Serial Tokoh Wayang: Begawan Abiyasa

 
Serial Tokoh Wayang: Begawan Abiyasa

Laduni.ID, Jakarta - Begawan Abiyasa adalah adalah kakek keluarga Pandawa dan Kurawa. Ayah Begawan Abiyasa adalah Begawan Palasara, pertapa terkenal dari Gunung Rahtawu. ibunya, yang bernama Dewi Durgandini, telah pergi meninggalkannya sejak Begawan Abiyasa masih bayi, Dewi Durgandini pergi karena dipaksa kembali ke kerajaan oleh ayahnya. Begawan Palasara lah yang mengasuh dan mendidik Begawan Abiyasa. Pada mulanya mereka hidup berkelana dari negeri satu ke negeri lainnya, tetapi kemudian menetap di Gunung Rahtawu dengan membangun sebuah pertapaan yang dinamakan Sapta Arga. Dari Begawan Palasara ia mewarisi bakat sebagai  pertapa, selain itu juga mendapat pengajaran mengenai ilmu kesusasteraan dan ketatanegaraan.

Menurut cerita pewayangan, ketika Begawan Abiyasa masih bayi pernah berebut air susu Dewi Durgandini dengan bayi Dewabrata, yang kemudian lebih dikenal dengan Resi Bisma. Waktu itu, Sentanu datang ke Astina bersama Dewabrata, dan minta agar Dew! Durgandini mau membagi air susunya pada Dewabrata.Dewi Durgandini yang saat itu menjadi permaisuri Pelasara tidak berkeberatan, Tetapi ternyata Dewabrata amat rakus, sehingga Begawan Abiyasa sering tidak kebagian air susu ibunya sendiri. ini membuat Begawan Palasara, yang ketika itu sudah menjadi raja dan bergelar Prabu Dipakiswara, marah. Karena persoalan air susu itu akhirnya Sentanu berperang tanding dengan Begawan Palasara, Batara Narada yang turun dari kahyangan segera datang melerai mereka. Dewa itu mengatakan bahwa sesuai kehendak para dewa Begawan Palasara harus mengalah pada Sentanu. Ia harus merelakan takhta Kerajaan Astina dan juga permaisurinya, Dewi Durgandini. Dengan begitu, ketika masih bayi Begawan Abiyasa . terpaksa kehilangan ibu.

Cerita mengenai kelahiran Begawan Abiyasa ini, wayang purwa Jawa Timuran mempunyai versi lain lagi. Pada pedalangan dari Jawa Timur, ibu Begawan Abiyasa bernama Dewi Ambarwati, Pada saat Begawan Abiyasa lahir, saat ditidurkan, Begawan Palasara melihat makhluk kecil bergerak-gerak di samping bayi Begawan Abiyasa. Setelah diperhatikan, makhluk itu adalah seekor set (belatung). Dengan kesaktian yang dimilikinya, Begawan Palasara mengubah wujud set itu menjadi kesatria perkasa yang kemudian diberi nama Seta.

Pada waktu Begawan Abiyasa berumur sembilan bulan, Begawan Palasara mengajak istrinya pindah ke Pertapaan Sapta Arga. Tetapi Dewi Ambarwati menolak. Karena itu, Begawan Palasara pergi sendiri bersama bayi Begawan Abiyasa. Tak lama setelah kepergian suami dan anaknya, Dewi Ambarwati sadar akan kewajibannya . sebagai istri dan ibu. Karenanya ia segera menyusul ke Sapta Arga, Di perjalanan Ambarwati bertemu dengan Sentanu  yang menggendong anaknya, Dewabrata, yang sedang menangis kehausan, Dewi Ambarwati lalu menyusui bayi Dewabrata. Bahkan kemudian Dewi Ambarwati merawat Dewabrata sampai dewasa. Sebagai balas budi karena dibesarkan air susu Dewi Ambarwati, maka Dewabrata yang kemudian lebih dikenal sebagai Resi Bisma, menyerahkan takhta Astina kepada Begawan Abiyasa. Demikian menurut pedalangan di Jawa Timur.

Dalam pewayangan, kisah kelahiran Begawan Abiyasa adalah sebagai berikut, Dewi Durgandini atau Dewi Lara Amis yang hidup sebagai wanita tukang satang (pendayung) perahu tambangan di Sungai Yamuna. Nama Durgandini mempunyai arti badannya mempunyai aroma atau berbau amis. Karena badannya penuh dengan luka karena penyakit kulit. Suatu hari mendapat pelanggan seorang pertapa muda, Pertapa itu adalah Begawan Palasara yang saat itu sedang berkelana minta agar diseberangkan untuk melintasi sungai Yamuna.Di dalam perahu, Begawan Palasara menawarkan jasanya untuk menyembuhkan penyakit kulit yang sedang diderita Durgandini. Ternyata penyakit itu bukan penyakit biasa, ketika Begawan Palasara mencoba mengobatinya, sang penyakit melawan, sehingga terjadi perkelahian. Perkelahian dahsyat itu menyebabkan terjadinya badai di sekitar perahu. Sang penyakit itu akhirnya kalah, dan menjelma menjadi seorang pria berwajah buruk, bernama Rajamala.

Sementara itu, akibat badai dan serunya perkelahian, perahu tambangan itu pun pecah terbelah dua, Kedua pecahan perahu itu menjelma menjadi dua orang pria yang oleh Begawan Palasara diberi nama . Kencakarupa dan Rupakenca. Dayung Dewi Lara Amis menjelma menjadi. seorang putri cantik, yang diberi nama Dewi Rekatawati. Keempat manusia jadian itu minta diakui sebagai anak Begawan Palasara.

Sesudah permintaan itu dikabulkan, oleh Begawan Palasara keempatnya disuruh pergi ke Kerajaan Wirata. Durgandini telah sembuh, bahkan dari tubuhnya mengeluarkan aroma/ ganda wangi yang tercium sampai satu yojana (yojana berasal dari bahasa Sanskerta yang bermakna adalah sebuah unit atau satuan untuk mengukur jarak. Satu yojana kurang lebih panjangnya sekitar 15 kilometer). Durgandini ditambah namanya oleh Begawan Palasara menjadi Dewi Sayojanagandi atau Setyawati, Pecahnya perahu itu menyebabkan Begawan Palasara dan Dewi Sayojanagandi terdampar di sebuah pulau. Di pulau inilah Durgandini atau Setyawati hamil dan beberapa bulan kemudian Begawan Abiyasa lahir

Sebagai seorang pertapa sesungguhnya Begawan Abiyasa tidak pernah berkeinginan menjadi raja. Lagi pula, ia merasa tidak berhak menduduki takhta Kerajaan Astina, karena ia tahu yang lebih berhak adalah Resi  Bisma alias Dewabrata, putra Prabu Sentanu, Raja Astina terdahulu. Namun karena Resi Bisma sudah bersumpah tidak akan menduduki takhta Astina, Begawan Abiyasa terpaksa menuruti kehendak ibunya, menjadi raja. Ibu Begawan Abiyasa, Dewi Setyawati atau Durgandini, sesudah berpisah dengan Begawan Palasara menjadi permaisuri Prabu Sentanu.

Sebelum Begawan Abiyasa naik tahta, yang menjadi raja Astina adalah Citranggada dan Wicitrawirya, Namun, kedua putra Dewi Setyawati dari Prabu Sentanu itu tidak berumur panjang, keduanya mati muda. Citranggada mati karena perang, sedangkan Wicitrawirya mati muda karena sakit. Kematian kedua pewaris wangsa Bharata tersebut mengancam kelanjutan wangsa Bharata. Padahal, Bisma terlanjur bersumpah tidak menikah.

Ada sebuah ketentuan yang dibenarkan, jika sebuah negara benar-benar terancam garis keturunan \ pewarisnya, maka seorang yang dianggap suci pada zaman itu boleh mengawini janda sang raja untuk meneruskan keturunan. Bisma kemudian membujuk Begawan Abiyasa sebagai seorang Begawan yang suci untuk turun gunung menyambung wangsa Bharata yang terancam punah. Begawan Abiyasa disuruh mengawini janda-janda kedua adik tirinya. Dengan demikian ia telah membuahkan anak-anak penerus keturunan wangsa Bharata sebagaimana dikehendaki oleh ibunya.

Kedua janda adik tirinya yang dikawini oleh Begawan Abiyasa itu bernama Dewi Ambika dan Ambalika. Keduanya adalah putri Prabu Darmamuka atau kasendra dari Kerajaan Giyantipura atau Kasipura. Mulanya kedua putri itu sekaligus menjadi permaisuri Prabu Citranggada. Setelah Citranggada meninggal, keduanya diperistri Wicitrawirya.Sewaktu Prabu Wicitrawirya juga meninggal, keduanya lalu menjadi istri  Abdiyasa. Tetapi setelah perkawinan itu, Begawan Abiyasa mengambil seorang dayang istana sebagai selirnya. Nama dayang itu adalah Drati.

Dari ketiga wanita yang diperistrinya itu Begawan Abiyasa mendapat tiga orang putra. Ketiga putra itu diberi nama

  1. Drestarastra
  2. Pandu Dewanata
  3. Yamawidura,

Ketiganya memiliki cacat tubuh, Drestarastra mempunyai cacat bawaan tunanetra sejak lahir, kelak Destarastra menurunkan para Kurawa. Pandu Dewanata cacat pada jehernya serta berwajah pucat, kelak Pandu menurunkan para Pandawa. Putra Begawan Abiyasa yang bungsu, Yamawidura, panjang sebelah kakinya, menjadi penasihat Kerajaan Astina, Cacat tubuh yang diderita ketiga anaknya itu sebenarnya disebabkan karena kutukan dewa, sebab ketiga istrinya merasa jijik ketika harus melayani Begawan Abiyasa di tempat tidur.

Walaupun pribadinya terpuji dan selalu bersikap lembut, Begawan Abiyasa memang berwajah buruk, kulitnya kasar, dan hitam. Apalagi sebagai ahli yoga matanya mencorong seperti singa. Penampilan badaniah Begawan Abiyasa yang bisa hidup di hutan dan gunung memang sangat berbeda dengan suami-suami kedua putri itu dulu, Baik Prabu Citranggada maupun Wicitrawirya yang tampan dan gagah,

Dewi Ambika selaku istri pertama selalu memejamkan matanya pada saat melayani suaminya di ranjang. Akibat nya, ia dikutuk para dewa sehingga anak yang dilahirkannya buta, Anak itu diberi nama Destarata atau Drestarastra.

Istri Begawan Abiyasa yang kedua, Dewi Ambalika, dengan wajah pucat ketakutan selalu memalingkan muka bila bertugas selaku istri. la pun dikutuk para dewa sehingga bayi yang dilahirkannya mempunyai leher kaku dan pucat wajahnya. Bayi itu diberi nama Pandu Dewanata.

Karena enggan melayani suaminya di tempat tidur kedua istri Begawan Abiyasa itu sepakat untuk menyelundupkan seorang * dayang istana bernama Drati ke kamar peraduan Begawan Abiyasa, Ternyata Dayang  Drati, yang kemudian diambil sebagai selir dengan ikhlas melayani Begawan Abiyasa sebagai suaminya. Namun, Drati sering menjinjitkan kakinya ketika melewati kamar Sang Begawan agar tidak terdengar, ia khawatir kalau dipanggil untuk melayaninya. Karena itu ia juga dikutuk dewa sehingga bayi laki-laki yang dilahirkannya kakinya pincang. Putra Drati diberi nama Yamawidura, seorang ahli tatanegara yang piawai namun kakinya panjang sebelah.

Sebagian dalang ada yang menyebutkan bahwa Dayang Drati sejak kecil memang mengabdi pada Begawan Palasara, ayah Begawan Abiyasa di Pertapaan Saptarengga (Sapta Arga). la adalah penembang kidung Weda yang sejak semula telah dikena! Begawan Abiyasa, Jadi, Drati menjadi istri Begawan Abiyasa bukan karena diselundupkan oleh Dewi Ambika dan Ambalika, melainkan karena dikehendaki Begawan Abiyasa setelah usianya lanjut, dan setelah pewaris takhta Astina ada, Begawan Abiyasa meletakkan jabatan sebagai raja, pergi kembali ke Gunung Rahtawu untuk menjadi pertapa lagi.

Kepada anak-anak dan cucu-cucunya ia selalu bersikap adil, walaupun ia sadar para Kurawa sering berbuat tidak jujur kepada para Pandawa. Karena Drestarastra tunanetra, takhta Astina diwariskan kepada anak yang kedua, Pandu Dewanata. Keputusan ini diambil bukan karena Begawan Abiyasa lebih sayang pada Pandu daripada kakaknya, tetapi semata-mata karena kepentingan kerajaan, Seorang Raja tunanetra,  menurut pertimbangan Begawan Abiyasa tidak akan dapat menjalankan pemerintahan dengan baik.

Keputusan Begawan Abiyasa ini juga  didukung Yamawidura dan disetujui oleh Dewi Durgandini, ibunya. Terbukti  keputusan Begawan Abiyasa Itu memang tepat. Pandu ternyata bisa memerintah Astina, dengan baik, adil, dan bijaksana. Begawan Abiyasa berumur sangat panjang. Setelah melepaskan mahkota dan hidup sebagai pertapa, ia masih selalu memperhatikan keadaan Kerajaan , Astina. Dengan senang hati Begawan Abiyasa memberikan nasihat-nasihatnya kepada anak cucunya bila diminta.

Sesepuh keluarga Kurawa dan Pandawa itu dapat menyaksikan upacara penobatan cicitnya, Parikesit, menjadi Raja Astina. Bahkan gelar yang digunakan oleh Parikesit setelah ia menjadi Raja yaitu Prabu Krisna Dwipayana, nunggak semi memakai nama kakek buyutnya. (Nunggak semi dalam budaya Jawa adalah menggunakan nama yang sama dengan orang tua atau nama nenek moyangnya. Tunggak adalah pokok kayu yang sudah ditebang, semi adalah terubus kembali atau jika di jabarkan menjadi Pangkal pohon yang tumbuh kembali).

Begawan Abiyasa meninggal secara sempurna, yang dalam bahasa pewayangan disebut moksa. Ketika akan masuk ke surga, ia menuntut pada para dewa agar raganya juga dibolehkan ikut. Tuntutan itu dikabulkan, dan menjemput raga ‘ Begawan Abiyasa dengan kereta cahaya.

Tentang kematian Begawan Abiyasa, ada sebuah versi Mahabharata menceritakan sebagai berikut: Suatu saat mendaratlah di alun-alun Astina, Sebuah kereta cahaya, yakni kereta. yang bermandikan cahaya, tidak seorang pun kuat bertahan tethadap hawa panas yang memancar dari dalam kereta itu. Semua keluarga Pandawa mencoba, tetapi mereka pun tidak tahan. Akhirnya Prabu Puntadewa mohon agar Begawan Begawan Abiyasa mencobanya.

Waktu kakek para Pandawa itu berjalan keluar dari keraton dan melihat Kereta cahaya itu,ia segera mahfum bahwa itulah kendaraan yang menjemputnya pergi ke alam abadi. Maka sang Begawan lalu memberikan pesan-pesan terakhirnya kepada sekalian anak cucu, terutama kepada Prabu Puntadewa dan Prabu Parikesit, tentang bagaimana memerintah sebuah negara dengan baik. Sesudah itu, iapun masuk ke dalam kereta cahaya itu, yang segera membawanya ke langit, ke alam abadi.

Mengenai kapan saat moksanya Begawan Abiyasa, sumber pewayangan maupun Mahabharata mempunyai data yang berbeda. Menurut pewayangan, Begawan Abiyasa moksa setelah Parikesit, anak Abimanyu berumur 35 hari. Untuk mendapatkan berkah restu dari kakek buyutnya, pada saat upacara selapanan (35 hari) Parikesit dipangku oleh Begawan Abiyasa, yang sengaja datang ke istana Astina dari Pertapaan Sapta Arga. Beberapa saat setelah Memangku buyutnya itu, Begawan Abiyasa merasa ajalnya sudah tiba, namun ia tidak mau berangkat ke surga bilamana tidak disertai oleh jasadnya. Para dewa mengabulkan tuntutan itu, dan mengirim Kereta Cahaya guna menjemputnya. Moksanya Begawan Abiyasa disaksikan segenap keluarga Pandawa, Prabu Kresna, dan Prabu Baladewa.

Sementara itu berdasarkan Adiwangsawat Arana Parwa, yang merupakan bagian dari Kitab Mahabharata, Begawan Abiyasa moksa pada zaman pemerintahan Prabu Janamejaya, cucu Parikesit. Peristiwa moksanya juga terjadi di istana Astina.

Begawan Abiyasa atau Wiyasa inilah yang menulis Kitab Mahabharata, yang di  kemudian hari oleh para pujangga Indonesia diadaptasikan menjadi bahan cerita wayang. Suku Jawa menyebut Begawan Abiyasa dengan sebutan Empu Wiyasa. Ketika menjadi Raja Astina, Begawan Abiyasa bergelar Prabu Krisna Dwipayana, yang artinya “manusia berkulit hitam yang lahir di pulau.”  Begawan Abiyasa memang dilahirkan di sebuah pulau kecil di tengah Sungai Yamuna, dan kulitnya memang hitam.

Selain bergelar Prabu Krisna Dwipayana, Begawan Abiyasa juga mempunyai beberapa nama yang lain, yaitu :

  1. Dewayana diberikan kepadanya karena ia memiliki sifat-sifat seperti dewa.
  2. Sutiksnaprawa, yang artinya orang yang arif bijaksana.
  3. Rancakaprawa yang artinya suka menolong mereka yang sedang ditimpa kemalangan,
  4. Abiyasa sendiri mengandung arti orang yang selalu dekat dengan sifat-sifat yang terpuji. Abi atau abhi artinya dekat, sedangkan yasa artinya sifat yang terpuji.

Sedangkan dalam wayang golek purwa Sunda, Begawan Abiyasa juga disebut Subyasa, dan Wijana.

Pada lakon-lakon pewayangan, termasuk lakon carangan, Begawan Abiyasa lebih sering terlibat dalam alur cerita. Banyak lakon yang menceritakan bagaimana para Pandawa atau putra mereka minta petunjuk, nasihat, atau arahan dari pertapa bijak ini.

Begawan Abiyasa juga arif memberikan nasihat, bahkan juga peringatan kepada para Kurawa dan Prabu Drestarastra mengenai sikap mereka yang dinilainya kurang adil, kurang jujur, dan serakah. Drestarastra dinilai terlalu lemah pendiriannya terlalu menuruti bujukan serta hasutan Istri dan anak-anaknya. Karena merasa sarannya diabaikan dan kata-katanya tidak didengarkan, pernah keluar  kutukan dari Begawan Abiyasa pada anak sulungnya itu. Kutukan  Begawan Abiyasa, bilamana Drestarastra dan Gendari masih juga selalu memanjakan anak-anaknya dan melindungi perbuatan jahatnya, maka kelak ia dan istrinya akan mati diinjak-injak anaknya sendiri. Kata-kata bertuah ini, dalam cerita pewayangan, kemudian ternyata terbukti. Kutukan itu diucapkan tatkala Begawan Abiyasa mendengar berita tentang pengusiran para Pandawa dan Dewi Drupadi dari istana dan dibuang ke hutan sesudah mereka kalah berjudi.

Tetapi sebagian dalang menyebutkan bahwa kutukan itu diucapkan beberapa saat sesudah Begawan Abiyasa sadar dari pingsan, sesudah para Kurawa menerjang dirinya hingga roboh dan pingsan, dalam lakon Rebutan Lenga Tala.

Ketika Pandu Dewanata meninggal akibat kutukan Resi Kimindama, Begawan Abiyasa mengetahui bahwa Batara Guru menjebloskan putranya itu ke neraka.la marah dan naik ke kahyangan,  menyampaikan protesnya pada Batara Guru yang dianggapnya tidak adil. Pemuka dewa itu tetap pada pendiriannya sehingga Begawan Abiyasa berucap, bersedia melakukan apa saja untuk menebus dosa-dosa Pandu Dewanata. Kemarahan Begawan Abiyasa akhirnya diredakan oleh Batara Endra /Batara Indra,. dengan menyatakan bahwa yang dapat mengentaskan Pandu Dewanata dari neraka hanyalah anak-anaknya, bukan bapaknya. Kitab Mahabharata yang asli adalah  mahakarya Wyasa sebagai pujangga sastra. Buku, yang kemudian dianggap  sebagai salah satu buku suci bagi 7 penganut agama Hindu. Buku itu terdiri atas x 18 parwa, dan lebih dari 7.000 sloka.Dalam menuliskan karya besar inj Wiyasa juga dibantu oleh Batara Ganesa, dewa yang berkepala gajah, dan dikenal sebagai  Dewa Ilmu Pengetahuan dan Seni Sastra.

Berikut berbagai lakon. yang melibatkan Begawan Abiyasa:

  1. Abiyasa lair
  2. Wahmuka Arimuka
  3. Abiyasa Krama (Perkawinan Abiyasa)
  4. Abiyasa Maguri
  5. Abiyasa Boyong .
  6. Abiyasa Dadi Ratu
  7. Seta Ngraman.
  8. Jumenengan Parikesit.
  9. Abiyasa Moksa

Referensi

  1. Ensiklopedia Wayang Purwa I, Dirjen Kesenian dan Kebudayaan Dinas Pendidikan
  2. Drs. Sholikin, Dr. Suyanto,S.Kar, M.A, Sumari S.Sn, M.M, Ensiklopedia Wayang Indonesia, Bandung. PT. Sarana Panca Karya Nusa. SENA WANGI
  3. Sumari, Almanak Wayang Indonesia, Jakarta. Prenadamedia Group.
  4. Amir, Hazim. 1994. Nilai-nilai Etis dalam Wayang Kulit Purwa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  5. Dewabrata, Wisnu. 2011. Superhero Wayang.Yogyakarta: Crop Circle Crop.
  6. Guritno,  Pandam.  1988.  Wayang: Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta: UI Press.
  7. Koesoemadinata, M.I.P. 2013. “Wayang Kulit Cirebon: Warison Diplomasi Seni Budaya
  8. Hadiatmaja, S. dan Endah, K. 2010. Filsafat Jawa. Yogyakarta: Kanwa Publisher.
  9. Marsaid,  A.  2016.  “Islam  dan  Kebudayaan: Wayang sebagai Media Pendidikan Islam di Nusantara.” Jurnal Kontemplasi 4, no. 1 tahun 2016. Hlm. 102-130.
  10. Mulyono,   Sri.   1989.   Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung.
  11. Murtiyoso, B. 2017. “Fungsi dan Peran Pagelaran Wayang Purwa Bagi Pendidikan
  12. Nurgiyantoro, B. 2011. “Wayang Dan Pengembangan Karakter Bangsa.” Jurnal Pendidikan Karakter 1, no. 1, Oktober 2011. Hlm. 18-34.
  13. Sedyawati,    Edy.    1981.    Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
  14. Sunarto.  1989.  Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta: Sebuat Tinjauan entang bentuk, ukiran sunggingan. Jakarta: Balai Pustaka.
  15. .  2006.  “Pengaruh  Islam  dalam Perwujudan Wayang Kulit Purwa.” Jurnal Seni Rupa dan Desain. No. 3, November 2006. Hlm. 40-51.
  16. .  2009.  Wayang Kulit Purwa, dalam Pandangan Sosio-Budaya. Yogyakarta: Arindo Offset.
  17. Soetarno dan Sarwanto. 2010. Wayang Kulit dan Perkembangannya. Solo: ISI Press.