Hikayat dalam Peradaban Islam Nusantara

 
Hikayat dalam Peradaban Islam Nusantara

Genealogi Hikayat

Kata hikayat berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah diterjemahkan menjadi cerita atau kisah, berkaitan erat dengan kisah pahlawan bangsa Melayu atau lebih khusus tentang kisah yang terjadi di istana dan silsilah para Sultan Melayu. (Wagner, 1959: 246). Hikayat merupakan karya sastra yang berkaitan atau yang menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan suatu kesultanan atau suatu daerah seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Hikayat Aceh (Raja Noor, 1972: 18). Dalam khazanah literatur Melayu, hikayat merupakan karya sastra sejarah Melayu klasik. Sebagai sastra sejarah Melayu klasik, hikayat menjadi catatan penting setiap kerajaan Melayu di Nusantara. Umumnya hikayat menceritakan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi di istana dan beberapa keturunan raja yang menjadi pusat kajiannya. Dalam sastra sejarah Melayu, banyak dijumpai beberapa hikayat sebagai kata pertama dalam karya sastra sejarah selain juga menggunakan kata silsilah dan tambo, seperti Hikayat Melayu, Hikayat Siak, Hikayat Merong Mahawangsa, Silsilah Melayu dan Tambo Minangkabau. (Teng, 2015: 51-52).

Latar sejarah munculnya hikayat tidak bisa dilepaskan dari  suatu  tradisi  lama  yang kebanyakan merupakan tradisi lisan (oral tradition) sehingga para pujangga diberi perintah  dan  tugas  oleh  sultan  untuk menghasilkan karya-karya sejarah. Sebagaimana sultan memerintah Tun Sri Lanang menulis kembali catatan sejarah mengenai peraturan raja-raja Melayu dengan segala adat-istiadatnya supaya kelak diketahui oleh anak cucu di masa mendatang. Dalam hal ini, hikayat menjadi salah satu karya sejarah yang ditulis atau dikarang oleh orang-orang yang dekat dengan raja-raja yang memerintah (Raja Noor, 1972: 18).

Selaras dengan pandangan Norazimah Bt Zakaria (2011: 2), dalam Hikayat Melayu diuraikan tentang keturunan raja-raja Melayu yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan raja-raja Siak. Hikayat Melayu sarat dengan unsur sastra yang juga berkaitan erat dengan unsur sejarah Siak. Sebagai sebuah teks sastra sejarah, Hikayat Melayu ditulis dengan tujuan tertentu yakni untuk memuji dan mengagungkan kehebatan sang raja supaya kelak diketahui oleh anak cucu sebagaimana yang termaktub pada bagian mukadimah mengenai cerita Raja Iskandar Zulkarnain yang ditulis pada 24 Juli tahun 1893” (Hikayat Melayu. 1998: 1).

Hikayat dalam Historiograft Islam Nusantara

Historiografi Islam di Nusantara mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan historiografi lokal di Indonesia. Historiografi tersebut dimulai dengan munculnya corak historiografi tradisional. Sedangkan corak historiografi awal Islam di Nusantara lebih ditekankan kepada periode dan gambaran mengenai peran pahlawan  dan sultan dalam dinamika kebangkitan dan kemunduran kesultanan Islam di Kepulauan Nusantara. Sementara Rosenthal dalam melacak historiografi Islam awal di Nusantara melihat bahwa bentuk dasar historiografi Islam adalah karya sastra klasik yang isinya banyak menyebutkan istilah-istilah kepada narasi tertentu seperti haba, hikayat, kisah, dan tambo yang berasal dari bahasa Arab. Argumen ini didukung Hamka dalam melakukan penulisan sejarah yang bahannya diambil dari sumber lokal meskipun bercampur dengan mitos dan legenda, seperti Hikayat Raja-Raja Pasai, dan Sejarah Melayu yang menjelaskan interaksi langsung antara Nusantara dengan Arab. Adanya karangan klasik seperti haba (kata diambil dari bahasa Aceh yang berarti Khabar), hikayat, kisah, dan tambo inilah yang oleh Rossenthal disebut dapat dijadikan bahan penting dalam studi karya historiografi Islam, sehingga akan terbentuk suatu horizon baru dalam penulisan sejarah Islam yang lebih banyak berpijak pada bumi sendiri dalam pengembangan keahlian dan pengetahuan sejarah Islam yang dilakukan oleh penulis- penulis Islam sendiri (Yakub, 2013: 160-161).

Sebagaimana teks Sejarah Melayu oleh Tun Seri Lanang, teks Tuhfat Al Nafis oleh Raja Ali Haji, Hikayat Merong Mahawangsa yang disalin oleh Muhammad Yusuf bin Nasruddin termasuk Silsilah  Raja-Raja Melayu dan Bugis ditulis oleh Raja Ali Haji, dan Hikayat Melayu ditulis oleh Tengku Said. Hampir semua teks sastra sejarah termasuk hikayat  memperlihatkan  gaya  penulisan sastra yang masih bercampur antara  mitos  dan legenda. Dalam Hikayat Melayu misalnya, unsur tersebut terlihat pada halaman satu (1) sampai halaman empat ratus dua (402). Halaman seterusnya memperlihatkan mitos dan legenda yang menyatu dengan realitas masyarakat pada masa itu. Sebagai sebuah teks sastra sejarah, Hikayat Melayu mempunyai gaya bahasa sastra yang menarik dan mudah dipahami sehingga tetap menjadi salah satu rujukan dalam historiografi Islam Nusantara (Bt Zakaria, 2011: 2)

Hikayat dalam historiografi Islam Nusantara merupakan sebuah karya intelektual Melayu yang monumental. Hikayat Abdullah, sebuah karya dari Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, banyak menekankan pentingnya bangsa Melayu memperjuangkan hak-haknya baik sosial maupun politik. Dalam karya ini pula penulisnya banyak mengkritik ideologi politik kerajaan yang telah membuat kekacauan karena raja-rajanya telah berbuat tiran dan tidak adil. Hikayat Abdullah merupakan salah satu karya intelektual Melayu yang menekankan pentingnya independensi bangsa Melayu. Dengan menonjolkan konsep individualisme yang dihadapkan dengan konsep kerajaan yang selama ini mendominasi kehidupan politik dunia Melayu. Hikayat Abdullah berupaya memantik kesadaran masyarakat Melayu sebagai komunitas politik yang memiliki hak-hak untuk dilibatkan dalam politik di dunia Melayu (Budiman, 2010: 2-3).

Menurut   Henri   Chambert-Loir (2014:105) selain beberapa hikayat yang identik dengan unsur Islam, ada jenis karya hikayat yang  belum  mengandung  unsur  Islam  seperti Hikayat Dewa Mendu. Sebuah karya epos Melayu yang dikarang sebelum masa kedatangan Islam. Selain merupakan karya sastra yang bermutu tinggi, sebanding dengan karya-karya sastra Melayu yang lain karya ini menarik dari segi filologi, karena unsur-unsur klasik yang khas masih tetap dipertahankan oleh para  penyalin  selanjutnya.  Hikayat Dewa Mendu dikenal melalui 15 naskah yang panjangnya bervariasi: paling tebal berjumlah 470 halaman. Karya ini berupa prosa yang diselingi pantun; dalam naskah yang paling banyak pantunnya, jumlahnya 237, sedangkan dalam naskah-naskah lain, jumlahnya hanya beberapa puluhan. Ke-15 naskah tersebut cukup baik terpelihara dan menggambarkan dengan baik cara karya-karya Melayu sampai tersebar di berbagai perpustakaan di Eropa dan di Indonesia (6 di Jakarta, 4 di London, 1 di Cambridge, 1 di Leiden, 1 di Brussels, dan 1 di Berlin).

Hikayat dalam historiografi Melayu selalu memperlihatkan keistimewaan seorang tokoh yang telah menjadi legenda pada masyarakat. Misalnya tokoh Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat (Sultan Iskandar Muda-Aceh) dalam Hikayat Aceh, Seri Sultan Iskandar Zulkarnainsyah Khalifatur Rahman Johan Berdaulat Zilullahi (Sultan Iskandarsyah- Perak) dalam Hikayat Melayu, Pengiran Bendahara Seri Maharaja Sekam (A wang Semaun-Berunai) dalam Silsilah Raja-Raja Brunei dan Gocah Pahlawan (Muhamad Dalikhan-Deli) dalam Hikayat Keturunan Raja Negeri Deli. Tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam historiografi Melayu tersebut masing- masing memperlihatkan keistimewaan asal-usul keturunannya. Dalam Hikayat Keturunan Raja Negeri Deli keistimewaan tokoh Gocah Pahlawan diperlihatkan mengungguli tokoh Iskandar Muda. Walaupun belum diketahui bagaimana keunggulan tokoh Gocah Pahlawan sebagai seorang tokoh legenda sejarah dari kesultanan Deli diperlihatkan, padahal dalam teks Hikayat Keturunan Raja Negeri Deli lebih menyoroti cerita kelegendaan Gocah Pahlawan tersebut (Kembaren, 2011: 15-16).

Hikayat dalam historiografi Nusantara juga muncul sebagai upaya mempertahankan tradisi yang banyak bersentuhan dengan kehidupan istana. Hoesein Djajadiningrat (dalam Ras, 1968: 13)  menyatakan bahwa di mana pun ada kerajaan atau kesultanan, pasti ada semacam upaya pelanggengan tradisi sejarah. Sebagian tradisi  tertulis  telah diterbitkan, atau dalam sebagian kasus sinopsisnya diterbitkan dalam bahasa kolonial. Isi tradisi lokal ini biasanyaberisi kegemilangan atau kejayaan seorang raja. Selain itu, isinya juga bisa berupa asal-usul kerajaan tertentu. Beberapa fakta dibangun berdasarkan sumber lain yang kadang-kadang bisa ditemukan melalui jejak-jejak kecil peristiwa tertentu dalam sejarah Melayu. Akan tetapi dalam kasus semacam ini orang juga bisa kehilangan sejarah yang dicarinya (Hermawan, 2003: 4).

Dalamkaitanini, A. Teeuwdan Situmorang (dalam Ras, 1968: 25-16) menyatakan bahwa teks sejarah klasik seperti hikayat sebaiknya tidak dianggap sama dengan teks sejarah yang ditulis pada abad ke-20. Hal ini mengingat fakta bahwa sejarah Melayu bisa saja telah ditulis berulang kali. Dengan pandangan ini perlu ditekankan untuk mencoba mengisolir “lapis-lapis” atau strata kompisisi dari zaman yang berbeda. Selain itu juga perlu diingat bahwa teks-teks sejarah Melayu klasik harus dipandang sebagai dokumen fungsional, yang ditulis bukan untuk tujuan memberikan pertimbangan sejarah, tetapi disusun demi kepentingan sang raja atau dinasti yang memilikinya. Episode historis ini dengan mudah mengatur silsilah dan raja-raja yang diidentifikasi dengan figur-figur epik tertentu. Teeuw memberikan contoh misalnya fungsi penyair istana Jawa dengan peran utamanya sebagai pakar “sihir sastra”, yang tugasnya bukan untuk memberikan informasi faktual di dalam karyanya, melainkan mengupayakan tercapainya efek supranatural atau takhayul tertentu yang berguna baik bagi penguasa maupun kekuasaannya (Hermawan, 2003: 4-5).

Sebagaimana dalam teks Hikayat Melayu yang menceritakan hubungan politik Raja Kecil beserta keturunannya dengan kekuasaaan meliputi daerah Trengganu, seluruh kepulauan Riau-Lingga-Bentan, barat daya Borneo dan beberapa buah kerajaan kecil di pantai timur Sumatera dengan keluarga Bugis di Johor sebagai dua pihak Melayu yang saling bermusuhan sepanjang abad ke-18 dan awal abad ke-19. Hikayat Melayu dalam historiografi Nusantara mengalami tiga tahap perkembangan yakni zaman berdirinya kerajaan di Melaka yang diperintah oleh beberapa orang raja, mengalami tahapkejayaan danjugamengalamitahapkemunduran. Zaman kejayaan Mlaka dikaitkan dengan sikap raja- rajanya yang adil, dan tidak mendzalimi rakyat. Tahap kemunduran kerajaan Melaka terjadi akibat pembangkangan rakyat terhadap raja yang dirasakan tidak adil, kejam dan dzalim. Sultan Mahmud II yang dibunuh dikatakan telah meninggalkan pewaris yang sah di dalam teks Hikayat Melayu. Zaman setelah kejatuhan kesultanan Melayu Melaka diteruskan dengan zaman pemerintahan kerajaan Siak. Pemerintahan di Siak digambarkan oleh pengarang dengan beberapa peristiwa seperti terjadinya perang saudara, masuknya penjajah asing seperti Inggris dan Belanda, hubungan baik kerajaan dengan penjajah, monopoli perdagangan dan hasil bumi di Siak oleh penjajah serta raja yang menjalani kehidupan seperti rakyat biasa pada akhirnya turut memengaruhi keadaan sosial-politik di Siak. Berdasarkan ciri-ciri yang dijelaskan, maka teks Hikayat Melayu merupakan sebuah teks sastra sejarah. Justru, Tengku Said dalam tulisannya masih mempertahankan nilai yang ada dalam karya Hikayat Melayu dengan tetap merujuk pada karya legendaris yakni Sejarah Melayu dan meletakkan dirinya sebagai penulis yang tetap bersandar pada tradisi (Bt Zakaria, 2011: 12).
 
Senada dengan hal tersebut, Braginsky (1993) dalam karyanya The System of Classical Malay Literature membagi empat kategori atau tahap dalam penulisan karya-karya sastra sejarah Melayu. Tahap pertama, “myth of origin” atau mitos asal usul. Di antara karya yang termasuk dalam kategori ini, Salasilah Kutai dan Hikayat Banjar. Tahap kedua yang muncul sekitar tahun 1400-an hingga tahun 1600-an. Pada tahap ini, masih mempertahan “myth of origin”, tetapi sudah semakin berkurang, sedangkan nilai sejarah semakin diutamakan. Di antara karya yang dikategorikan dalam tahap kedua ini, Hikayat Raja Pasai, Sejarah Melayu dan Hikayat Patani. Pada tahap ketiga, unsur “myth of origin” hanya sedikit disinggung oleh pengarang karena karya-karya yang muncul lebih berkisar kepada “Panegyrical Chronicles” sekitar pada tahun 1700-an sampai 1800-an. Di antara contoh karya sastra dalam tahapan ketiga ini, Hikayat Aceh dan Misa Melayu. Pada tahap keempat “myth of origin” hampir sudah tidak muncul lagi, sebaliknya karya yang muncul lebih fokus pada aspek penulisan sejarah. Hikayat Johor dan Tuhfat al-Nafis yang dikarang sekitar tahun 1800-an sampai 1900- an merupakan contoh karya yang muncul dalam dunia penulisan Melayu (Kembaren, 2011: 1-2).

Signiftkansi Hikayat dalam Peradaban Islam Nusantara

Menurut Mardiah Mawar Kembaren, (2011: 1) hasil-hasil kesusastraan Melayu tradisional termasuk hikayat telah lama digunakan oleh peneliti asing dan peneliti lokal sebagai sumber penulisan sejarah. Beberapa sumber penulisan sejarah yang sering menjadi tumpuan para peneliti seperti Hikayat Raja- Raja Pasai, Hikayat Aceh, Hikayat Patani, Hikayat Siak dan sebagainya. Hal ini dikarenakan pada umumnya karya sastra bercorak sejarah mengandung sumber informasi masa lalu yang mempunyai nilai sejarah untuk mengetahui budaya masyarakat Melayu dan melihat lebih dekat silsilah-keturunan, falsafah serta pemikiran masyarakat Melayu. Ketertarikan terhadap beberapa hal tersebut menjadikan karya sastra sejarah lebih banyak diminati oleh para peneliti (Hashim, 1992: 15). Karya-karya tersebut juga kaya dengan rekaman peristiwa heroik tentang spirit nasionalisme masyarakat Melayu. Sehingga karya-karya dalam historiografi Melayu, termasuk hikayat, sejatinya telah membangun sebuah peradaban Islam khas Nusantara dengan segala lika-liku perjalanan sejarah. Hal ini terlihat melalui beberapa karya sastra sejarah yang mengisahkan tentang etnik pribumi Melayu yang berjuang menentang musuh(pihakpenjajah)demimempertahankan tanah air mereka. 

Pengalaman berabad-abad lamanya dikuasai penjajah menyediakan  satu ruang dan kesempatan kepada penulis- penulis masa silam untuk membangkitkan kesadaran kepada generasi mendatang tentang sejarah perjuangan leluhur mereka. Penentangan tersebut tumbuh sebagai bentuk sikap mencintai tanah air ataupun semangat kebanggaanterhadapbangsanya. Nasionalisme tersebut lahir dan bangkit sejak kedatangan kaum kolonial di Nusantara yang berawal dari kedatangan Portugis (seperti yang terangkum dalam Sulalatus Salatin), diikuti Belanda, Spanyol dan Inggris. Kekuasaan kaum kolonial dan imperialis telah melahirkan konflik  yang berkepanjangan antara pihak penjajah dengan masyarakat pribumi. Peperangan menjadi jalan akhir, titik puncak dari respons masyarakat pribumi terhadap pengaruh asing yang akhirnya membawa implikasi besar bagi kedua belah pihak. Semangat penentangan masyarakat pribumi terhadap pihak Portugis di Nusantara turut menjadi  cerita-cerita  lisan yang terekam dalam penulisan sejarah di wilayah-wilayah yang menjadi basis kekuasaannya. Di antaranya yakni Hikayat Anggun Cik Tunggal, Hikayat Malim Dewa dan Cerita Bongsu Pinang Peribut (Zubir Idris, 2011: 109).

Menurut Hamka (1963: 106-108), cerita- cerita lisan seperti “Anggun Cik Tunggal” (di Minangkabau dikenal dengan “Nan Tonggal Megat Djebang”), ditulis untuk menunjukkan kekejaman yang telah dilakukan oleh kolonial Barat (Portugis). Dengan menggunakan kata yang penuh kiasan dan sindiran, cerita ini disebarkan dari mulut ke mulut, tentang bagaimana buruk dan kejinya bangsa yang menjajah negeri Melayu. Melalui cerita- cerita seperti “Anggun Cik Tunggal,” segala kekejaman orang Barat (Portugis) dapat diperlihatkan sebagaimana kutipan dibawah ini.
“Demikianlah, apabila bangsa kita telah merasa lemah, tidak dapat melawan lagi, mereka buat cerita. Di dalam cerita itu diisikanlah sindiran dan rasa benci kepada musuh, dihinakan dan ditunjukkan kejahatannya, sehingga anak cucu mengerti, dan pada suatu masa kelak, ‘malu yang tercoreng di kening’ itu akan dapat dihapuskan juga dengan kedatangan Nan Tonggal.”

Dalam penulisan sastra sejarah atau karya historiografi, setelah penjajah datang ke Nusantara, kebanyakan karya-karya tersebut ditulis kembali karena permintaan pihak penjajah sendiri selain faktor hubungan baik antara penulis dengan penjajah yang juga mendorong lahirnya pusat penerbitan. Beberapa karya yang diterbitkan oleh pihak penjajah contohnya karya Raja Ali Haji, Gurindam Dua Belas diterbitkan oleh majalah TBG 2 Betavia. Begitu juga karyanya yang lain yakni Mukhtasar Syariat al-Islam dan Taj al-Salatin  (Bt  Zakaria,  2011:  5).  Menurut

Denisova (2008: 132-134) hal ini berimbas pada karakter para orientalis yang meneliti sejarah Islam Nusantara umumnya mengawali penelitian dengan tradisi-tradisi lama (sebelum Islam) termasuk dalam kebudayaan, sejarah dan adat-istiadat Hindu-Buddha sebagai subjek kajiannya. Menurut Denisova (2008), salah satu penyebabnya adalah ‘euro- centrism’ dan sikap apatis terhadap peran Islam di Nusantara. Biasanya para orientalis menganggap Islamsebagaifaktornegatifdalam proses perkembangan Islam di Nusantara. Para orientalis terlebih yang berpihak pada kolonialis enggan memperhatikan bahwa Islam  memajukan  peradaban   masyarakat di Nusantara. Mereka juga tidak jeli dalam memperhatikan pengaruh Islam dalam mengembangkan kebudayaan dan pemikiran termasuk  dalam  hal  keilmuan,  filosofi  dan bahasa. “Euro-centrism” bermakna penelitian maupun kajian mengenai Nusantara dilihat dari sudut pandang orang Eropa. Misalnya E.    Netscher, seorang ilmuwan dan pegawai kolonial Belanda di Riau, dalam bukunya De Netherlanders in Johor Siak (Orang Belanda di Johor dan Siak) menyatakan bahwa sejarah negeri-negeri Melayu hanya sebagai sejarah orang Eropa di dalamnya.

Netscher tidak memperhatikan sejarah orang-orang Melayu sendiri. Penjajahan di Nusantara oleh orang- orang Eropa mengabaikan warisan umat muslim Nusantara. Orang-orang Eropa tidak memahami secara mendalam sejarah Islam di Nusantara. Hal ini karena Muslim di Nusantara selalu dianggap oleh orang Eropa sebagai pesaing yang dalam perjuangannya untuk memonopoli perdagangan di Asia Tenggara. Menurut Abdul Haris Nasution (1963: 37): “…tidak perlu heran bahwa Islam dalam alam Melayu belum dipelajari lagi secara sepatutnya. Selama penjajahan Eropah yang berlangsung selama 350 tahun itu, pemerintah kolonial selalu berusaha untuk mengaibkan Islam dan umat Islam, menganggap orang Muslim sebagai golongan masyarakat yang paling mundur”.

Persepsi negatif dan sikap prejudis para orientalis jelas tidak membawa kemajuan dalam perkembangan Islam di Nusantara terutama dalam bidang sejarah masuknya Islam di Nusantara, cara penyebaran Islam di Nusantara dan aliran umat Islam di Nusantara. Selain itu, tulisan-tulisan para orientalis itu justru mendorong beberapa prasangka atau “mitos” tentang Islam Nusantara dan warisan sejarah Islam Nusantara (Denisova, 2008: 132- 134). Semestinya sudah menjadi bukti bahwa warisan sejarah Islam Nusantara seperti Hikayat Raja Pasai, Hikayat Aceh, Hikayat Siak, Sejarah Melayu, Tuhfat an-Nafis, Peringatan Sejarah Negri Johor dan yang lainnya telah menunjukkan bahwa khazanah ini merupakan sumber-sumber sejarah yang sangat penting dalam literatur Islam di Nusantara. Tetapi bagi sebagian para orientalis Barat, hasil penulisan sejarah lokal sering dianggap sebagai sumber- sumber yang bukan bersejarah dan tidak bisa dijadikan sebagai rujukan penulisan sejarah (Denisova, 2008: 135)

Sumber-sumber sejarah Islam Nusantara pada kurun abad 14 sampai abad 19 dalam bentuk hikayat, babad atau chronicles atau annals biasanya ditulis oleh para pengarang atas titah sultan, untuk mengagungkan atau untuk mempromosikan kepentingan dan pemikiran keluarga istana sehingga terdapat unsur mitologi. Namun setiap informasi yang ada dalam karya-karya tersebut jika dikaji secara kritis dan terperinci ada jejak fakta- fakta sejarah yang bisa ditemukan. Sehingga sebagai rujukan dalam setiap kajian ilmiah teks-teks  tersebut  memiliki   nilai   sejarah dan dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk mengkaji sejarah dan peradaban Islam  di Nusantara (Denisova, 2008: 136). (Arik Dwijayanto & Dawam Multazam). [Dawam Multazam]