Ghairu NU : Keliru dalam Seteru

 
Ghairu NU : Keliru dalam Seteru

LADUNI,.ID - Munas NU hajatan organisasi NU sebelum forum Muktamar. Munas NU setingkat dengan Tanwir di Muhammadiyah. Hajatan ini sudah berkali-kali diselenggarakan. Sebagai organisasi masyarakat (ormas) terbesar di Indonesia, giat dan geliat NU selalu menjadi sorotan publik. Semua pihak menyadari  resonansi gerakan NU sangat berpengaruh kepada kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil Munas NU ditujukan kepada warga NU sendiri di samping sejumlah rekomendasi-rekomendasi kepada pemerintah. Mungkin karena saking banyaknya warga NU dan besarnya proporsi jamaah NU diantara ormas yang lain di tengah masyarakat, maka hasil Munas NU seolah-olah mengikat seluruh warga masyarakat, NU dan ghairu NU. 

Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad dan ormas Islam saudara tua NU adem ayem saja. Mereka mengerti Munas NU acara internal NU. Mereka juga punya acara-acara besar internal seperti Munas NU. Saudara-saudara tua NU tersebut tidak banyak komentar. Mereka santai saja. Mereka sibuk dengan agenda masing-masing ketimbang mengomentari Munas NU. Lain halnya dengan ormas-ormas baru yang lahir di masa reformasi. FPI, HTI dan PA 212 yang paling keras seterunya dengan NU. Melalui komentar-komentar ustadz mereka, tampak kebencian yang luar biasa. Dari sekian banyak hasil Munas NU 2019, masalah ghairul muslim sebagai al-muwathin mereka ributkan. Tak jadi soal, belum paham maksud ghairu muslim, yang penting bully dulu. Hal yang demikian tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang muslim.

Akibatnya mereka keliru memahami maksud NU. Mereka semua senada bahwa NU mau menghapus kata kafir. Ada yang ngomong NU mau mengamandemen al-Qur’an. Ada juga yang dengan percacay diri berkomentar, menghilangkan kata kafir dapat mendangkalkan aqidah. Yang paling mengenaskan ada ulama yang ketahuan tidak bisa tashrif gara-gara mengkritisi hasil bahtsul masail NU. Tudingan NU mau menghapus kata kafir, tudingan yang jauh panggang dari api. Tudingan itu sama sekali tidak benar. Nafsu berseteru membuat mereka gagal total memahami konsep ghairu muslim al-muwathin. Mereka kelihatan jauh dari kesan berilmu. 

Sebagaimana hasil bahtsul masa’il Munas NU 2019 tentang kewarganegaraan dinyatakan bahwa: 1). Pembahasan mengenai konsep negara bangsa masuk dalam kategori fikih siyasah sedangkan bidang siyasah masuk bagian kajian fikih mu’amalah. Dan dalam hal muamalat ini berlaku kaidah al-ashlu fil mu’amalah al-ibahah. Dengan demikian selama tidak dalil yang melarang maka dianggap sah. Karena al-‘ilmu bi ‘adamid dalil dalil. 2). Status non-Muslim dalam negara bangsa adalah warga negara (muwathin/ non-muslim silmi) yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan warga negara yang lain. Mereka tidak masuk dalam kategori-kategori kafir yang ada dalam fikih klasik, yakni mu’ahad, musta`man, dzimmi, dan harbi. 3). Produk UU atau kebijakan negara yang lahir dari proses politik moderen adalah bagian dari kesepakatan anak bangsa, jika produk tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam maka bersifat mengikat (mulzim syar’i) dan wajib ditaati. Sebaliknya jika bertentangan dengan nilai-nilai Islam maka umat Islam perlu meluruskannya dengan cara-cara konstitusional. Dan tidak boleh dijadikan alasan untuk melawan pemerintah yang sah.   4). Merujuk rekomendasi Muktamar NU ke-32 di Makassar sikap NU adalah memperjuangkan perdamaiaan. 

Sudah sangat jelas konteks istilah ghairu muslim adalah dalam hal fiqih siyasah, bukan aqidah seperti yang dipahami ghairu NU. Seandainya dalam konteks aqidah, frase ghairu mu’min yang lebih tepat. Frase ghairu mu’min sendiri termaktub di dalam kitab-kitab turats. Dan sudah sangat terang benderang juga NU tidak bermaksud menghapus (delete) kata kafir dalam al-Qur’an. NU justru ingin mengembalikan makna kafir ke konteks aqidah setelah makna ini bernuansa politik akibat dakwah kaum radikal. Kaum radikal yang kini bersembunyi bersama barisan seteru NU, sangat dirugikan oleh hasil Munas NU ini karena wacana takfiri yang mereka lancarkan jadi termentahkan. 

‘Ala kulli hal, ada baiknya diskusi kita lanjutkan demi membuka cakrawala baru pemikiran politik Islam kita seputar kewarganegaraan. Minimal untuk menambah wawasan kita tentang isu kontemporer di fiqih siyasah. Karena ini fiqih maka sangat terbuka untuk berbeda pendapat, yang penting punya dasar agar bisa diterima orang lain. Negara dan warga negara ibarat dua sisi dari satu keeping mata uang. Negara ada karena ada warga negara, warga negara ada karena ada negara. Negara dan warga negara ada karena ada kepala negara, wilayah negara dan aturan negara. Negara merupakan organisasi politik terbesar yang dibuat oleh warga negara. Negara dan warga negara terhubung oleh hak dan kewajiban politik.   

Merujuk ke sirah Nabi saw, ada dua negara darul hijrah yang umat Islam boleh tinggal di dalamnya yakni negara Habasyah darul hijrah pertama yang dipimpin oleh raja Najasyi dan negara Madinah darul hijrah kedua yang dipimpin Nabi saw. Negara Habasyah sebuah kerajaan Kristen Nestorian yang dipimpin seorang Najasyi dengan penasehat uskup-uskup. Negara Habasyah merupakan sekutu kekaisaran Romawi Katolik yang ada di Afrika tenggara. Jelas negara Habasyah termasuk darul kufur karena tidak menerapkan hukum Islam dan keamanan muhajirin di sana di tangan penguasa Kristen.

Tentang negara Habasyah Beliau saw berkata: “Kalau kalian pergi ke negara Habasyah niscaya kalian di sana akan bertemu dengan seorang raja yang tidak pernah berbuat zalim dengan siapapun. Habasyah adalah negara penuh kebaikan, sehingga di sana Allah membuat untuk kalian kelapangan atas kenyataan yang kalian hadapi”. (M. Rawwas Qol’ahji 2017 : 75).

Pada bulan Rajab tahun kelima kenabian untuk pertama kalinya sejumlah sahabat hijrah ke Habasyah. Rombongan terdiri atas 12 lelaki dan 4 perempuan. Pemimpinnya Utsman bin Affan, yang didampingi oleh istrinya, Ruqayyah putri Rasulullah. Beliau bersabda kepada keduanya, “mereka berdua adalah ahlul bait pertama yang hijrah di jalan Allah setelah Ibrahim dan Luth.” (Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, 2016: 118; Zadul Ma’ad 1/24). Hijrah kedua laki-laki 83 orang perempuan 18/19 orang (Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, 2016 : 120).

Para sahabat di sana adalah orang-orang yang mendapat perlindungan atau disebut orang-orang yang mendapat suaka politik. Mereka bukan warga negara kerajaan Habasyah. Para sahabat di sana berstatus sebagai muslim ghairu al-muwathin. Karena itu mereka tidak terlibat membantu raja Najasyi ketika krisis politik berupa pemberontakan yang ingin mengulingkan kekuasaannya. Dari fakta sejarah ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa seorang muslim boleh tinggal dan mendapat suaka politik di negara non Islam asal pemimpinnya seorang yang adil dan bisa melindungi mereka. Ini tipe terendah dari negara yang boleh didiami oleh umat Islam. 

Sedangkan tipe negara tertinggi (terideal) adalah negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad saw.  Namun umat Islam tidak mungkin lagi bisa hidup di negara yang dipimpin seorang Nabi. Yang masih mungkin bagi umat Islam hidup di negara Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwah yang pertama selama 30 tahun telat berlalu. Tinggal Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah kedua yang dipimpin oleh Imam Mahdi. Artinya rentang model negara yang ada dalam sejarah umat Islam: dari negara non Islam Habasyah sampai negara Nubuwwah di Madinah. 

Di negara Madinah sudah ada realitas ghairu muslim al-muwathin yang terdiri dari kaum Yahudi dan musyrikin. Dalam konstitusi negara Madinah atau Piagam Madinah pasal 24 Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan; Pasal 25 Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga; 

Pasal 37 Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) bantu membantu dalam menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya; Pasal 38 Kaum Yahudi memikul bersama mukiminin selama dalam peperangan; Pasal 39 Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya haram (suci) bagi warga piagam ini. (Wikipedia).

Menunjukkan bahwa kaum Yahudi dan mukminin berbeda aqidah tetapi satu kewarganegaraan. Mereka mempunyai hak dan kewajiban politik yang sama. Mereka sama-sama wajib militer.  Mereka  menanggung biaya bersama mukminin, biaya tersebut bukan jizyah karena mukminin tidak dikenakan jizyah dan ayat 29 surat At-Taubah yang berisi perintah mengambil jizyah kepada ahlu kitab baru turun 9 tahun kemudian. Status kaum Yahudi di Madinah bukan ahlu dzimmah. Mereka ghairu muslim al-muwathin. 

Rasulullah saw menggunakan kata “mukminin” tetapi tidak menggunakan lawan katanya “kafirin” untuk kaum Yahudi padahal beliau saw tahu kaum Yahudi (ahlu kitab) itu kafir. Apakah dengan demikian Rasulullah saw hendak menghapus kata “kafir” dalam al-Qur’an?! Inilah hukum asal non muslim pribumi sebagai warga negara. Kaum Yahudi di kemudian hari kehilangan kewarganegaraan setelah mereka melanggar konstitusi Piagam Madinah dengan bersekongkol untuk menghancurkan negara. Hal yang sama dialami kaum muslim Khawarij di masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
 
Fakta non muslim di Indonesia sama seperti kaum Yahudi di Madinah, mereka adalah pribumi. Mereka bagian integral dari negara sejak dari awal pendiriannya. Inilah dasar konsep ghairu muslim al-muwathin dan tidak digunakannya kata “kafir” di Indonesia. Seperti kaum Yahudi di Madinah, non muslim di Indonesia bukan ahlu dzimmah apalagi kafir harbi, mu’ahid dan musta’man. Status ahlu dzimmah, mu’ahid dan musta’man muncul setelah adanya penaklukan negara asal ke wilayah pendudukan baik dengan militer maupun diplomasi politik. Pada kenyataannya non muslim pribumi di Indonesia bukan warga negara pendudukan (kharajiah) yang meminta suaka politik dengan kompensasi membayar jizyah. Mereka asli orang Indonesia yang tunduk, patuh dan loyal kepada NKRI. 

Dengan demikian apa yang ditetapkan NU pada Munas di Banjar lalu sebenarnya punya landasan yang kokoh dengan pemahaman fakta yang akurat. NU dalam hal ini meneladani Rasulullah Muhammad saw dalam mengatur warga negaranya. Kekeliruan ghairu NU dalam menanggapi hasil Munas NU tentang non Muslim bukan kafir tapi warga negara tidak seharusnya jika mereka menganggap NU sebagai saudara bukan seteru. 

Oleh: Ayik Heriansyah
Pengurus LD PWNU Jabar

 

 

Tags