Dunia yang Dinamis Jangan Sampai Membuat kita Terpuruk dalam Kesombongan

 
Dunia yang Dinamis Jangan Sampai Membuat kita Terpuruk dalam Kesombongan
Sumber Gambar: Unsplash.com, Ilustrasi: laduni.ID

 

Laduni.ID, Jakarta - Dunia ini begitu kompleks, penuh dengan perubahan yang tidak terduga, dinamika pun terus berubah. Tidak ada aspek tunggal di dunia ini yang tetap statis sepanjang waktu. Pada akhirnya, konsistensi sepertinya hanyalah suatu ideal yang sulit dijangkau dalam kenyataan. Perubahan cuaca yang tidak terduga, pergeseran dalam tren mode berpakaian, dan perubahan dalam pandangan sosial-politik adalah contoh bagaimana dunia ini tidak konsisten. Tidak peduli seberapa kuat manusia berusaha untuk merencanakan dan memprediksi, faktor-faktor luar yang tidak dapat kita kendalikan seringkali berkontribusi pada ketidakpastian dan ketidaksempurnaan yang mewarnai dunia ini.

Imam Ghazali mengatakan dalam Ihya Ulumiddin:

وَلَذَّاتُ الدُّنْيَا كُلُّهَا نَاقِصَةٌ مُكَدَّرَةٌ مُشَوَّشَةٌ لَا يَفِيْ مَرْجُوُّهَا بِمَخُوْفِهَا وَلَا لَذَّتُهَا بِأَلَمِهَا وَلَا فَرَحُهَا بِغَمِّهَا هَكَذَا كَانَتْ إِلَى الْآنَ وَهَكَذَا تَكُوْنُ مَا بَقِيَ مِنَ الزَّمَانِ

Semua kelezatan dunia ini tidak sempurna, bercampur kekeruhan, yang diharapkan tidak sebanding dengan yang ditakuti, kelezatannya tidak sebanding dengan kepedihannya, kebahagiannya tidak sesuai dengan kesusahannya. Dunia dari dulu memang begitu dan tetap seperti itu sampai akhir zaman nanti.

Tidak konsistennya dunia ini juga tercermin dalam sifat manusia sendiri. Manusia, sebagai bagian integral dari dunia ini, memiliki kecenderungan untuk tidak konsisten dalam tindakan dan pilihan mereka. Pada suatu waktu, seseorang mungkin memiliki tekad dan komitmen kuat terhadap suatu tujuan atau prinsip tertentu. Namun, seiring berjalannya waktu dan berubahnya situasi, mereka dapat mengalami pergeseran dalam pandangan mereka.

Ketidakpastian yang melekat dalam kehidupan mengakibatkan manusia seringkali memilih jalan yang berbeda dari yang pernah mereka rencanakan. Keputusan yang diambil dengan penuh keyakinan pada awalnya bisa saja terkikis oleh perubahan lingkungan atau pengalaman hidup. Ini tidak selalu menunjukkan kurangnya integritas atau kemauan untuk mematuhi komitmen, tetapi lebih kepada refleksi dari dinamika dunia di sekitar mereka.

Selain itu, manusia juga cenderung untuk tidak konsisten dalam menghadapi tantangan atau kesulitan. Mereka mungkin merasa termotivasi dan bersemangat untuk mengatasi hambatan pada awalnya, tetapi ketika hambatan tersebut semakin sulit atau membutuhkan pengorbanan yang lebih besar dari yang mereka perkirakan, semangat tersebut bisa melemah.

Terdapat sebuah nasihat dalam kitab Al-Hikam karya Syekh Ibnu Atha'illah as-Sakandari

إِنَّمَا جَعَلَهَا مَحَلًّا لِلْأَغْيَارِ وَمَعْدَنًا لِلْأَكْدَارِ تَزْهِيْدًا لَكَ فِيْهَا” 

 “Allah sengaja menjadikan dunia ini tempat untuk kerusakan dan sumber kekeruhan untuk menjadikan kamu zuhud terhadap dunia”.

Nasihat ini memvalidasi bahwa kecenderungan manusia memang memiliki inkonsistensi terhadap apa yang telah dipilih. Sebagai contoh, awalnya ingin menjadi ilmuwan. Sudah itu ingin menjadi mubaligh. Menjadi orang kaya nanti akan merasa repot, jadi orang miskin juga akan repot. Pokoknya manusia ini tidak konsisten. Tapi tujuan Allah ini hanya satu, semua itu agar kita membenci dunia. Tujuan Allah SWT menciptakan dunia dengan segala kesusahannya sejatinya adalah agar kita tidak terlalu cinta dunia dan hanya merindukan Allah.

Keadaan inkonsistensi ini membuat manusia secara psikologis terpojokkan. Jika keinginan baru tidak terpenuhi, ini akan membuat manusia tidak stabil secara emosional. Keadaan ini akan membuat manusia sulit untuk menerima nasihat dari orang lain, Inilah yang menjadi solusi terkait ujian yang dirasakan oleh manusia dalam keadaan terpojok, "Allah mengetahui jika engkau sekedar dinasehati saja tidak akan cukup, yang bisa menaklukkan itu adalah ketika sudah mencicipi atau merasakan azab dari-Nya".

Azab yang dimaksud adalah ujian terhadap manusia. Manusia yang merasa terpojokkan oleh keadaan, apalagi dalam keadaan betul-betul susah, jika diberi nikmat oleh Allah SWT ia akan berpikir jernih. Contoh berpikir jernih ini adalah bagaimana manusia bisa menurunkan ego masing-masing. Bagaimanapun ego manusia jika dikedepankan akan membuahkan kesombongan, yang ini tidak akan ditolerir oleh Allah SWT.

Sebagai contoh ketika kita memiliki masalah dengan saudara kita, kita gengsi untuk datang menguluk salam silaturahmi, ini tidak akan selesai. Masalah justru akan besar, karena saudara adalah orang yang palin dekat dengan kita setelah orang tua. Solusi yang tepat adalah tetap menjalin silaturahmi dengan saudara-saudara kita, dengan menurunkan ego. Jangan sampai kita yang menaruh gengsi, dengan menanamkan mindset bahwa mereka yang harus datang ke kita.

Pelajaran ini juga menunjukkan kalau kita sombong dalam keadaan jaya atau terpuruk, mengutip pepatah yang ada di Kitab Al-Hikam "Maksiat yang menjadikan hati tawadhu itu lebih baik daripada taat yang menjadikan orang sombong".

Wallahu a’lam bisshowab


Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian KH. Bahaudin Nursalim (Gus Baha). Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.

_______

Editor: Athallah Hareldi