Money Politics Berdosa  Berlipat Ganda

 
Money Politics Berdosa  Berlipat Ganda

 

LADUNI. ID, KOLOM- Praktek dari Money Politics dalam pemilu sangat beragam. Diantara bentuk-bentuk kegiatan yang dianggap politik uang antara lain: a) distribusi sumbangan baik berupa barang atau uang kepada para kader partai, penggembira, golongan atau kelompok tertentu, b) pemberian sumbangan dari konglomerat atau pengusaha bagi kepentingan partai politik tertentu, dengan konsesi-konsesi yang ilegal, c) penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk kepentingan dan atau mengundang simpati bagi partai poltik tertentu, misalnya penyalahgunaan dana JPS atau penyalahgunaan kredit murah KUT dan lain-lain.

Dari sisi waktunya, praktik Money Politics di negara ini dapat dikelompokkan menjadi dua tahapan yakni pra pemungutan. Pada pra pemungutan suara mulai dari seleksi administrasi, masa kampanye, masa tenang dan menjelang pemungutan. Sasarannya adalah para pemilih, terutama mereka yang masih mudah untuk dipengaruhi.

Untuk tahap kedua adalah setelah pemungutan, yakni menjelang Sidang Umum DPR atau pada masa sidang tersebut. Sasarannya adalah kalangan elit politik. Di tangan mereka kedaulatan rakyat berada. Mereka memiliki wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan strategis. (Juliansyah, Elvi. 2007. PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.)

Sebenarnya kalau kita mau menganalisa dari kedua tahapan praktik tersebut, bahwa praktik politik uang dengan sasaran the voters, pemilih atau rakyat secara umum akan sangat sulit diukur keberhasilannya. Karena disamping medannya sangat luas juga banyaknya jumlah pemilih. Apakah rakyat yang mencicipi uang benar-benar mau mencontreng tanda gambar parpol yang telah memberikan uang atau mereka ’berkhiatan’.

Hal ini karena dalam masyarakat telah berkembang pemahaman bahwa pemilu bukan saja pesta demokrasi, tapi juga pesta bagi-bagi uang. Adapun keberhasilan praktik Money Politics pada tahapan yang kedua lebih dapat diprediksi ketimbang pada tahap yang pertama.

Sebab sasaran yang kedua adalah elit politik yang akan mengambil keputusan penting bagi perjalanan pemerintahan. Namun kalau pemilihan dilakukan dengan voting tertutup, keberhasilan rekayasa tersebut semakin sulit, terutama jika pelaku Money Politics tersebut dinyatakan kalah dalam pemilihan.

Dengan demikian para ’pengkhianat’ sulit dilacak. Demikian eratnya hubungan uang dengan politik, sehingga jika Money Politics tetap merajalela niscaya parpol yang potensial melakukan praktik tersebut hanya partai yang memiliki dana besar. Berapapun besarnya jumlah dana yang dikeluarkan, keuntungan yang diperoleh tetap akan jauh lebih besar.

Sebab pihak yang diuntungkan dalam praktik Money Politics adalah pihak pemberi, karena dia akan memperoleh dukungan dan kekuasaan politik yang harganya tidak ternilai. Adapun yang dirugikan adalah rakyat. Karena ketika parpol tersebut berkesempatan untuk memerintah, maka ia akan mengambil suatu kebijakan yang lebih menguntungkan pihak penyumbangnya, kelompoknya daripada interest public.(Money politic dalam praktek penyelenggaraan pemilihan umumdi Indonesia, 2012).

Beranjak dari itu, mari bersama kita berusaha di pesta demokrasi tahun ini, untuk berkampanye baik diri sendiri, keluarga juga orang lain bebas dari praktek menyimpang money politik, melakoni perbuatan ini bukan hanya menyimpang dari hukum negara ini juga syariat melarangnya, kita secara tidak langsung melakukan money politik telah melakukan dua dosa, kesalahan dengan pemerintah juga berdosa dengan syariat islam.

Masihkah kita ingin menukarkan agama dan negara ini dengan kepuasan nafsu sesa’at dengan secarcik berlembarkan rupiah?

***Helmi Abu Bakar El-langkawi, Relawan Demokrasi KIP Pidie Jaya