Info Harian Laduni: 18 November 2023

 
Info Harian Laduni: 18 November 2023

Laduni.ID, Jakarta - Bertepatan dengan tanggal 18 November ini menjadi momentum bagi kita semua untuk mengenang kepergian KH. Marzuqi Dahlan, KH. Abdurrahman Nawi, KH. Dalhar Munawwir, dan Nyai Hj. Mahmudah Mawardi.

pada hari Senin Tanggal 18 Nopember 1975 MKH. Marzuqi Dahlan dipanggil sang pencipta, dihadapan keluarga dan para santri yang sangat mencintai beliau.

KH. Marzuqi Dahlan merupakan putra bungsu dari empat bersaudara, dari pasangan KH. Dahlan dengan Nyai Artimah. Beliau lahir tahun 1906 M, di Desa Banjarmelati, sebuah desa di bantaran barat Sungai Brantas, Kota Kediri.

Di bawah pengawasan langsung kakek beliau KH. Sholeh Banjarmelati, KH. Marzuqi Dahlan kecil memulai pendidikannya dengan belajar dasar-dasar Islam seperti aqidah, tajwid, fiqh ubudiyah, dan lain-lain.

Baca juga: Pondok Pesantren Lirboyo Kediri

Sosok KH. Marzuqi Dahlan adalah sosok sederhana dan sangat bersahaja, hal ini terbukti dari penampilan beliau sehari-hari yang jauh dari kesan mewah dan perlente. Padahal saat itu beliau sudah menjadi pengasuh PP Lirboyo.

Baca biografi selengkapnya di: Biografi KH. Marzuqi Dahlan

KH. Abdurrahman Nawi wafat pada pukul 13.35, Senin 18 November 2019 di Rumah Sakit Bakti Yudha Depok, Jawa Barat. Beliau dimakamkan di Pesantren Al-Awwabin, Bedahan, Depok.

KH. Abdurrahman Nawi lahir pada bulan Safar 1354 Hijriah (1933M). Beliau merupakan putra dari pasangan H. Nawi bin Su'id dan 'Ainin binti Rudin.

KH. Abdurrahman Nawi memulai pendidikannya dengan belajar mengaji dengan guru yang ada di Tebet, yaitu Mu’alim Ghazali dan Mu’alim Syarbini. Di sini ia belajar membaca al-Qur’an serta dasar-dasar akidah dan praktek ibadah.

Ketekunan Abdurrahman untuk mengaji nampak lebih giat dibanding saudara-saudara dan anak-anak yang lain. Maka H. Nawi terus mendorongnya untuk belajar dan mengaji dan mengingatkannya untuk tidak main-main.

Pada awalnya, Pondok Pesantren Al-Awwabin didirikan diatas tanah milik pribadi orang tua KH. Abdurrahman Nawi, yang bernama H. Nawi, saat itu lokasinya berada di Jl. Tebet-Barat VII Jakarta Selatan, tepat bersebelahan dengan rumah pribadi Beliau.

Dan pada waktu itu pendidikannya masih bersifat  non formal, tak ada sekolah, Al-Awwabin hanya menampung santri dewasa, yang umurnya berkisar 20 tahun keatas, dengan jumlah yang dibatasi pula mengingat tempat yang belum memadai.

Baca juga: Pondok Pesantren Al-Awwabin Depok

Sebagaimana tradisi masyarakat Betawi, KH. Abdurrahman Nawi yang oleh para murid dan keluarganya dipanggil dengan Abuya ini, pada tahun 1962 membuka pengajian di rumahnya, Tebet Barat VIII.

Dalam setiap acara yang dihadirinya KH. Abdurrahman Nawi sering duduk bersama dengan Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf dan Habib Husein bin Ali bin Husein Alattas. Karena sering bertemu dalam sebuah acara, ketiga ulama Betawi ini oleh H. Hamzah Haz (Ketua DPP PPP dan saat itu sedang menjabat sebagai Wakil Presiden RI) pernah menjuluki mereka ulama “Tiga Serangkai”.

Lepas mendapat julukan Ulama “Tiga Serangkai” Betawi dari orang nomor 2 RI itulah, akhirnya kemana-mana mereka selalu bertiga, utamanya dalam acara-acara keagamaan yang banyak digelar oleh kalangan habaib, pemerintah ataupun masyarakat yang ada di Jakarta ini.

Baca biografi selengkapnya di: Biografi KH. Abdurrahman Nawi

KH. Dalhar Munawwir wafat pada hari Rabu, 18 November 2009, jam 10.00 WIB. Kyai sederhana dan bersahaja itu berpulang ke rahmatullah di usianya yang ke- 76, yang sebelumnya mengalami sakit radang paru- paru. Jenazah beliau dikebumikan keesokan harinya pada hari Kamis, 19 November 2009 jam 10.00 WIB.

KH. Dalhar Munawwir atau yang lebih akrab disapa Mbah Dalhar lahir pada Kamis Pon, 14 Sya’ban atau 6 Juli 1933. Beliau merupakan putra ketujuh dari sembilan bersaudara dari pernikahan KH. Muhammad Munawwir dengan istri ketiganya yaitu Nyai Hj. Salimah.

Ayah Kyai Dalhar, KH. Muhammad Munawwir merupakan pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak.

Sejak kecil, KH. Dalhar Munawwir mendapat pendidikan agama di lingkungan pesantren. Beliau pertama kali belajar Al-Qur’an langsung kepada ayahnya, KH. Muhammad Munawwir hingga beranjak remaja. 

Pada periode awal,Pondok Pesantren Putri Krapyak diasuh langsung oleh muassis (pendiri) yakni istri KH. Muhammad Munawwir, Nyai Hj. Salimah beserta putra- putrinya sampai beliau wafat tahun 1967.

Selanjutnya, pengasuh para santri diteruskan oleh putra- putri KH. Muhammad Munawwir yaitu KH. Dalhar Munawwir, Nyai Hj Jauharoh Munawwir, dan menantunya yakni KH. Mufid Mas’ud.

baca juga: Pondok Pesantren Al Munawwir Yogyakarta

Di mata para santri, KH. Dalhar Munawwir merupakan sosok guru yang sangat perhatian, tidak pernah memandang keturunan dan bagaimana latar belakang para santri. Semua diperlakukan dan diperhatikan sama, tentunya dengan kasih sayang sama pula.

Tak hanya Ilmu Al-Qur’an yang diajarkan oleh KH. Dalhar Munawwir, tetapi juga mengajarkan tentang fiqih, tauhid, dan ilmu keislaman lainnya (Islam kontemporer dan kekinian).

KH. Dalhar Munawwir harus selalu berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar agar tercipta kerukunan dan pergaulan di masyarakat. Sikapnya yang terbuka dan luwes dengan masyarakat sama sekali tidak memandang seseorang dari jabatannya, organisasi, ataupun agama yang dianut. Hal ini yang membuat beliau disegani serta tidak pernah tebang pilih dalam bergaul.

Baca biografi selengkapnya di: Biografi KH. Dalhar Munawwir

Nyai Hj. Mahmudah Mawardi akhirnya wafat pada Rabu Wage, 26 Rabiul awal 1408 H/ 18 November 1987 pukul 14.00 di Keprabon Wetan Solo, usia 78 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Astana Pulo Laweyan Solo.

Nyai Hj. Mahmudah Mawardi lahir pada tanggal 12 Februari 1912, di Solo. Beliau merupakan putri pertama dari lima bersaudara, dari Kiai Masjhud, salah satu tokoh yang dianggap menjadi salah satu perintis berdirinya NU di Kota Solo.

Sejak kecil, Mahmudah belajar kepada orang tuanya di Pondok Pesantren yang kelak dikenal sebagai Pesantren Al-Masjhudiyah. Kemudian beliau belajar selama 6 tahun di Madrasah Ibtidaiyyah Sunniyah Solo, hingga tamat pada tahun 1923. 

Mahmudah mengawali kiprah perjuangannya dengan menjadi guru di tempat belajarnya dahulu, Sunniyah, sejak tahun 1930. Bersama kaum perempuan muslim di Solo, ia kemudian mendirikan organisasi Nahdlatoel Moeslimat (NDM) di Kauman Surakarta pada bulan April 1931.

Organisasi ini bergerak pada bidang pendidikan, khususnya untuk kaum perempuan. Dalam proses pendirian, Mahmudah menjadi ketua pendiri organisasi, hingga akhirnya membuka cabang di mana-mana.

Nyai Hj. Mahmudah Mawardi adalah sosok yang menjadi salah satu kunci terbentuknya IPPNU yang ketika awal berdiri berpusat di Solo. Hampir sebagian besar tokoh pendiri IPPNU, seperti Umroh Machfudzoh, Basyiroh Soimuri, Machmudah Nahrowi, Farida Mawardi dan lain-lain merupakan santriwati yang ikut mengaji di Pesantren Masjhudiyah.  

Selain berjuang di Muslimat, Mahmudah juga banyak dipercaya untuk mengemban amanah di banyak hal. Di ranah politik, ia bahkan dijuluki sebagai ‘politisi wanita besi brilian dari NU’. karir politiknya diawali sejak 1946 ketika menjadi anggota DPRD Kota Besar Surakarta dari golongan wanita.

Pada saat yang sama ia juga duduk sebagai anggota BP KNPI mewakili Masyumi (waktu NU masih bergabung dengan Masyumi). Tahun 1952 duduk sebagai anggota Liga Muslimin Indonesia dari NU.

Baca biografi selengkapnya di: Biografi Nyai Hj. Mahmudah Mawardi

Mari kita sejenak mendoakan beliau, semoga apa yang beliau kerjakan menjadi amal baik yang tak akan pernah terputus dan Allah senantiasa mencurahkan Rahmat-Nya kepada beliau.

Semoga kita sebagai murid, santri, dan muhibbin beliau mendapat keberkahan dari semua yang beliau tinggalkan.

Mari sejenak kita bacakan Tahlil untuk beliau: Surat Yasin, Susunan Tahlil Singkat, dan Doa Arwah