Barikan Sebagai Penangkal Bencana yang Sudah Menjadi Tradisi di Nusantara

 
Barikan Sebagai Penangkal Bencana yang Sudah Menjadi Tradisi di Nusantara

Hubungan masyarakat dengan alam di sekelilingnya merupakan wujud kesatuan harmonis yang selalu dijaga keseimbangannya. Kejadian-kejadian alam seperti gempa, gerhana bulan dan matahari, paceklik, banjir, wabah penyakit dianggap sebagai pertanda bagi kehidupan manusia. Dengan adanya pertanda baik atau pertanda buruk, diharapkan masyarakat telah bersiap untuk menghadapinya dari segala kemungkinan atas petunjuk alam itu. Untuk menghindari hal-hal tersebut, seluruh anggota masyarakat suatu desa mengadakan upacara barikan. Tradisi barikan atau bari’an merupakan salah satu praktik ritual keagamaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat tertentu sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat atau berkah yang telah mereka terima dari sang Kuasa.

Barikan atau bari’an sendiri berasal dari kata bahasa Arab baro’a, yubarri’u, bara’atan/ bari’an yang berarti bebas (al-Marbawi, t.th: 45). Dalam hal ini yang dimaksud dengan bebas adalah bebas dari barbagai marabahaya, wabah penyakit, malapetaka, marabahaya, dan balak yang ada. Istilah lain dari ritual barikan juga seringkali disebut sebagai ritual “bersih desa” (Simuh, 1998: 119). Sedangkan secara terminologi, barikan adalah sebuah ritual tradisi Jawa yang dilakukan suatu penduduk desa sebagai bentuk upaya melakukan tolak balak (menghindarkan berbagai mara bahaya), agar hidup mereka terhindar dari berbagai bencana yang merugikan seperti datangnya kekeringan, bencana alam (banjir, longsor), kelaparan, wabah penyakit baik yang menyangkut manusia, tanaman ataupun ternak mereka (Soepanto, 1981: 23).

Ritual ini merupakan ritual yang dilaksanakan oleh penduduk desa secara rutin dalam waktu tertentu dan telah dilaksanakan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Selain sebagai ritual tolak balak, ritual barikan juga dimaksudkan untuk mendoakan semua arwah leluhur desa yang telah meninggal dunia sebagai bentuk pengkhurmatan atas berbagai jasa para leluhur dalam melakukan babat (perjuangan membangun) desa di masa lalu. Wujud ritual barikan sejatinya merupakan ritual yang berbentuk pemberian sedekah berupa berbagai makanan yang diolah dari hasil pertanian masyarakat sekitar (Pambudi, 2009).

Ritual barikan ini merupakan bentuk akulturasi tradisi Jawa dengan ajaran Islam. Dimana pada dasarnya ritual ini berasal dari tradisi nenek moyang suku Jawa yang beragama Hindu-Budha. Ritual barikan ini merupakan metamorfosa dari ritual bersedekah dengan berbagai persembahan yang dikenal dengan istilah sesajen (lazimnya kepala hewan berkaki empat yang disembelih) yang asal mulanya merupakan bentuk tradisi ritual Hindu-Budha Nusantara yang dilaksanakan secara turun temurun oleh masyarakat yang tadinya bersifat memuja kemudian berubah menjadi meminta perlindungan dari mara bahaya (Hensastoto, 1991: 100).

Ritual sedekahan dan sesajen yang ditinggalkan di tempat ritual tersebut ditujukan sebagai bentuk pengkhurmatan arwah yang ada di sekitar dukuh/desa setempat. Masyarakat pra Islam mempunyai keyakinan bahwa bahwa arwah-arwah orang meninggal tersebut apabila tidak diberi sesajen atau makanan dari sedekahan masyarakat sekitar maka akan mendatangkan berbagai murka (kemarahan) dalam masyarakat desa. Para arwah akan menggangu masyarakat dengan mendatangkan berbagai macam balak (mara bahaya) seperti penyakit (baik dalam manusia, hewan ternak dan tumbuh-tumbuhan), bencana alam seperti banjir, longsor, gempa bumi dan gunung meletus. Keyakinan tersebut dilaksanakan secara turun-temurun oleh masyarakat sehingga mengakar kuat menjadi sebuah ritual atau tradisi di masyarakat hingga sekarang ini.

Ritual barikan sebenarnya sudah lama dilakukan oleh masyarakat Jawa mulai masa Hindu-Budha di Nusantara. Namun kapan waktu awal ritual barikan tersebut dilakukan sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti dan belum ada sumber yang valid yang bisa digunakan sebagai acuan. Ritual ini dimungkinkan pada masa wali songo terutama Sunan Kalijaga sekitar abad ke-15, abad ke-16, kalau di wilayah pantura khususnya Pati-Jepara, kemungkinan pada masa Sunan Muria atau pada masa Sunan Hadirin. Hal ini dapat dilihat pada cerita rakyat ketika Ratu Kalinyamat bertapa di Sonder Keling Jepara, para abdi kerajaan Mantingan sering mengadakan kendurenan di perbatasan sekeliling daerah pertapaan (Sunyoto, 2012: 76).

Secara substansi ritual barikan di berbagai daerah di Jawa mempunyai makna atau nilainilai yang sama yaitu keimanan kepada Allah dan makhluk gaib, nilai keberkahan, sedekahan sebagai aksi sosial, asas kekeluargaan dan kebersamaan. Dalam implementasinya, ritual barikan ini mempunyai perbedaan model, syarat serta tatacara pelaksanaanya. Ritual barikan di Jawa terbagi dalam dua model. Pertama, ritual barikan tahunan, artinya ritual ini hanya boleh dilakukan oleh masyarakat dalam setiap satu tahun sekali. Tradisi upacara barikan ini dilakukan di berbagai daerah di Jawa seperti halnya di masyarakat Mororejo kecamatan Tosari atau di kawasan Suku Tengger. Upacara barikan yang ada di dalam kehidupan masyarakat Mororejo atau Tengger, mempunyai hubungan erat dengan kehidupan bermasyarakat dan kehidupan beragama, sehingga mereka melaksanakan secara bersama empat kali dalam setahun, sedangkan tempat pelaksanaannya di perempatan jalan, sanggar, petren/dayang, banyu yang dianggap ada arwahnya yang bertempat tinggal. Upacara barikan ini dipimpin oleh dukun dan mudin, yang diakhiri dengan makan dan doa. Dan dalam melaksanakan upacara ada hal‐hal yang harus dihindari dalam istilah Tengger disebut wewaler (pantangan) (Ma’rufiati, 1998: 28).

Model ritual barikan kedua, yakni ritual barikan yang dilaksanakan warga setiap satu windu sekali. Artinya kegiatan ritual ini hanya bisa dilaksanakan oleh masyarakat selama kurun waktu delapan tahun sekali (Mukaromah, 2013: 7-9.). Hal ini terjadi di Jawa Tengah tepatnya wilayah pantura, barikan biasanya dilakukan oleh warga setempat pada momentum-momentum tertentu khususnya pada acara besar desa yang dalam istilah Jawa disebut gawe gede deso seperti pada saat pelaksanaan pemilu, pilkades, sedekah bumi (kabumi) dan hari pelaksanaannya yang lazim digunakan adalah pada hari Jum’at Wage baik sore atau malam hari. Pemilihan hari Jum’at Wage didasarkan pada kepercayaan masyarakat Jawa Tengah bahwa hari Jum’at Wage termasuk hari keramat. Selain persyaratan ketentuan hari pelaksanaan, dalam ritual ini tempat juga menjadi pertimbangan khusus sebagai salah satu syarat kesempurnaan pelaksanaan ritual. Dalam tradisi barikan baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur hampir ada kemiripan dimana dalam setiap pelaksanaan ritual barikan tempat yang lazim digunakan adalah perempatan, pertigaan, batas dusun atau desa. Pemilihan tempat ini menggunakan pertimbangan-pertimbangan tertentu baik dari sisi strategis maupun sisi mistisisme. Berbagai pendapat sesepuh desa mengatakan bahwa perempatan, pertigaan atau tapal batas desa ataupun dusun mempunyai unsur mistis yang kuat dimana di tempat-tempat tersebut dipercaya sering dilewati oleh kekuatan gaib penjaga desa.

Dari dua model barikan, ada beberapa proses tatacara yang harus dilakukan dalam ritual ini. Barikan yang dilakukan setiap tahunnya:

1. Pagi sekali kepala dusun membunyikan kentongan dengan suara khusus untuk memanggil warga agar segera berkumpul di perempatan jalan dusun. 

2. Acara pagi hari itu diisi dengan khataman Al-Qur’an kurang lebih sampai jam tiga siang, dan di pagi itu pula ada sebagian orang yang memotong kambing untuk dimasak. Uang untuk membeli kambing, dan semua keperluan dalam acara tersebut berasal dari uang yang dikumpulkan warga (iuran perkepala rumah tangga). 

3. Warga berbondong-bondong mendatangi perempatan jalan dusun dengan membawa makanan (berkat) dari masingmasing kepala keluarga warga dusun setempat, dan isi makan ini harus ada potongan kelapa yang dipotong tipis-tipis lalu disangria tanpa minyak, untuk lauk pauknya bisa bermacam-macam. Dan ada pula bubur dari beras tanpa dibumbuhi warga sering menyebut dengan nama “jenang sengkolo” dan hasil potongan kambing yang sudah di masak dibagibagikan kepada seluruh warga dusun untuk dimakan bersama. 

4. Setelah semua berkumpul acara pun dimulai dengan membacakan doa-doa khusus yang dipimpin oleh orang yang sudah dipilih masyarakat. Dan setelah berdoa, makanan dibagi-bagikan lagi dan acara pun selesai.

Barikan yang kedua yakni yang dilaksanakan warga setiap satu windu sekali atau delapan tahun sekali. Proses kegiatan sama dengan barikan setiap tahunnya, akan tetapi sedikit berbeda setelah proses pemotongan kambing yang khusus umur dua tahun ini diambil kepalanya lalu dikubur di tengah perempatan desa yang dimana sudah ada tempatnya yang dikhususkan setiap windunya untuk tempat kepala kambing yang dikubur, sebelum proses penguburan kepala, terlebih dahulu oleh sesepuh setempat dibacakan doa-doa khusus. Setelah penguburan kepala tersebut, acara berlangsung seperti biasanya yakni khataman Al-Qur’an dan dilanjutkan makan makanan yang sudah dikumpulkan dari masing-masing kepala keluarga dusun setempat.

Dalam konteks ritual barikan terdapat simbol-simbol yang digunakan sebagai tanda penyampai pesan. Ritual barikan adalah budaya yang di beberapa tempat khususnya wilayah pulau Jawa banyak dilakukan, ritual ini dipercaya sebagai pertemuan penting untuk seluruh warga setempat untuk mendoakan desa mereka agar terhindar dari berbagai mara bahaya dan musibah. Dalam ritual ini ada beberapa simbol yang digunakan sebagai suatu keharusan bagi yang melakukannya. Karena simbol itu mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat setempat. Sebuah simbol dari leluhur dengan nama “barikan”, sebuah nama yang digunakan sebagai simbol acara yang akan dilakukan masyarakat secara turun temurun untuk mendoakan desanya. Simbol sebuah ritual mempunyai banyak arti, dan setiap individu atau kelompok melakukannya sesuai dengan kesepakatan bersama dari awal dilakukannya ritual tersebut, jika mereka tidak memiliki kesepakatan maka moment itu hanya berpaku pada penentuan banyak hal, hal itu harus tetap disepakati agar tidak ada lagi kesalahpahaman dalam menafsirkan segala simbol yang dilakukan di kemudian hari (Pambudi, 2009).

Sebuah simbol tidak hanya berupa verbal, dengan bunyi pun simbol-simbol dapat ditunjukkan kepada orang yang menerima pesan (komunikan), dengan bunyi yang sengaja dibuat oleh akal manusia, dapat menjadi sebuah pesan yang mampu dipahami bagi orang yang hidup dalam lingkungan dimana simbol-simbol itu digunakan. Kentongan merupakan alat pemberitahu kepada masyarakat yang masih aktif digunakan, sekalipun di desa-desa mungkin sudah banyak yang tidak menggunakan dengan diganti michrophon masjid/mushala terdekat. Bunyi kentongan masih berlaku khusus untuk ritual barikan. Untuk mengumpulkan masyarakat agar segera berkumpul pada tempat dimana acara akan berlangsung, bunyi yang digunakan yakni “Tok tok” hanya dua kali dan jarak dari bunyi yang pertama kurang lebih tiga detik. Meskipun perkembangan zaman terus maju, namun para pelaku ritual barikan masih banyak yang mempertahankan tradisi dan adat yang mereka yakini. Bunyi menjadi sebuah simbol bagi orang-orang yang mengerti makna dan maksud dari bunyi yang dikeluarkan.

Makanan juga dapat menjadi simbol bagi orang-orang yang melakukan ritual ini, sebuah simbol yang menunjukkan bahwa begitu efektifnya pesan leluhur yang mereka hargai hingga acara ritual ini berlangsung secara terus menerus hingga sekarang. Nasi ambeng adalah hidangan khas Jawa berupa nasi putih yang diletakkan di atas tampah dan diberi lauk pauk di sekelilingnya. Lauk pauk dapat berupa perkedel, ikan asin goreng, rempeyek, sambal goreng, telur rebus, tempe goreng, urap, bihun goreng, dan opor ayam. Nasi ambeng adalah hidangan yang disajikan dalam selamatan sebagai lambang keberuntungan. Nasi dimakan beramai-ramai oleh empat hingga lima orang dewasa. Nasi dimakan dengan memakai dengan tangan telanjang, tanpa sendok dan garpu. Penyajian nasi ambeng mengandung permohonan agar semua pihak yang turut serta dikaruniai banyak rezeki. Selain itu ambengan ini juga menjadi pesan simbolik yang memberikan makna tentang budaya sedekah dan berbagi dengan sesama yang penuh dengan nuansa egaliter, kesederhanaan dan kepedulian sosial.

Jenis ambengan yang biasanya digunakan untuk barikan ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:

1. Nasi byar Nasi byar adalah nasi putih yang sudah matang seperti yang dimakan sehariharinya. Untuk jenis ambengan ini, dibuat bucu yang di atasnya terdapat satu butir telur ayam. Di pinggir bucu diberi kendhit kuning (terbuat dari parutan kunyit sehingga warnanya kuning) dan dibumbui dengan jenang katul. Masingmasing komponen ini mempunyai filosofi yang berbeda. Bucu dengan telur ayam (posisinya paling tinggi) diibaratkan sebagai manusia, bahwasanya derajat manusia merupakan derajat yang paling tinggi di antara jin dan setan. Kendhit kuning bermakna sebagai jalan untuk mencari pencerahan, dan jenang katul diibaratkan untuk bertemu dengan sedulur tuo (air mani dan ari-ari). Dari ke semua komponen itu, ambengan dengan nasi byar bermakna untuk menghilangkan malapetaka. 

2. Nasi golong atau nasi pulen Nasi pulen yaitu nasi yang baru matang lalu dibiarkan hingga dingin. Untuk ambengan yang menggunakan nasi pulen, bucunya berjumlah Sembilan. Dibumbui dengan makanan yang tidak mengandung garam, misalnya rebusan daun singkong. Bucu yang berjumlah sembilan diibaratkan sebagai wali songo. Ambengan dengan nasi pulen bermakna untuk merukunkan antara saudara dan tetangga.

3. Nasi putih biasa Ambengan yang hanya menggunakan nasi putih biasa komponennya lebih sedikit dari pada nasi byar dan nasi pulen. Ambengan yang menggunakan nasi putih biasa hanya ada satu bucu dan bumbunya pun sederhana. Untuk bumbunya harus makanan mengandung garam. Ambengan jenis ini bermakna untuk menghormati sedulur tuo, hewan ternak, dan segala yang dimiliki.

Ada pula kelapa disangrai, masakan yang terbuat dari potongan kelapa tua yang dicintang tipis-tipis lalu disangrai tanpa minyak. Nama kelapa yang disangrai ini disebut dengan istilah “Ngering” atau kering untuk sebutan di Jawa Timur dan srundeng untuk di Jawa tengah. Buah kelapa sebagai simbol bahwa dengan keringnya buah tersebut, maka penyakit yang akan turun menjadi kering dan tidak lagi menyebar kepada warga sekitar setelah dilakukannya ritual ini. Sebuah simbol yang sangat berharga dan dihargai demi hasil yang baik, karena sebuah simbol tidak hanya digunakan oleh antar individu saja, tetapi simbol juga dapat dijadikan sebagai budaya pada setiap individu yang melakukannya. Untuk itu tidak ada salahnya jika seseorang mempercayai adanya kepercayaan yang dibawa oleh leluhur mereka demi kebaikan bersama (Pambudi, 2009).

Bubur abang putih sebagai pra lambang terjadinya manusia yang melalui benih dari ibu yang dilambangkan dengan jenang warna merah dan benih dari bapak yang dilambangkan dengan jenang warna putih. Jenang ini terbuat dari nasi putih, untuk warna merah dalam penyajiannya nasi putih dicampur dengan gula merah dan untuk yang satunya nasi disajikan secara utuh.

Seperti halnya masyarakat tradisional di berbagai tempat di Indonesia mengenal “pantangan”, istilah yang lebih populer adalah tabu atau wewaler. Dalam tradisi masyarakat yang melakukan upacara barikan ini, ada beberapa hal pantangan yang harus dilakukan:

1. Semua orang hadir dilarang buang air kecil maupun kotoran di punden desa, karena merupakan tempat masyarakat melakukan kremasi atau pembakaran petra.

2. Dilarang mengucapkan mantra di luar saat upacara, dilarang menyebutkan jenis-jenis sesajen dan meragakannya di luar waktu upacara, hal ini berkaitan dengan anggapan bahwa mantra itu merupakan rangkaian kata-kata suci yang mengandung kekuatan gaib.

3. Dilarang melangkahi sesajen, sesajen baik yang masih akan dihaturkan, maupun yang sudah disucikan dan diletakkan di tempat-tempat tertentu, sama sekali tidak boleh dilangkahi.

4. Dilarang meninggalkan peralatan upacara dan sesajen yang baku, seperti halnya ubek-ubek, prasen, prapen, gedang ayu dan rarang-arang kambang yang digunakan saat upacara barikan.

Tradisi ritual barikan pada hakikatnya merupakan bentuk ritual yang mencerminkan nilai-nilai keimanan kepada Allah dan mahluk gaib, nilai-nilai keberkahan, bersedekah sekaligus sebagai aksi sosial, asas kekeluargaan dan kebersamaan. Semua nilai-nilai tersebut dapat terlihat dari semua “ubarampe” atau piranti slametan yang menyiratkan maknamakna simbolik diatas.

Pertama, nilai filosofis merupakan nilai asasi atau fondasi dasar sebagai sebuah tradisi. Hal ini dapat dilihat dari rumusan dasar yang diajadikan pijakan dan rekam jejak historis. Sebagaimana diketahui bersama, rumusan dasar yang dijadikan pijakan adalah dalil-dalil syar’i dan ideologi/kepercayaan yang sudah mendarah daging mulai nenek moyang sampai sekarang ini yaitu dalam bentuk sebuah keimanan dan ritual keimanan. Sebelum Islam masuk ke Nusantara, masyarakat Nusantara sudah memiliki peradaban agung tentang konsep ketuhanan, baik yang bercorak animisme, dinamisme, hinduisme dan budhisme serta theisme semisal agama kapitayan. Nilai-nilai dari ajaran ketuhanan ini termanifestasi dalam banyak ritual-ritual yang ada di dalam tradisi masyarakat Nusantara.

Kedua, nilai edukatif adalah nilai-nilai pendidikan. Dimana pendidikan adalah bimbingan secara sadar untuk membentuk kepribadian yang utuh dan berkarakter. Tradisi Barikan merupakan sebuah khazanah budaya Islam Nusantara yang adi luhung, sehingga dapat dipastikan adanya proses yang mengarah kepada pembentukan kepribadian dan karakter bangsa secara utuh baik dari aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik.

Ketiga, nilai sosial relegius merupakan nilai-nilai luhur yang bersumber atas dasar fenomena sosial keagamaan baik sebagai komunal maupun prifat serta berhubungan erat dengan nilai hubungan vertical dan horizontal, maka tradisi barikan mempunyai banyak hal yang tersirat yang mengandung nilai-nilai luhur di dalamnya. Fenomenologis sosial dan keagamaan masyarakat pelestari tradisi ini, walaupun banyak berkembang di daerah-daerah pedalaman dan pantura, walau bagaimanapun tetap mempunyai peranan yang kuat dalam tatanan sosial yang berkembang. Dengan konteks dan latar demikian, maka lahirlah nilai-nilai sosial-religius yang mapan pada masyarakat ini. Unsur dan nilai sosialreligius ini ahirnya menjadikan karakter dan identitas tersendiri dalam memposisikan diri sebagai individu abdun (hamba) Tuhan dan sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi. Konsep sosial-religius ini dapat termanifestasi dalam tiga hubungan yaitu individu sebagai abdun muthi’ (hamba yang bertakwa), individu sebagai bagian dari masyarakat serta individu sebagai bagian dari alam semesta. Dari sinilah akan tercermin masyarakat yang di dalamnya terdapat individu-individu/insan kamil, insan yang yang mempunyai daya keimanan yang tinggi (Amin, 2000: 98).

Sampai saat ini tradisi barikan masih tetap dilaksanakan oleh sebagian warga desa di Jawa. Tradisi barikan yang dilakukan masih sama dari tahun ke tahun. Namun untuk saat ini yang membedakan hanyalah pada ambengan yang dibawa. Tidak lagi beranekaragam jenisnya, tetapi kebanyakan warga desa hanya membawa ambengan jenis ketiga, yaitu ambengan dengan nasi putih biasa. Hal itu disebabkan karena untuk mempermudah warga tetapi yang terpenting bagi mereka masih melaksanakan tradisi ini. [Saifuddin Jazuli]

Sumber Bacaan :

Amin, Darori dkk. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media, 2000. Hensastoto, Budiono. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hamidita, 1991. Ma’rufiati, Atik. Upacara Barikan pada Masyarakat Desa Mororejo Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan. Surabaya: UIN Sunan Ampel, 1998. Marbawi al-, Muhammad Idris Abd. Rauf. Kamus Idris al-Marbawi. Surabaya: al-Hidayah t.th. Mukaromah, Umul. Makna Simbol Komunikasi dalam Ritual Bari’an di Desa Kedungring Kertosono Nganjuk. Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2013. Pambudi, Dwi Santosa. Hukum Islam dan hukum Adat tentang Tradisi Barikan di Dukuh Bakalan, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009. Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Rangga Warsita. Jakarta:UI-Press, 1998. Soepanto. Cerita Rakyat Daerah Tengger. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1981. Sunyoto, Agus. Atlas Walisongo. Depok: PustakaII. MaN, 2012. Upacara Kasada Daerah Jawa Timur, Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1984.

SUMBER : ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA (Edisi Budaya)​