Tentang Wali Nikah Anak dari Hasil Perbuatan Zina

 
Tentang Wali Nikah Anak dari Hasil Perbuatan Zina

LADUNI.ID, Jakarta - Islam sebagai agama yang telah disempurnakan oleh Allâh Azza wa Jalla telah mengingatkan buruknya perbuatan zina sejak ribuan tahun yang lalu. Islam mengharamkannya dan mengharamkan semua yang bisa menggiring kearah perbuatan hina ini. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah fâhisyah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang). [Al-Isrâ`/17:32]

Mendekati saja dilarang, apalagi melakukannya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا زَنَى الْعَبْدُ خَرَجَ مِنْهُ الْإِيمَانُ، وَكَانَ عَلَى رَأْسِهِ كَالظُّلَّةِ، فَإِذَا انْقَلَعَ رَجَعَ إِلَيْهِ الْإِيمَانُ

Apabila seorang hamba berzina, maka imannya keluar dari dirinya. Lalu iman itu berada di atas kepalanya seperti naungan. Apabila ia telah bertaubat (dari perbuatannya itu), maka imannya kembali kepadanya. [HSR. Abu Dawud, no. 4690 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ : شَيْخٌ زَانٍ , وَمَلِكٌ كَذَّابٌ , وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ

Ada tiga golongan orang yang Allâh Azza wa Jalla tidak akan berbicara kepada mereka, tidak menyucikan mereka, tidak melihat mereka dan mereka mendapatkan adzab (siksa) yang sangat pedih yaitu orang tua yang berzina, raja yang pendusta dan orang miskin yang sombong [HSR. Muslim, 1/72 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]

Bagaimanakah nasab anak yang terlahir diluar pernikahan yang sah dan siapakah yang berhak menjadi walinya ketika dia hendak menikah nanti?
Sebagaimana yang kami ketahui bahwa menurut madzhab syafi’i rukun nikah itu adalah lima, yaitu shighat, mempelai perempuan, dua orang saksi, mempelai laki-laki, dan wali.

  فَصْلٌ فِي أَرْكَانِ النِّكَاحِ وَغَيْرِهَا وَأَرْكَانُهُ خَمْسَةٌ صِيغَةٌ وَزَوْجَةٌ وَشَاهِدَانِ وَزَوْجٌ وَوَلِيٌّ

 “Fasal tentang rukun nikah dan selainnya. Rukun nikah itu ada lima yaitu, shigat, mempelai perempuan, dua orang saksi, mempelai laki-laki, dan wali” (Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 3, h. 139)

Jadi wali merupakan salah satu rukun nikah, maka konsekwensinya adalah pernikahan tidak dianggap sah kecuali adanya wali.

  اَلْوَلِيُّ أَحَدُ أَرْكَانِ النِّكَاحِ فَلَا يَصِحُّ إِلَّا بِوَلِيٍّ

“Wali adalah salah satu rukun nikah, maka nikah tidak sah tanpa wali” (Taqiyyuddin al-Husaini al-Hushni, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Surabaya-Dar al-‘Ilm, juz, 2, h. 40)

Lantas siapakah wali bagi anak zina? Untuk menjawab soal ini maka terlebih dahulu kami akan mengetengahkan pandangan para ulama mengenai nasab anak zina. Mayoritas ulama sepakat tidak menasabkan anak zina kepada ayah biologisnya, kecuali anak-anak yang lahir pada masa jahiliyah yang dinasabkan kepada siapa yang mengakuinya, setelah masuk Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh sayyidina Umar bin al-Khaththab ra.  

وَاتَّفَقَ الْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ أَوْلَادَ الزِّنَا لَا يُلْحَقُونَ بِآبَائِهِمْ إِلَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَلَى اخْتِلَافٍ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الصَّحَابَةِ

Mayoritas ulama sepakat bahwa anak zina tidak di-ilhaq-kan (dinasabkan) kepada bapak mereka  kecuali anak-anak yang lahir pada masa jahiliyah sebagaimana yang diriwayatkan dari sayyidina Umar bin al-Khaththab ra, dan dalam hal ini terjadi perbedaan di antara shahabat” (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Mesir-Mushthafa al-Babi al-Halabi, cet ke-4, 1395 H/1975 M, juz, 2, h. 358)

Jika anak zina tidak dinasabkan kepada bapak bilogisnya, lantas kepada siapa ia dinasabkan? Mayoritas ulama berpendapat bahwa anak zina dinasabkan kepada ibunya. Konsekwensi dari penasaban anak zina ke ibunya mengakibatkan si anak tidak memilik wali. Sedangkan orang yang tidak memilik wali, maka walinya adalah penguasa/sulthan. Atau dengan kata lain, walinya adalah wali hakim. Pandangan ini didasarkan kepada sabda Rasulullah saw berikut ini;

اَلسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

“Sulthan (penguasa) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali”. (H.R. Ahmad)

Jika penjelasan ini ditarik dalam konteks di atas, maka laki-laki yang menikahi ibunya tidak bisa menjadi wali nikah bagi si anak perempuan tersebut, tetapi yang menjadi wali nikahnya adalah wali hakim, yaitu pejabat pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama atau yang mewakilinya sampai tingkat daerah yakni pejabat Kantor Urusan Agam (KUA).

Oleh karena itu, jangan memberikan perlakukan yang diskriminatif kepada anak zina. Sebab, anak yang dilahirkan tidak mewarisi dosa turunan orang tuanya. Adapun ketentuan seperti disebutkan di atas menjadi semacam peringantan agar jangan sampai terjadi perbuatan zina.