Kisah Teladan Amplop Habib Luthfi Bin Yahya

 
Kisah Teladan Amplop Habib Luthfi Bin Yahya

LADUNI.ID - Ada sebuah peristiwa yang sampai saat ini masih saja membekas dalam ingatan tentang Habib Luthfi Bin Yahya. Malam itu, ketika aku duduk berdesak-desak dengan para tetamu yang memenuhi ruangan itu, tiba-tiba beliau menunjukkan kepada semua yang hadir itu sesuatu yang di luar dugaan. Manakala beberapa orang tamu dari berbagai daerah itu tengah menyampaikan keluh kesah mereka, tanpa malu-malu beliau membuka amplop yang bertebaran di atas meja. Dikeluarkan isinya. Lalu ditumpuk di atas meja.

Mula-mula, aku merasa tak nyaman dengan pemandangan itu. Sebab, isi amplop itu semuanya lembaran uang. Ada yang berwarna merah, ada pula yang berwarna biru. Semua uang itu tak lain berasal dari pemberian secara cuma-cuma dari para tetamu. Itulah yang membuatku agak risih. Rasanya kok seperti kurang etis jika hal itu dilakukan di hadapan para tamu yang ada di situ.

Semua isi amplop itu dikeluarkan. Tanpa satu pun tertinggal. Tak dihitung memang oleh Habib Luthfi. Tetapi, kalau aku perkirakan, bisa jadi itu jumlahnya sudah mencapai angka jutaan.

Setelah semua isi amplop itu dikeluarkan, beliau memasukkan tumpukan uang itu ke dalam satu amplop yang ukurannya cukup besar. Lalu, tiba-tiba memanggil salah seorang perempuan, seorang ibu yang masih muda untuk mendekat. Ibu itu awalnya duduk di pojokan.

“Nduk, sini Nduk,” ucap Habib Luthfi.

Perempuan itu pun agak malu-malu untuk maju ke depan, mendekati beliau. Tampilannya sederhana. Sangat sederhana. Menunjukkan kalau perempuan ini dari kalangan masyarakat biasa. Mungkin dari keluarga yang kurang beruntung nasibnya.

“Sampeyan rene karo sapa? (Anda ke sini sama siapa?)” tanya Habib Luthfi.

“Kaliyan lare, Bah (Bersama anakku),” jawab perempuan itu agak malu dan penuh hormat.

Habib Luthfi pun segera mengedarkan pandangan, mencari anak dari perempuan itu, “Ndi? Ndi anakmu? Gawa rene (Yang mana anakmu? Bawa ke sini),” pinta Habib Luthfi.

Entah senang atau bagaimana, reaksi perempuan itu langsung bergegas ke belakang lagi. Ke tempat duduknya semula. Tetapi, sebelum perempuan ini beringsut, beliau langsung bilang, “Sampeyan ora usah rono maneh. Ngger kene bae. Ben anake sampeyan sing mrene, ya? (Anda tak perlu ke sana lagi. Di sini saja. Biarkan anakmu yang ke sini),” ucap Habib Luthfi sambil tersenyum.

Dari belakang terdengar beberapa orang menyampaikan pada Habib Luthfi jika anak dari perempuan itu tertidur. “Wis ra kaiki. Ben. Nek wis turu ora usah digugah, melas. (Sudah tak apa. Biarkan. Kalau sudah tidur tak perlu dibangunkan, kasihan),” kata Habib Luthfi.

Tak berselang lama, anak dari perempuan itu terbangun. Lalu segera diberi jalan oleh para tetamu untuk mendekat Habib Luthfi. Perempuan itu pun segera menyambut anak perempuannya. Segera pula ia memeluknya.

“Nah iki wis tangi dhewe. Sampun maem durung? (Nah kan, bangun sendiri. Sudah makan belum?),” tanya beliau.

Gadis kecil itu mengangguk.

“Wis? Temenan wis? (Sudah? Beneran sudah?),” tanya Habib Luthfi memastikan.

“Sampun wau, Bah (Sudah tadi),” jawab si Ibu.

“Oh ya wis (Oh ya sudah)...” ucap Habib Luthfi. “Nggonmu iseh kena rob? (Rumahmu masih terkena air rob?)” tanya beliau kemudian.

Si Ibu muda ini menjawab, “Takseh, Bah. Malah sakniki saya parah. (Masih, Bah. Malah sekarang makin parah),” jawab si Ibu itu.

“Lha sampeyan yen turu piye? Terus kerjaane piye? (Lha kalau tidur bagaimana? Kerjanya bagaimana?)” tanya Habib Luthfi.

Perempuan itu menjawab, “Nggih, susah, Bah. Kerjaan ugi susah.”

Tampak tatapan Habib Luthfi menaruh empati yang amat mendalam. Amplop yang ada pada genggaman beliau, seketika itu diberikan kepada Ibu muda itu. “Iki nggo nempur beras karo nggo nyukupi kebutuhanmu ya, Nduk. (Ini untuk membeli beras dan kebutuhan lainnya ya, Nduk). Nggonen sing bener lan sing pas karo kebutuhanmu,” kata beliau kemudian.

Perempuan itu terkejut. Ia tak menyangka akan menerima pemberian yang demikian besar dan sangat berarti bagi dirinya dan keluarganya. Ia pun membungkukkan badan berkali-kali, sambil mengucapkan terimakasih kepada Habib Luthfi.

“Iki dudu saka aku. Ning iki saka kabeh sing ning kene. Insya Allah, kabeh ikhlas. (Ini bukan dari saya. Melainkan dari semua yang ada di sini. Insyaallah semua ikhlas.) Wis ya... ditrima ya, Nduk?” kata Habib Luthfi.

“Nggih, Bah. Maturnuwun...”

“Wis ya... iki wis bengi. Melaske anakmu. Saiki sampeyan luwih becik mulih omah. Ben anakmu sesuk ora kawanan tangine. Sampeyan rene mau diterke bojone sampeyan? (Sudah... ini sudah larut. Kasihan anakmu. Sekarang lebih baik pulang ke rumah agar anakmu tidak kesiangan. Anda ke sini diantar suami?” tanya Habib Luthfi.

“Nggih, Bah. Wau dianter garwa kula nitih becak (Ya, Bah. Tadi diantar suami dengan becaknya)” jawab si Ibu muda itu.

“Lha saiki ning ndi bojomu? (Sekarang di mana suamimu?)”

“Narik becak malih Bah. Sanjange wau wonten sing nyuwun dianter becak (Narik lagi, Bah. Katanya ada orang yang menumpang)” jawab si Ibu muda itu.

“Nek ngono ben diter nganggo mobil wae. Mengko ben sopir sing ngeter Sampeyan mulih. Karo iki, jajan iki digawa ya, (Kalau begitu biar diantar mobil saja. Nanti ada sopir yang mengantar pulang. Dan ini, jajan-jajan ini dibawa pulang ya),” kata Habib Luthfi.

Perempuan itu memperlihatkan roman wajah antara senang dan bingung. Senang, karena malam itu ia mendapatkan pemberian yang luar biasa banyaknya dari beliau. Bingung, karena ia tidak tahu caranya membawa semua pemberian itu. Ada roti satu kaleng besar. Ada makanan lainnya yang berkaleng-kaleng. Ada yang kardusan pula. Semuanya diberikan beliau untuk si ibu muda ini.

Habib Luthfi pun segera memanggil sopir dan memintanya agar membantu membawakan semua barang yang dibawa pulang. Semuanya. Beliau juga berpesan agar sopir mengantarkan sampai depan rumah. Jangan hanya berhenti di tepi jalan.

Setelah peristiwa itu, semua tamu yang hadir malam itu sejenak melongo. Terbengong dengan ulah beliau. Tak berselang jeda yang lama, beliau baru katakan sebuah pesan yang amat mendalam, “Pengorbanan ibu tadi sungguh luar biasa. Ia rela datang ke sini dengan membawa seabreg kebingungan atas nasibnya. Ibu itu korban rob. Hidupnya pas-pasan. Dan tidak hanya ia saja yang mengalami nasib begitu. Ada banyak. Merekalah yang sesungguhnya berhak untuk kita bantu. Ngenes kalau lihat nasib bangsa ini. Sebab, masih banyak orang-orang yang seperti ibu itu.”

Sejenak kemudian, Habib Luthfi terdiam. Seketika itu pula, aku menyaksikan sebuah peristiwa yang membuatku keliru menafsirkan apa yang beliau lakukan. Ya, semula aku berprasangka buruk terhadap tindakan beliau yang mengeluarkan semua isi amplop itu dan meletakkannya di atas meja. Tetapi, prasangka buruk itu kemudian menjadi keliru ketika seluruh uang yang dikeluarkan dari lembar-lembar amplop itu diberikan kepada seorang ibu muda yang dalam kesusahan. Betapa dangkalnya nalarku ini. Oh! Rasanya malu dan teramat malu semalu-malunya.

Betapa tidak, beliau yang sudah memiliki nama besar pun tak segan untuk melayani orang-orang kecil. Bahkan bisa lebih mendahulukan mereka ketimbang tamu-tamu lain yang tampak lebih berkelas. Beliau juga tak sungkan-sungkan untuk mengingatkan siapapun yang hadir di situ, ada kiai, santri, dan orang-orang yang paham agama sekalipun tanpa kata-kata yang berbusa. Langsung melalui tindakan yang boleh dibilang tindakan itu seperti sebuah tamparan keras buat semua tetamu.

Ya, begitulah beliau. Semoga Abah Habib Luthfi Bin Yahya senantiasa diberikan kesehatan dan kekuatan lahir batin dan panjang umur. Amin.