Fiqih, karena itu akan menguntungkan islam. Orang jadi bisa tau cara sholat, haji, zakat sehingga Islam jadi untung. Begitu kata KH. Nursalim kepada Gus Baha.

Sesorang jika menjadi wali bukan jalur keilmuan, dan diagungkan oleh masyarakat terlalu berlebihan itu kalau Wali benar Indaallah, maka pasti ia risih atau merasa terganggu. Maka kita jangan berani sama Ulama, bisa kualat dunia ahirat.

Kita ketahui bersama, Ulama itu adalah seseorang yang menerangkan sesuatu, sehingga islam itu menjadi tersebar.

Pernah suatu saat Mbah Yai Hamid Pasuruan berkata kepada Kyai Nursalim, “Orang menganggap saya itu wali, paling nanti sowan bawa gula. Tapi kalau saya mengajarkan fiqih, maka orang itu nanti akan tahu tata caranya ibadah”. Sehingga disini itu berarti Mbah Yai Hamid adalah wali beneran. Karena yang dipikirkan adalah kelangsungan islam, kelangsungan ibadah.

Bahkan diketahui bahwa Mbah Hamid Pasuruan sendiri itu mengajarkan kitab Mabadi’ fiqih. Yang mana ini memperlihatkan bahwa kewalian seseorang itu tidak lebih penting dari kelangsungan ilmu yang harus terus tersebar luas. Wallahu a’lam.


Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian KH. Bahaudin Nursalim (Gus Baha). Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.

_____

Penulis: Athallah Hareldi

Edior: Hakim