Beberapa Komentar Ahli Hadis terhadap Validitas Kitab Sahih Bukhari dan Muslim

 
Beberapa Komentar Ahli Hadis terhadap Validitas Kitab Sahih Bukhari dan Muslim
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Perlu diketahui lebih dulu bahwa sebagian besar hadis-hadis Bukhari diakui sebagai hadis sahih oleh ahli-ahli hadis. Namun juga diakui bahwa sejumlah kecil hadis-hadis Bukhari dan begitu pula hadis-hadis Muslim, dikritik oleh sejumlah ahli-ahli hadis masa lalu seperti Al-Daruqutni (w. 385 H), Abu Ali Al-Ghassani (w. 365 H), dan lain-lain. Mereka menganggap hadis-hadis itu dha’if.

Menurut Imam Nawawi, kritikan mereka itu berangkat dari tuduhan bahwa dalam hadis-hadis tersebut Imam Bukhari tidak menepati persyaratan-persyaratan yang ia tetapkan. Untuk maksud ini Al-Daruqutni menulis buku berjudul Al-Istidrakat wa Al-Tatabbu’, di mana ia mengkritik 200 buah hadis yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.

Imam Nawawi menegaskan bahwa kritik Al-Daruqutni dan lain-lain itu hanyalah berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh sejumlah ahli hadis yang justru dinilai lemah sekali (ditinjau dari ilmu hadis) karena berlawanan dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh jumhur ulama. Karenanya, demikian lanjut Nawawi, anda jangan sekali-kali terperdaya oleh kritikan-kritikan itu.

Dalam mengkritik Bukhari, Al-Daruqutni meyoroti sanad (dalam arti) deretan rawi-rawi hadis, sedangkan ahli-ahli hadis yang lain menyoroti pribadi-pribadi rawi.

Kritik Sanad

Al-Daruqutni berkata: Imam Bukhari (dan Imam Muslim) menulis hadis Al-Zubaidi, dari Al-Zuhri, dari Urwah, dari Zainab binti Abu Salamah, bahwa Nabi Muhammad Saw. melihat seorang wanita di rumah Ummi Salamah, wajah wanita itu memar. Lalu Nabi berkata: “Obatilah wanita itu dengan jampi-jampi (ruqyah)”. Kata Al-Daruqutni selanjutnya, hadis ini oleh Uqail diriwiyatkan dari Al-Zuhri, dari Urwah secara mursal. Begitu pula Yahya bin Said meriwayatkannya dari Sulaiman bin Yasar, dari Urwah secara mursal. (Mursal adalah hadis yang tidak disebutkan nama sahabat dalam rangkaian sanadnya).

Jelaslah bahwa Al-Daruqutni menilai hadis tersebut dha’if, sebab hadis mursal itu putus sanadnya dimana Uqail tidak menyebut Zainab dan Ummi Salamah, tetapi langsung menyebut Nabi. Sanad hadis ini selengkapnya, seperti yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari adalah sebagai berikut:

Riwayat Bukhari:

Muhammad bin Khalid – Muhammad bin Wahb – Muhammad bin Harb – Al-Zubaidi – Al-Zuhri – Urwah – Zainab binti Abu Salamah – Ummu Salamah – Nabi.

Riwayat lain:

Ibn Wahb – Ibn Lahi’ah – Uqail – Al-Zuhri – Urwah – Nabi. Di sini Urwah meriwayatkan hadis langsung dari Nabi dengan menggugurkan dua rawi yaitu Zainab binti Abu Salamah dan Ummu Salamah.

Abu Mu’awiyah – Yahya bin Yazid – Sulaiman bin Yasar – Urwah – Ummu Salamah – Nabi. Di sini yang digugurkan hanya Zainab binti Abu Salamah. Dan riwayat ini ditulis oleh Imam Al-Bazzar.

Dari perbandingan riwayat-riwayat itu dapat diketahui bahwa sebenarnya riwayat hadis yang mursal (putus sanadnya menjelang Nabi) terdapat dalam riwayat lain. Dan riwayat lain inilah yang sebenarnya dhaif. Sedang riwayat yang terdapat dalam Sahih Al-Bukhari karena sanadnya bersambung maka hadisnya dinilai sahih.

Sedang dicantumkannya sanad “Uqail – Al-Zuhri – Urwah – Nabi” atau yang semisal dengan itu dalam Sahih Al-Bukhari, hal itu dimaksudkan sebagai pembuktian (istisyhad) bahwa hadis yang diriwayatkan itu diriwayatkan pula oleh penulis hadis lain dengan sanad yang lain pula. Periwayatan semacam ini dalam ilmu hadis dikenal sebagai hadis syahid atau hadis mutabi’.

Kritik Pribadi Rawi

Sejumlah ahli-ahli hadis menyoroti beberapa nama rawi yang terdapat dalam Sahih Al-Bukhari. Menurut mereka, rawi-rawi itu tidak memenuhi persyaratan sebagai rawi yang diterima hadisnya. Menyanggah tuduhan itu Ibnu Hajar menegaskan bahwa hal itu tidak dapat diterima kecuali apabila rawi-rawi itu terbukti dengan jelas mempunyai sifat-sifat dan/ melakukan hal-hal yang dapat menyebabkan hadisnya ditolak. Dan ternyata setelah diteliti dengan cermat, tidak ada satu rawi pun dalam Sahih Al-Bukhari yang mempunyai sifat-sifat dan/ melakukan perbuatan seperti itu.

Faktor-faktor yang menyebabkan seorang rawi ditolak hadisnya – dalam ilmu hadis disebut “asbab al-jarh” – berkisar pada lima masalah, yaitu ghalt (rawi sering keliru dalam meriwayatkan hadis), jahalah al-hal (rawi tidak diketahui identitasnya), mukhalafah (hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi berlawanan maksudnya dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang lebih dapat dipercaya dari rawi pertama), bid’ah (rawi melakukan perbuatan dan/ mempunyai keyakinan yang dapat menyebabkan dirinya kafir), dan da’wa al-inqita fi al-sanad (rawi dituduh menyebutkan sanad yang tidak bersambung). Kelima masalah ini tidak terdapat pada pribadi rawi yang terdapat dalam Sahih Al-Bukhari.

Contoh: Pertama, Usamah bin Hafsh al-Madani.

Menurut Al-Azdi, Usamah lemah hadisnya, dan menurut Abu Al-Qasim Al-Lalkai, ‘Usamah tidak dikenal identitasnya’. Dalam Sahih Al-Bukhari ada satu hadis yang diriwayatkan dari Usamah yaitu dalam kitab Al-Dzabaih. Ibnu Hajar pernah membaca dalam buku Mizan Al-I’tidal yang ditulis oleh tangan pengarangnya sendiri, yaitu Imam Al-Dzahabi, bahwa Usamah dikenal identitasnya. Imam-imam hadis yang empat juga meriwayatkan hadis dari Usamah.

Jelaslah di sini bahwa tuduhan tidak dikenal identitasnya (jahalah atau majhul al-hal) hanya berdasarkan kriteria majhul sejumlah tokoh hadis yang justru kurang memperoleh pengakuan ilmiah, dibanding misalnya dengan Al-Dzahabi. Karena itu, penilaian Al-Dzahabi tentang Usamah lebih diunggulkan daripada penilaian Al-Laikai. Apalagi bila ditambahkan bahwa Imam yang empat juga meriwayatkan hadisnya.

Kedua, Ahmad bin Yazid bin Ibrahim Al-Harani

Menurut Abu Hatim, Ahmad bin Yazid lemah hadisnya. Dalam Sahih Al-Bukhari terdapat satu hadis yang diriwayatkan dari Ahmad bin Yazid, tepatnya dalam kitab Alamat Al-Nubuwah. Tetapi kehadiran hadis ini sebagai mutabi’, yang fungsinya sudah disinggung di muka. Memang Abu Hatim adalah tokoh politikus hadis terkemuka, namun hadis mutabi’ ini meskipun dha’if tidak dapat mengurangi keotentikan hadis pokok yang ditulis oleh Imam Bukhari.

Dari contoh-contoh di muka dapat ditarik kesimpulan bahwa kritik-kritik terhadap hadis Bukhari pada masa lalu, baik yang ditujukan kepada sanad atau pribadi rawi tidak dapat mengurangi derajat atau nilai keotentikan hadis-hadis Bukhari. Sebab kritik-kritik itu bertolak dari kaidah-kaidah yang justru lemah menurut mayoritas ahli-ahli hadis, di samping hadis-hadis yang dikritik itu adalah hadis-hadis mutabi’  yang pencantumannya dalam Sahih Al-Bukhari tidak dimaksudkan sebagai hadis pokok.

Karena itu tepat sekali komentar kritikus terkemuka masa kini, Syekh Ahmad Syakir yang mengatakan bahwa seluruh hadis-hadis Bukhari dan Muslim adalah sahih. Adapun kritikan yang datang dari Al-Daruqutni dan lain-lain, itu hanyalah karena beberapa hadis Bukhari dan Muslim itu tidak memenuhi persyaratan masing-masing kedua tokoh hadis itu. Namun apabila hadis-hadis itu dikembalikan kepada persyaratan ahli-ahli hadis pada umumnya, maka semuanya sahih.

Referensi: Lamhat fi Ushul Al-Hadits karya M. Adib Shalih, Hady Al-Sari dan Fath Al-Bari karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Dikutip dari tulisan Prof. Ali Mustafa Yaqub.

Wallahu A'lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 18 Februari 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar