Konsep Waliyyul Amri Ad-Dharuri bis Syaukah sebagai Ketegasan NU dalam Mengakui Keabsahan Presiden Soekarno

 
Konsep Waliyyul Amri Ad-Dharuri bis Syaukah sebagai Ketegasan NU dalam Mengakui Keabsahan Presiden Soekarno
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibaca oleh Ir. Soekarno, ternyata perjuangan Indonesia masih tetap terus berlanjut. Banyak tantangan yang harus dilalui. Kemerdekaan yang telah diproklamasikan itu belum sepenuhnya tuntas. Tapi sebenarnya, hal ini sudah disadari oleh para pemimpin itu, karenanya redaksi dalam proklamasi dinyatakan bahwa hal-hal yang berkenaan dengan pemindahan kekuasaan diselesaikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Dua bulan setelah proklamasi terjadilah peristiwa besar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, yakni meletusnya pertempuran 10 November 1945, yang sebelumnya telah mendapatkan seruan Resolusi Jihad dalam mempertahankan kemerdekaan Tanah Air dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan secara resmi diumumkan oleh PBNU pada tanggal 22 Oktober 1945.

Lalu disepakatilah adanya perundingan demi perundingan untuk tetap mempertahankan keutuhan Indonesia. Perjanjian Renville terjadi pada 11 November 1947 hingga 29 Januari 1948. Kemudian pada tanggal 2 November 1949, pasca penandatangan Konferensi Meja Bundar disepakatilah pembentukan RIS (Republik Indonesia Serikat).

Sebagaimana keterangan dalam laman resmi indonesia.go.id, bagi sebagian kelompok, kesepakatan itu sangat merugikan Indonesia. Karenanya, banyak kelompok yang ingin membelot dengan mendirikan negara sendiri. Sebut saja, Darul Islam Indonesia (DII) atau Negara Islam Indonesia (NII). Kelompok ini diproklamasikan oleh SM. Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat. Bukan hanya memproklamasikan berdirinya negara berdasarkan Syariah Islam, Kartosoewirjo juga mengangkat dirinya sebagai kepala negara. Gerakan ini kemudian menyebar ke bagian-bagian Jawa Tengah, Kalimantan, Sulawesi, dan Aceh.

Meski demikian, pemberontakan bersenjata barulah dimulai sejak Kahar Muzakkar di Sulawesi. Sebagai mantan tentara, pada 1951 ia mendirikan Tentara Islam Indonesia (TII). Selain itu, Kahar Muzakkar juga menyatakan diri bergabung dengan Gerakan Darul Islam Indonesia di bawah kepemimpinan Kartosoewirjo. Tak kecuali adalah Daud Beureu'eh di Aceh. Pada September 1953, ia juga menyatakan Aceh adalah bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah Kartosoewirjo.

Dalam kondisi yang demikin genting itu, dikhawatirkan akan terjadi disintegrasi yang menyebabkan terjadinya perang saudara dan negara menjadi chaos. Melihat hal ini, Ir. Soekarno yang telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan menjadi pemimpin pertamanya merasa khawatir dan perlu untuk segera mendapatkan legitimasi secara sah dalam perspektif keislaman.

Jadi memang keadaan saat itu menuntut Ir. Soekarno untuk mendapatkan pengakuan secara sah dalam persepktif agama sebagai pemimpin Indonesia.

Dalam rangka merespons dinamika politik tersebut, maka para ulama khususnya mereka dari kalangan NU, lantas melakukan kajian mendalam selama 3 tahun yang diprakarsai oleh Menteri Agama saat itu, yakni KH. Masykur.

Fase pertama, melalui Konferensi Alim Ulama di Tugu Jawa Barat, tanggal 12-13 Mei 1952. Fase kedua, diadakan kembali Konferensi Alim Ulama di Bogor pada tanggal 4-5 Mei 1953. Dan terakhir atau fase ketiga, Konferensi Alim Ulama di Cipanas, Cianjur, dan Bogor, pada tanggal 2-7 Maret 1954.

Dalam konferensi tersebut dihasilkanlah satu keputusan tegas dari NU yang mengakui Presiden Ir. Soekarno sebagai pemimpin yang sah negara Indonesia secara agama, sehingga tidak dibenarkan jika ada orang Islam di Indonesia yang membelot dan mendirikan pemerintahan sendiri. Mereka yang melakukan pemberontakan itu bisa disebut sebagai bughot dan wajib diperangi.

Keputusan Konferensi Alim Ulama dengan Menteri Agama, KH. Masykur saat itu, menghasilkan sejumlah keputusan sebagaimana berikut:

  1. Presiden sebagai Kepala Negara, serta alat-alat Negara sebagai dimaksud dalam UUD pasal 44, yakni Kabinet, Parlemen dan sebagainya adalah Waliyyul Amri Ad-Dharuri bis Syaukah.
  2. Waliyyul Amri Ad-Dharuri bis Syaukah wajib ditaati oleh rakyat dalam hal-hal yang tidak menyalahi Syari'at Islam.
  3. Tauliyah wali hakim dari Presiden kepada Menteri Agama dan seterusnya kepada siapa saja yang ditunjuk, termasuk pula Tauliah Wali Hakim yang menurut kebiasaan yang hidup di tempat-tempat yang ditunjuk oleh Ahlul Halli wal Aqdi, adalah sah. Untuk menjalankan aqad-aqad nikah Wali Hakim, sesuai dengan yang dimaksud oleh UU Pencatatan Perkawinan, Talaq, dan Ruju' harus ada surat  peresmian (tertulis) lebih dahulu dari pemerintah.
  4. Berhubung dengan ayat 1, 2, dan 3 tersebut di atas, maka nyatalah bahwa Peraturan Menteri Agama Nomer 4 Tahun 1952 tentang Wali Hakim untuk luar Jawa dan Madura adalah sah.

Mengenai hal ini, biasanya di dalam khazanah keislaman diketahui bahwa seorang pemimpin umat itu disebut dengan istilah khalifahImamAmir, atau Waliyul amri. Tetapi berbeda, menarik dicermati hasil Konferensi Alim Ulama selama tiga tahun tersebut menghasilkan satu istilah baru bagi seorang pemimpin dalam perspektif Islam, yakni Waliyyul Amri Ad-Dharuri bis Syaukah. (M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama Dan Islam Di Indonesia: Pendekatan Fikih Dalam Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994)

Dalam Buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Chairul Anam mencatat penjelasan panjang lebar dari KH. Abdul Wahab Chasbullah mengenai konsep Waliyyul Amri Ad-Dharuri bis Syaukah dalam sidang parlemen, pada tanggal 29 Maret 1954.

Saat itu Mbah Wahab menjelaskan dengan berpedoman kitab fiqih, bahwa Dunia Islam telah sepakat untuk mengangkat Imam A’dham, yakni seorang Imam yang berhak menduduki jabatan imamah (Kepemimpinan dalam Pemerintah), hanya satu imam saja.

Salah satu persyaratannya adalah mempunyai pengetahuan Islam yang sederajat dengan Mujtahid Mutlak. Dan inilah yang disebut imam yang sah, bukan Imam Darurat. Namun orang yang memiliki ilmu pengetahuan Islam semartabat dengan Mujtahid Mutlak, semenjak 700 tahun yang lampau hingga sekarang ini belum pernah ada. Dan ini berarti bahwa pembentukan Imam A’dham tersebut mustahil berhasil.

Meski demikian, bukan berarti tidak ada alternatif lain. Apabila umat Islam tidak lagi mampu membentuk Imam A’dham, maka wajib atas umat Islam di masing-masing negara mengangkat Imam yang “Darurat”. Dan segala imam yang diangkat darurat ialah Imam Dharuri.

Baik Imam A’dham maupun Imam Dharuri bisa dianggap sah sebagai pemegang kekuasaan negara, yakni sebagai Waliyyul Amri. Bung Karno yang saat itu dipilih oleh pemuka-pemuka warga negara, sekalipun tidak oleh semuanya, menurut hukum Islam adalah sah sebagai Kepala Negara, sekalipun tidak cukup syarat-syarat untuk menjadi Waliyyul Amri.

Kemudian karena tidak mencukupi syarat, yakni tidak dipilih oleh ulama yang berkompeten untuk itu (Ahlul Halli wal Aqdi) tetapi melalui proses lain, maka terpaksa kedudukannya dimasukkan dalam bab “Dlaruri”. Sedangkang kata “bis Syaukah” adalah karena satu-satunya orang terkuat di Indonesia (ketika itu) ialah Ir. Soekarno.

Meskipun masuk dalam bab “Dlaruri”, kekuasaannya tetap harus efektif dan berkuasa penuh. Atas dasar kekuasaannya itu, maka ia berwenang mengangkat pejabat-pejabat agama melalui pendelegasian wewenang kepada Menteri Agama. Misalnya, penunjukan ketua pengadilan agama sebagai wali hakim dalam kasus-kasus tidak adanya wali nasab bagi wanita dalam pernikahan.

Selanjutnya perngertian menetapkan kepala negara sebagai wali hakim (meskipun pelaksanaannya didelegasikan kepada penghulu) adalah dalam keadaan darurat guna memperoleh pengesahan perkawinan yang diselenggarakan dari sudut pandang fiqih. Karena itu, maka hal yang menyebabkan hukum sahnya perkawinan ini pula kemudian menjadi penegasan hukum sahnya pemerintahan seorang pemimpin dalam sebuah negara tersebut.

Dengan kata lain Waliyyul Amri artinya adalah pemegang otoritas. Kata Ad-Dharuri bisa diartikan darurat, sementara, atau terpaksa. Sedangkan kata Syaukah memiliki arti duri atau senjata. Sehingga Waliyyul Amri Ad-Dharuri bis Syaukah bisa diartikan sebagai “pemegang  otoritas yang bersifat sementara dengan kekuasaan penuh.”

Dalam bahasa hukum secara umum, proses pemberian gelar Waliyyul Amri Ad-Dharuri bis Syaukah bisa dimaknai sebagai sebuah proses “yurisprudensi.” Sebab, pemberian gelar ini diputuskan berdasarkan pembelajaran dari konvensi fiqih terdahulu ketika menghadapi suatu perkara yang tidak diatur di dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Konvensi fiqih terdahulu ini menjadi pedoman bagi para ulama saat ini untuk menyelesaikan suatu perkara yang mirip kasusnya.

Jadi permasalahan ini telah tuntas dan disepakati oleh sebagian besar ulama. Melihat proses yang terjadi dalam menghasilkan suatu hukum yang mengikat tersebut, maka tidak bisa diragukan lagi kredibelitas dan integritas ulama yang terlibat saat itu. Pengakuan ulama kepada Ir. Soekarno sebagai seorang pemimpin yang sah suatu negara dengan gelar Waliyyul Amri Ad-Dharuri bis Syaukah, telah memberikan dampak yang sangat signifikan. Kaum pemberontak yang mengatasnamakan Islam tidak bisa lagi menemukan celah untuk tidak taat kepada pemerintahan Indonesia. Karena umat Islam wajib mengikuti pemerintahan sah yang dipimpin oleh Presiden Ir. Soekarno. []


Penulis: Abd. Hakim Abidin

Editor: Kholaf Al-Muntadar