Hukum Membatalkan Puasa Sunnah

 
Hukum Membatalkan Puasa Sunnah

LADUNI.ID, Jakarta - Puasa sunah Syawal memiliki keutamaan luar biasa sebagaimana riwayat dari Rasulullah SAW berikut ini:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ اَلدَّهْرِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Artinya, “Siapa saja yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka itu seperti puasa setahun penuh,” (HR Muslim).

Lalu bagaimana mereka yang telah memulai puasa sunah Syawalnya, lalu membatalkannya di tengah jalan?

Perihal ini, ulama membuat rincian (tafsil). Untuk pembatalan puasa sunah dengan udzur, ulama sepakat bahwa puasanya tidak perlu diqadha. Tetapi ketika puasa sunah itu dibatalkan tanpa udzur, ulama berbeda pendapat sebagai keterangan Ibnu Rusyd berikut ini:

وأما حكم الإفطار في التطوع فإنهم أجمعوا على أنه ليس على من دخل في صيام تطوع فقطعه لعذر قضاء. واختلفوا إذا قطعه لغير عذر عامدا فأوجب مالك وأبو حنيفة عليه القضاء. وقال الشافعي وجماعة: ليس عليه قضاء

Artinya, “Adapun hukum membatalkan puasa sunah, ulama bersepakat bahwa tidak ada kewajiban qadha bagi mereka yang membatalkan puasa sunahnya karena udzur tertentu. Tetapi ulama berbeda pendapat perihal mereka yang membatalkan puasa sunah dengan sengaja (tanpa udzur tertentu). Imam Malik dan Abu Hanifah mewajibkan qadha puasa sunah tersebut. Tetapi Imam As-Syafi’i dan sekelompok ulama lainya mengatakan bahwa ia tidak wajib mengqadha puasa sunah yang dibatalkannya,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2013 M/1434 H], cetakan kelima, halaman 287).

Perbedaan pandangan di kalangan ulama perihal ini terjadi karena perbedaan kedua kelompok dalam menganalogikan puasa sunah tersebut. Ulama yang mewajibkan qadha seperti Imam Malik dan Abu Hanifah menganalogikan puasa sunah ini dengan ibadah haji. Sedangkan Imam As-Syafi’i menganalogikan puasa sunah itu dengan ibadah shalat. Konsekuensi pembatalan kedua ibadah ini, yaitu haji dan shalat, memang berbeda. Perbedaan konsekuensi keduanya itu kemudian diturunkan pada pembatalan puasa sunah.

Imam Syafi’i mengambil posisi yang jelas bahwa ia tidak mewajibkan qadha bagi mereka yang membatalkan puasa sunah Syawal atau puasa sunah lainnya. Meskipun demikian, ia menganjurkan mereka itu untuk mengqadhanya.

Kecuali itu, ia juga menyatakan makruh pembatalan puasa sunah tanpa udzur. Hal ini disebutkan dalam Kitab Kifayatul Akhyar berikut ini:

ومن شرع في صوم تطوع لم يلزمه إتمامه ويستحب له الإتمام فلو خرج منه فلا قضاء لكن يستحب وهل يكره أن يخرج منه نظر إن خرج لعذر لم يكره وإلا كره

Artinya, “Orang yang sedang berpuasa sunah tidak wajib merapungkannya (hingga maghrib). Tetapi ia dianjurkan untuk merampungkannya. Jika ia membatalkan puasa sunah di tengah jalan, tidak ada kewajiban qadha padanya, tetapi dianjurkan mengqadhanya. Apakah membatalkan puasa sunah itu makruh? Masalah ini patut dipertimbangkan. Jika ia membatalkannya karena udzur, maka tidak makruh. Tetapi jika tidak karena udzur tertentu, maka pembatalan puasa sunah makruh,” (Lihat Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 174).

Salah satu udzur syari adalah menghormati tuan rumah yang menjamu orang puasa yang sedang berkunjung kepadanya sebagai keterangan di dalam Kitab Kifayatul Akhyar berikut ini:

ومن العذر أن يعز على من يضيفه امتناعه من الأكل ويكره صوم يوم الجمعة وحده تطوعا وكذا إفراد يوم السبت وكذا إفراد يوم الأحد والله أعلم

Artinya, “Salah satu udzur syar’i adalah penghormatan kepada orang yang menjamunya yang mencegahnya untuk makan. Makruh juga puasa sunah hari Jum‘at semata. Sama makruhnya dengan puasa sunah hari Sabtu semata atau hari Ahad saja. Wallahu a‘lam,” (Lihat Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 174).