Turunnya Al-Qur’an: Mulai Sekaligus hingga Berangsur-angsur

 
Turunnya Al-Qur’an: Mulai Sekaligus hingga Berangsur-angsur
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Zaini Ahmad dalam jurnalnya Asbab An-Nuzul Dan Urgensinya Dalam Memahami Makna Al-Qur’an menyatakan bahwa Al-Qur’an, sebagai kitab Ilahi, memiliki peran yang sangat penting dalam ajaran Islam. Al-Qur’an tidak hanya merupakan sumber utama dari semua ajaran Islam, tetapi juga berfungsi sebagai panduan bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Al-Qur’an adalah firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW untuk kebaikan umat manusia. Oleh karena itu, Al-Qur’an merupakan pedoman yang ditujukan untuk kebahagiaan dan keselamatan manusia. Faktanya, proses turunnya Al-Qur’an berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan manusia, dan hal ini mencerminkan kesungguhan Allah dalam memberikan petunjuk kepada umat manusia.

Turunnya Al-Qur’an merupakan suatu kejadian yang sangat mengagetkan sekaligus menggembirakan hati Rasulullah SAW sebagaimana turunnya Surat Al-A’laq ayat 1- 5, Nabi Muhammad SAW, dalam menerimanya sangatlah berat karena diturunkan lewat perantara malaikat Jibril sosok yang membuat Nabi SAW ketakutan. Saat malaikat Jibril menyampaikan wahyu tersebut, Rasulullah juga merasa keberatan karena tidak bisa melaksanakan apa yang diperintah malaikat Jibril. Tetapi setelah berkali-kali malaikat Jibril mengulang akhirnya Rasulullah SAW dapat menerimanya. Begitupun saat menerima ayat-ayat yang lain, Rasulullah selalu merasa ketakutan dengan segala sesuatu yang mengiringi ayat-ayat tersebut.

Memahami Al-Qur’an tidak sebatas pada terjemahannya, akan tetapi membutuhkan pemahaman asbabun nuzul dari setiap ayat-ayat yang diturunkan. Begitu sulitnya Rasulullah SAW dalam menerima wahyu membuktikan kalau peristiwa turunnya Al-Qur’an merupakan suatu kejadian yang sangat luar biasa. Dengan turunnya Al-Qur’an berarti banyak hal yang perlu dikaji lebih mendalam lagi, baik dari segi sebab-sebab turunnya atau yang sering disebut Asbabun Nuzul maupun dalam proses turunnya Al-Qur’an itu sendiri.

Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, menurut Yusuf Al-Qardawi, dibutuhkan alat bantu untuk memahami ayat atau pun rangkaian ayat dalam Al-Qur’an. Misalnya dengan menggunakan ‘Ilm I‘rab Al-Qur’an, ‘Ilm Garib Al-Qur’an,Ilm Awqat an-Nuzul, ‘Ilm Asbab Nuzul, dan sebagainya. ‘Ilm Asbab Nuzul adalah di antara metode yang amat penting dalam memahami Al-Qur’an dan menafsirinya. Seperti yang sudah diarahkan para ulama, bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dengan dua bagian. Satu bagian diturunkan secara langsung, dan bagian ini merupakan mayoritas Al-Qur’an. Bagian kedua diturunkan setelah ada suatu kejadian atau permintaan, yang turun mengiringi selama turunnya wahyu, yaitu selama tiga belas tahun. Bagian kedua inilah yang akan di bahas berdasarkan sebab turunnya. Sebab, mengetahui sebab turunnya dan seluk-beluk yang melingkupi nash, akan membantu pemahaman dan apa yang akan dikehendaki dari nash itu.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa studi tentang Nuzul Qur'an dalam konteks Al-Qur’an merupakan sebuah proses konkret yang menggambarkan bagaimana Al-Qur’an mengalami proses turun secara teratur dan terstruktur. Al-Qur’an dianggap sebagai kitab suci yang sempurna, unik dalam penurunan-Nya oleh Allah kepada malaikat terhormat dan Nabi terpilih. Oleh karena itu, kita dapat menikmati keistimewaan dari penurunan Al-Qur’an tersebut, bahkan dapat merasakan kedalaman setiap huruf, kata, dan kalimat dari ayat-ayat suci Al-Qur’an, yang bergantung pada tingkat pemahaman dan ilmu dari pembaca Al-Qur’an itu sendiri.

Dalam karya Ibrahim Eldeeb, Be A Living Qur’an dijelaskan bagaimana proses turunnya Al-Qur’an. Adapun tahap-tahap dalam turunnya Al-Qur’an, antara lain:

Pertama, Al-Qur’an Diturunkan Sekaligus

Pertama, pada tahap ini Al-Qur’an oleh Allah SWT diturunkan ke Lauhul Mahfudh. Hal ini sesuai dengan firman Allah Surat Al-Buruj ayat 21-22:

بَلْ هُوَ قُرْاٰنٌ مَّجِيْدٌۙ ٢١ فِيْ لَوْحٍ مَّحْفُوْظٍ ࣖ ٢٢

“Bahkan, (yang didustakan itu) Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam (tempat) yang terjaga (Lauhul Mahfudh).”

Dalam sebagian tafsir, Lauhul Mahfudh disamakan dengan kitabin maknun yang berarti kitab terjaga. Akan tetapi secara umum Lauhul Mahfudh diartikan sebagai sebuah tempat yang didalamnya tersimpan segala sesuatu yang berkaitan dengan qadha dan qadhar Allah, semua perkara yang sudah terjadi ataupun yang terjadi di masa yang akan datang. Tahap kedua, Pada tahap ini Al-Qur’an diturunkan dari Lauhul Mahfudh ke baitul izzah atau langit dunia. Hal ini didasarkan riwayat Ibnu Abbas. Tahap kedua ini secara sepintas, nash Al-Qur’an menunjukkan cara turunnya Al-Qur’an yakni, Al-Qur’an turun sekaligus. Dalam hal ini dapat dilihat pada firman Allah SWT Surat Al-Qadar  ayat 1-5:

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ ١ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ ٢ لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ ٣ تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ ٤ سَلٰمٌ ۛهِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ࣖ ٥

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada Lailatulqadar. Tahukah kamu apakah Lailatulqadar itu? Lailatulqadar itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Rūḥ (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam) itu sampai terbit fajar.”

Surat Al-Baqarah ayat 185:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ١٨٥

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.”

Sebagai wahyu Ilahi, Al-Qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui proses yang disebut inzal yaitu proses perwujudan Al-Qur’an (Izhar Al-Qur’an). Cara yang ditempuh adalah Allah mengajarkan kepada malaikat Jibril, lalu malaikat Jibril menyampaikannya kembali kepada Nabi Muhammad SAW. Ada juga ulama yang membedakan antara an-inzal dan at-tanzil. Kata al-inzal berarti proses turunnya Al-Qur’an ke Lauhul Mahfudh, sedangkan kata at-tanzil berarti proses penyampaian Al-Qur’an dari Lauhul Mahfudh kepada para nabi melalui Malaikat Jibril.

Kedua, Al-Qur’an Diturunkan Secara Berangsur-Angsur

Athaillah dalam Sejarah Al-Qur’an menjelaskan bahwa Jibril berulang kali turun menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW. Hal ini sudah sewajarnya demikian, sebab ayat-ayat Al-Qur’an tidaklah sekaligus secara keseluruhan, tetapi berangsur-angsur sesuai dengan keperluan yang ada. Itulah sebabnya, ayat-ayat Al-Qur’an atau surat-suratnya yang diturunkan tidak sama jumlah dan panjang pendeknya, terkadang diturunkan sekaligus secara penuh dan terkadang sebagiannya saja. Surat-surat pendek (qishar) yang diturunkan sekaligus secara penuh, antara lain Al-Fatihah, Al-Ikhlash, Al-Kaustar, Al-Lahab, Al-Bayyinah, dan Al-Nashr. Adapun surat-surat panjang (thiwal) yang diturunkan sekaligus secara penuh, antara lain surat Al-Mursalat. Surat-surat yang tidak di turunkan sekaligus secara penuh bervariasi pula, ada yang hanya lima ayat dari keseluruhannya, ada pula yang hanya sepuluh ayat atau lebih, dan ada pula yang hanya diturunkan sebagian saja dari sepotong ayat.

Keberadaan Al-Qur’an, tidak bisa terlepas dari sejarah turunnya wahyu, ini menunjukkan bahwa apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an, mempunyai latar belakang atau alasan kenapa Al-Qur’an itu diturunkan, tentu mempunyai sebab. Oleh karena itu ayat Al-Qur’an turun mempunyai sejumlah kronologis yang harus diketahui secara detail, agar dalam memaknai ayat tidak sepotong-sepotong, dan harus sesuai dengan kondisi suatu masyarakat di mana komunitas itu tinggal, sehingga dalam pemaknaan tidak akan bertentangan dengan apa yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an, semua persoalan harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Hal ini sesuai dengan tujuan utama Al-Qur’an yakni menegakkan sebuah tata aturan masyarakat yang adil, berdasarkan etika dan dapat bertahan di muka bumi.

Menurut Manna Khalil Al-Qattan dalam Studi IlmuI-lmu Qur’an, wahyu Ilahi yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Menurut sebagian ulama, Al-Qur’an turun dalam masa dua puluh tahun, dua bulan dan dua puluh dua hari. Ulama lain menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam tempo waktu sekitar dua puluh tiga tahun. Di kota Makkah Al-Qur’an turun secara bertahap sekitar tiga belas tahun. Sedangkan di Madinah wahyu turun dalam masa sekitar sepuluh tahun. Tentang turunnya Al-Qur’an secara berangsurangsur ini dapat ditemukan penjelasannya dalam sejumlah ayat Al-Qur’an. Di antara ayat Al-Qur’an yang bertutur tentang turunnya Al-Qur’an secara bertahap yaitu terdapat dalam firman Allah SWT Surat Al-Isra’ ayat 106:

وَقُرْاٰنًا فَرَقْنٰهُ لِتَقْرَاَهٗ عَلَى النَّاسِ عَلٰى مُكْثٍ وَّنَزَّلْنٰهُ تَنْزِيْلًا ١٠٦

“Al-Qur’an Kami turunkan berangsur-angsur agar engkau (Nabi Muhammad) membacakannya kepada manusia secara perlahan-lahan dan Kami benar-benar menurunkannya secara bertahap.”

Al-Qur’an hanya menegaskan bahwa wahyu turun secara terpisah dan berangsur-angsur. Keterangan itu menjelaskan bahwa Al-Qur’an turun secara demikian itu membangkitkan reaksi kaum musyrikin yang biasa menerima kasidah atau syair dalam jumlah banyak dan sekaligus. Bahkan, ada yang mendengar dari kaum Yahudi bahwa Taurat diturunkan kepada Nabi Musa secara sekaligus. Karena itu tidak mengherankan kalau mereka mempertanyakan kenapa Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Reaksi mereka itu disebut oleh Al-Qur’an dan dijawab dalam Surat Al-Furqan ayat 32-33:

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْاٰنُ جُمْلَةً وَّاحِدَةً ۛ كَذٰلِكَ ۛ لِنُثَبِّتَ بِهٖ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنٰهُ تَرْتِيْلًا ٣٢ وَلَا يَأْتُوْنَكَ بِمَثَلٍ اِلَّا جِئْنٰكَ بِالْحَقِّ وَاَحْسَنَ تَفْسِيْرًا ۗ ٣٣

“Orang-orang yang kufur berkata, “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?” Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Nabi Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan, dan benar). Tidaklah mereka datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, kecuali Kami datangkan kepadamu kebenaran dan penjelasan yang terbaik.”

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah SWT sengaja menjadikan turunnya Al-Qur’an secara bertahap, dengan maksud agar Nabi Muhammad SAW membacakan atau menyampaikan wahyu yang turun kepada beliau untuk seluruh manusia secara perlahan dan teliti. Dapat dipahami pula bahwa Allah menurunkan wahyu-Nya bagian demi bagian sesuai dengan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW dan masyarakat yang hidup sezaman dengan beliau.

Az-Zarkasyi seorang ulama Al-Qur’an menyebutkan bahwa para mufasir memberikan perhatian terhadap asbab nuzul dalam kitab-kitab mereka. Adapun ulama awal yang pernah menulis tentang kitab Asbab Nuzul adalah Ali bin Al-Madini yang merupakan guru dari Imam Al-Bukhari. Sedangkan yang terkenal dari kitab Asbab Nuzul ini adalah dikarang oleh Al-Wahidi. Bahkan Imam Az-Zarkasyi menyebutkan telah salah orang yang beranggapan bahwa Asbab Nuzul tidak penting karena mempelajarinya hanya bagaikan mengikuti peristiwa sejarah. Padahal sebenarnya asbab Nuzul memiliki fungsi-fungsi kongkrit yang banyak dan utama dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Qur’an.

Urgensi Asbab Nuzul Al-Qur’an

Selain itu, urgensi asbabun nuzul dapat pula dipahami antara lain dari komentar para pakar ulum Al-Qur’an. Diantaranya berkata Al-Wahidi, “Tidak mungkin seseorang bisa mengetahui penafsiran suatu ayat Al-Quran tanpa bersandarkan kepada kisah dan penjelasan sebab turunnya.” Ibn Daqiq Al-'Id menyatakan, “Mengetahui sabab nuzul membantu seseorang untuk memahami ayat Al-Quran, karena pengetahuan tentang assabab (sebab) akan mewariskan pengetahuan terhadap akibat. Dari pandangan para ulama ulumul Qur’an di atas maka dapatlah dinilai bahwa mengetahui asbab nuzul sangatlah urgen, karena tidak mungkin dapat memahami dan menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan benar dan tepat tanpa memiliki pengetahuan tentang sebab turunya Al-Qur’an.

Urgensi turunnnya wahyu secara bertahap urgensi secara langsung yang dapat diambil adalah dapat dipahami peristiwa-peristiwa dan pentahapan dalam penetapan hukum, termasuk untuk mengetahui tantang nasikh dan mansukh. Faedah eksternal lainnya adalah untuk lebih mempermudah menghafal bagi para pengikut nabi yang sebagian besar tidak bisa menulis. Turunnya wahyu memberikan gambaran yang sangat penting bahwa tatanan yang hendak dibangun oleh Al-Qur’an bukanlah merupakan paket sekali jadi yang absolut tanpa melalui proses responsif dan terpisah dari perkembangan sosio-politik yang ada.

Meskipun Al-Qur’an merupakan sumber hukum, namun dalam kenyataannya Al-Qur’an bukanlah sebuah dokumentasi hukum yang lansung dapat diadopsi. Kedudukan Muhammad menjadi sangat penting dan sentral dalam kaitannya dengan masalah-masalah praktis, bahkan memiliki otoritas yang tak terbantahkan di luar Al-Qur’an. Tahapan turunnya wahyu sangat mempertimbangkan aspek perkembangan psikologis umat dalam merespons ajaran baru.

Aspek historisitas dalam pentahapan penetapan hukum, serta upaya dokumentasi yang bertahap dan memudahkan untuk dihafal nampaknya tidak diabaikan oleh Al-Qur’an. Nilai optimisme yang dinamik dalam Al-Qur’an dengan menyediakan gagasan dasar ajaran monoteisme dan semangat moral yang bersifat universal telah diarahkan melalui proses pembentukan tatanan nilai secara bertahap dengan tidak menghilangkan autentisitas masyarakat tertentu. Wallahu A’lam. []


Penulis: Kholaf Al Muntadar

Editor: Fahrul