Tahun 656 M: Konflik Aisyah dengan Ali bin Abi Thalib

 
Tahun 656 M: Konflik Aisyah dengan Ali bin Abi Thalib
Sumber Gambar: Sumber Gambar: Wikipedia, Ilustrasi: Laduni.ID

Laduni.id, Jakarta - Pada tahun 656 Masehi, terjadi peristiwa perang pertama dalam masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang dikenal sebagai Perang Jamal. Konflik dalam perang ini dipicu oleh Aisyah binti Abu Bakar bersama dengan dua sahabat lainnya, yaitu Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah. Selain itu, perang ini juga dipicu oleh fitnah yang disebarkan oleh para provokator, yang memperkeruh suasana dan memicu konfrontasi bersenjata di antara pihak-pihak yang terlibat.

Berita terbunuhnya Khalifah Utsman mulai tersebar ke berbagai penjuru semenanjung Arab. Tidak terkecuali Ummul Mukminin, Aisyah binti Abu Bakar r.ha. yang sedang berada di Kota Makkah setelah melaksanakan ibadah haji. Beliau mendapatkan berita kematian Khalifah Utsman tersebut dari Zubair dan Thalhah yang berangkat ke Tanah Haram, 4 bulan setelah terbunuhnya Khalifah Utsman.

Setelah mendengar kabar tentang pembunuhan Khalifah Utsman, Aisyah sangat marah dan terpukul. Aisyah berpandangan bahwa pembunuhan di Tanah Haram dan juga Bulan Haram merupakan kejahatan yang sangat besar.

Tentu saja, menurut pandangan kebanyakan sahabat, hukuman yang seharusnya diberikan kepada pelaku pembunuhan Khalifah Utsman adalah qishash, yaitu pembalasan sesuai dengan hukum syariat Islam.

Namun, pada saat itu, Khalifah Ali bin Abi Thalib memutuskan untuk tidak segera mengikuti pendapat para sahabat yang menuntut penuntasan dan hukuman segera terhadap para pelaku pembunuhan tersebut.

Munculnya tuduhan terlibatnya Khalifah Ali dalam pembunuhan Khalifah Utsman, disebabkan oleh kehadiran beberapa pasukan yang berasal dari pihak Khalifah Ali yang terlibat dalam insiden tersebut. Keberadaan mereka di lokasi kejadian menimbulkan keraguan dan spekulasi di kalangan masyarakat, memunculkan asumsi bahwa Khalifah Ali memiliki keterlibatan dalam peristiwa tersebut.

Menerima fakta itu membuat Aisyah semakin panas. Kemudian Aisyah,Thalhah dan Zubair mulai bergerak ke daerah Basrah mengumpulkan pasukan untuk menyelesaikan konflik dengan Khalifah Ali.

Walaupun Basrah saat itu di bawah kekuasaan Khalifah Ali, ketiga sahabat itu mendapatkan banyak kekuatan dari sisa orang-orang yang setia kepada Khalifah Utsman.

Di saat yang bersamaan, Khalifah Ali yang bersiap untuk berunding dengan Muawiyah bin Abu Sufyan di Syam memutuskan menunda rundingannya tersebut, karena mendengar pergerakan yang terjadi di Basrah.

Khalifah Ali bergerak menuju Kota Kuffah dari Madinah dengan membawa pasukan yang banyak, sekaligus menambah kekuatan dari Kota Kuffah. Setelah cukup banyak menambah kekuatan, Khalifah Ali mulai bergerak ke Basrah untuk menyelesaikan konflik dengan Aisyah.

Setelah sampai, Khalifah Ali lebih condong memutuskan untuk berunding, ia tidak mau masalah ini diselesaikan dengan beradu pedang. Lagipula, lawannya juga merupakan sama-sama dari kalangan umat Muslim, terlebih lagi di pihak lawan dipimpin oleh Ummul Mukminin yang sangat dimuliakan oleh seluruh umat Muslim.

Kedua belah pihak tidak menemukan titik tengah dalam berunding. Pasukan Aisyah melawan pasukan Ali bin Abi Thalib. Peperangan pun meletus di sekitar unta yang ditunggangi Aisyah, menciptakan medan pertempuran yang intens.

Pasukan Ali berusaha untuk mengalahkan pasukan lawan dengan menargetkan untuk membunuh unta tersebut, yang secara simbolis merupakan lambang kekuatan dan keberanian Aisyah. Sementara itu, pasukan yang setia kepada Aisyah berusaha keras untuk melindungi unta dan mempertahankan posisi strategisnya. Karena kejadian inilah peristiwa perang ini disebut Perang Jamal (perang unta).

Perang berakhir dengan berhasilnya pasukan Ali membunuh unta Aisyah, sekaligus menangkap dan menahan Aisyah. Kedua belah pihak sama-sama banyak memakan korban, Thalhah dan Zubair gugur di medan perang.

Khalifah Ali menyuruh pasukannya untuk memperlakukan Aisyah dengan sebaik-baiknya, kemudian ia juga memerintahkan pasukannya untuk mengembalikan dan mengawal Aisyah kembali ke Kota Madinah.

Sebagai balas budi Khalifah Ali kepada rakyat Kuffah yang setia kepadanya, Khalifah Ali menjadikan Kuffah sebagai ibukota di masa kekhalifahannya.

Khalifah Ali juga memiliki pertimbangan penting untuk memisahkan ranah politik dari urusan agama, hal ini didorong oleh keinginannya untuk menjaga keaslian prinsip-prinsip agama Islam tanpa campur tangan kepentingan politik.

Selain itu, situasi Kota Madinah pada saat itu belum stabil sepenuhnya, sehingga Khalifah Ali melihat bahwa memilih pusat pemerintahan di tempat yang lebih kondusif akan lebih bijaksana. []


Sumber:

Dr. Thaqqusy, Muhammad Suhail. 2022. Sejarah Islam: Dari Arab Pra-Islam Hingga Runtuhnya Khilafah Utsmani. Jakarta Selatan: PT Qaf Media Kreativa.

----------------

Penulis: Muhammad Iqbal Rabbani

Editor: Muhammad Fahrul Rozi