Memahami Konteks Habib Utsman bin Yahya dalam Menjalankan Misi Dakwahnya di Zaman Pemerintahan Belanda

 
Memahami Konteks Habib Utsman bin Yahya dalam Menjalankan Misi Dakwahnya di Zaman Pemerintahan Belanda
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Islam mengajarkan husnudzon kepada setiap orang, apalagi kepada orang yang berilmu. Bisa jadi apa yang dipersepsikan selama ini terhadap seseorang, hakikatnya bukanlah suatu hal yang terjadi sebenarnya. Meski secara dhohir mungkin seseorang telah berbuat sesuatu yang tidak benar, tapi siapalah yang tahu isi hati seseorang dan maksud yang dituju. Karena itu, Islam menekankan agar berbaik sangka atau husnudzon kepada siapapun meskipun ternyata baik sangkanya keliru, daripada berburuk sangka atau su’udzon meskipun ternyata buruk sangkanya benar.

Bagaimanapun husnudzon itu lebih baik daripada su’udzon. Meskipun husnudzon itu ternyata salah, tapi tetap mendapatkan kebaikan dan tentu ada pahalannya. Sedangkan su’udzon itu tetap mendapatkan keburukan dan tentu dianggap berdosa, meskipun prasangka buruk itu benar.

Dalam memahami sejarah, seseorang tidak bisa dihakimi dengan kacamata konteks saat ini. Sejarah itu ada masanya dan tentu konteks latar belakangnya. Tidak bisa menuding suatu kesalahan dilakukan di masa lalu, dengan perspektif atau ukuran kebenaran masa sekarang.

Terkait dengan hal ini, banyak yang salah paham atau memang sengaja memandang sinis seorang tokoh ulama yang tempo hari pernah “dekat” dengan Pemerintahan Hindia Belanda. Tidak lain adalah Habib Utsman bin Yahya, seorang mufti Betawi yang sempat juga mendapatkan penghargaan dari Pemerintahan Hindia Belanda.

Muncullah tuduhan-tuduhan tidak berdasar terkait beliau. Cibiran sebagai antek Belanda disematkan kepada beliau oleh orang-orang picik saat ini. Berbagai tuduhan yang menyudutkannya tidak pernah berhenti, apalagi ketika muncul satu pandangan atau gugatan tentang keabsahan nasab Ba’alawi sebagai bagian dari dzurriyah Rasulullah SAW.

Jika dipahami secara adil, maka perspektif negatif yang ditujukan kepada beliau tidaklah benar sama sekali. Beberapa tuduhan itu di antaranya adalah sebab kedekatannya dengan Snouck Hurgronje, secara khusus, dan kedekatannya secara umum kepada Pemerintahan Hindia Belanda, hingga pernah menjabat sebagai penasehat resmi dan seorang mufti.

Konteks Kedekatan Habib Utsman bin Yahya dengan Snouck Hurgronje

Memang fakta, bahwa ada interaksi Habib Utsman dengan Snouck Hurgronje. Tetapi, pada hakikatnya, kedekatan itu tidak lain adalah bahwa Snouck adalah orang yang pertama kali menghubungi Habib Utsman bin Yahya ketika ia datang ke Hindia Belanda pada tahun 1889. 

Ketika itu Snouck meminta bantuan kepada Habib Utsman bin Yahya dalam melakukan penelitiannya. Beliau diminta untuk membantunya dalam meneliti tentang Islam yang berkembang di Nusantara dan juga diminta untuk memberikan informasi tentang keadaan masyarakat Islam. 

Jika dilihat secara adil, saat itu Habib Utsman bin Yahya membantu Snouck melakukan penelitian dalam kapasitas beliau sebagai seorang ulama. Beliau memberi kabar kepada Snouck tentang masyarakat Islam yang masih awam terkait aqidah dan syariat. Selain itu juga diinformasikannya tentang kondisi peradilan agama pada saat itu yang sangat memperihatinkan, seperti para hakim agama yang tidak begitu menguasai ilmu syariat, bahkan perilaku tidak baik dari sekian para hakim untuk menguasai sekian persen harta warisan milik seseorang yang diputuskannya. Begitu juga tentang informasi lain yang diberikan oleh Habib Utsman bin Yahya kepada Snouck ketika terjadi perselisihan dua masjid di Palembang.

Dengan melihat data tersebut, maka bisa diketahui bahwa Utsman bin Yahya memberikan informasi kepada Snouck tentang keadaan umat Islam saat itu dalam kapasitasnya sebagai seorang ulama. Bagi beliau, memberikan pengajaran yang baik dan melindungi keyakinan umat Islam dari berbagai penyimpangan yang terjadi dalam agama merupakan kewajiban yang harus dilakukan. 

Sikap tegas Habib Utsman terus melekat dan Snouck telah meninggalkan Hindia Belanda pada tahun 1906. Jadi kedekatan Habib Utsman bin Yahya dengan pemerintah Belanda, dan begitu juga kedekatannya dengan Snouck bukan sebagai antek Belanda atau orang yang menjual Islam untuk kepentingan pribadi.

Seorang ilmuwan Belanda, Karl A. Steenbrink menolak tuduhan yang ditujukan kepada Habib Utsman bin Yahya tentang antek Belanda. Menurut Steenbrink informasi yang diberikan Habib Utsman kepada Snouck lebih bersifat keagamaan. Steenbrink memandang bahwa orang seperti Habib Utsman bin Yahya adalah sosok ulama yg melihat bahwa ketika itu umat Islam di Indonesia banyak melakukan praktik penyimpangan dari ajaran Islam.

Hal ini bisa dilihat bahwa hampir seluruh karya Habib Utsman bin Yahya selalu mengkritik umat Islam saat itu yg tidak sesuai dengan syariat.

Kedekatan beliau dengan Snouck tidak lain adalah karena prasangka baik beliau kepada seseorang yang sepertinya telah memeluk Islam, sebab melihat riwayat Snouck yang telah belajar Islam di Makkah selama lima tahun. Karena itu, tidak salah jika beliau menganggapnya telah masuk Islam.

Konteks Habib Utsman bin Yahya Bersedia Menjadi Penasehat Pemerintahan Belanda

Memang benar terdapat fakta sejarah yang mencatat bahwa Habib Utsman bin Yahya pernah diangkat menjadi penasehat Pemerintah Belanda pada tahun 1891. Tetapi, jika dilihat secara mendalam, bahwa sebenarnya Habib Utsman bin Yahya juga tidak pernah menampakkan sendiri tentang pengangkatannya tersebut. Bahkan bisa ditengarai dari seluruh tulisannya, beliau tidak pernah mencantumkan jabatan yang diembannya tersebut. Beliau lebih suka menyebut dirinya sebagai Al-Abd Ad-Dzalil (hamba yang hina). 

Dari sini kita bisa melihat dengan terbuka bahwa Habib Utsman tidak pernah membanggakan dirinya sebagai penasehat yang diangkat oleh Belanda. Bahkan beliau tidak mengambil gaji yang diberikan oleh Pemerintah Belanda kepadanya. Beliau terkenal sebagai seorang ulama yang wara’ (berhati-hati). Dan untuk kebutuhan hidupnya, beliau cukupkan mengambil dari hasil royalti penerbitan kitab-kitab beliau yang telah di cetak. Karena juga didukung bahwa beliau memiliki percetakan sendiri

Konteks Habib Utsman bin Yahya diangkat Pemerintahan Belanda sebagai seorang Mufti

Sebelumnya, Habib Utsman bin Yahya melakukan perjalanan ke Timur Tengah selama 22 tahun untuk menuntut ilmu. Setelah beliau pulang ke Batavia, banyak masyarakat pada saat itu berharap dapat menimba ilmu darinya. Pada awalnya Habib Utsman bin Yahya menolaknya, karena beliau merasa ilmunya masih sedikit. Tetapi karena saat itu tidak ada yg memberikan bimbingan kepada masyarakat, maka Habib Utsman akhirnya menerima kewajiban tersebut. 

Keterangan tersebut bisa dilihat di dalam kitabnya yang berjudul Suluh Zaman, yang belakangan disusun oleh anaknya, Habib Abdulloh bin Utsman. Beliau mengatakan, "Adapun aku ini sebetulnya bukan dari pada ulama besar dan tiada banyak ilmuku, hanya sedikit saja yg aku peroleh dari pada guru-guruku dan berkahnya mereka itu. Akan tetapi barang siapa yg berkehendak berkah itu guru-guruku maka aku sampaikan hajatnya sebagaimana dapat aku itu. Maka datanglah oleh kamu kapan saja yang kamu kehendaki dan jangan sekali-kali memikirkan suatu apa-apa, karena aku akan mengajari karena Allah Ta'ala, tiada berkehendak akan upah."

Suatu saat Habib Utsman bin Yahya pernah diminta oleh Syaikh Abdul Ghani Bima, yang kala itu beliau sebagai mufti rujukan di Batavia, untuk menggantikan posisinya. Habib Utsman menerima permohonan itu dan secara resmi diangkat oleh Pemerintahan Hindia Belanda.  

Habib Utsman bin Yahya dikenal masyarakat sebagai seorang ulama yang sangat tegas dalam menegakan hukum Islam. Sikapnya tegas anti terhadap segala macam bid'ah dan khurafat dalam kehidupan beragama. Bukti ketegasannya, beliau pernah menulis sebuah buku untuk membantah dan memberantas berbagai penyimpangan yang ada di tengah masyarakat Islam kala itu. Usaha beliau itu menunjukan bahwa perhatiannya dalam menjaga keyakinan masyarakat adalah bukti dari keberadaannya sebagai ulama dan mufti.

Dalam Kitab Suluh Zaman diceritakan, bagaimana Habib Utsman bersikap tegas terhadap seorang laki-laki dari bangsa Afrika bernama Marjan yang datang ke Batavia pada tahun 1886 untuk menjual jimat, memperlihatkan jodoh melalui urat tangannya dan menjampi orang yang sakit dengan menyemburkan air. Kelakuan orang ini dianggap mengkhawatirkan bisa merusak akidah masyarakat Islam saat itu. Maka, Habib Utsman bin Yahya menegur keras orang tersebut dan meminta Pemerintah Hindia Belanda untuk mengembalikan orang tersebut ke tempatnya semula di Afrika.

Dari sini bisa dilihat bahwa Habib Utsman bin Yahya mengunakan pengaruhnya dan kedudukannya di dalam Pemerintah Hindia Belanda untuk melindungi akidah umat Islam dengan menjaga kebenaran dan kebaikannnya. Tetapi, perlu ditegaskan dalam hal ini, bahwa Habib Utsman bin Yahya juga meminta kepada Pemerintah Hindia Belanda agar tidak ikut campur apalagi mengintervensi terhadap umat Islam dalam menjalankan ibadah dan ajaran syariat.

Sudut Pandang yang Adil dalam Memahami “Kontroversi” Habib Utsman bin Yahya

Dalam memahami suatu konteks sosial pada masanya, kita harus menggunakan sudut pandang yang adil sejak dalam pikiran terlebih dahulu. Demikian pula dalam memahami “kontroversi” Habib Utsman bin Yahya, salah seorang ulama nusantara keturunan Arab yang mempunyai kedekatan dengan Pemerintahan Hindia Belanda.

Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa pada zaman itu tidaklah mudah mendapatkan izin dari Pemerintahan Hindia Belanda untuk melakukan kegiatan keagamaan. Tetapi berkat dari jabatan beliau sebagai mufti, maka beliau berhasil mendapatkan izin dalam hal itu dan masyarakat dibebaskan dalam melakukan kegiatan agama. Jadi di balik jabatan yang diembannya itu, ada misi beliau dalam menjaga umat Islam agar tetap bisa menjalankan kegiatan keagamaan, meski di bawah Pemerintahan Hindia Belanda.

Tidak mungkin kegiatan keagamaan bisa dilaksanakan dengan baik ketika nyawa seseorang terancam. Maka, bagaimanapun menjaga keberlangsungan hidup atau hifdzun nafs sangat ditekankan terlebih dahulu agar bisa menjaga agama atau hifdzud din. Hal ini tentu sangat dipahami oleh Habib Utsman bin Yahya. Karena itu, kedekatannya dengan Pemerintahan Hindia Belanda saat itu tidak lain adalah sebuah strategi dalam mewujudkan keberlangsungan kemaslahatan umat Islam, bukan untuk kepentingan pribadinya sama sekali.

Jadi tuduhan sebagai antek Belanda yang ditujukan kepada beliau, dengan sudut pandang tersebut telah terpatahkan. Sebab, faktanya memang saat itu yang tengah berkuasa dan mempunyai otoritas dalam menentukan kebijakan, tidak lain adalah Pemerintahan Hindia Belanda. Karena itu tidak bisa dipungkiri fakta sejarah ini, adalah suatu keniscayaan bagaimana masyarakat saat itu harus tunduk dengan kebijakannya.

Lalu bagaimana kebijakan itu tidak merugikan umat Islam, maka salah satunya adalah masuk di dalam sistemnya dan Habib Utsman bin Yahya bisa dibilang telah berhasil melakukan hal itu, dengan bersedia diangkat sebagai seorang penasehat dan mufti resmi dari Pemerintahan Hindia Belanda. Di sinilah letak pemahaman ushul fiqih dipakai, yakni dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil masholih, yakni bahwa mencegah terjadinya kerusakan harus didahulukan dari kecenderungan mengambil kemaslahatan. Dan pada akhirnya, ketika Pemerintahan Hindia Belanda saat itu tidak melakukan tindakan represi terhadap umat Islam, maka kegiatan keagamaan pun dapat dilakukan dengan tanpa ada halangan. Wallahu ‘Alam. []


Penulis: Abd. Hakim Abidin

Editor: Athallah Hareldi