Belajar dari Kesalahan

 
Belajar dari Kesalahan
Sumber Gambar: Pinterest,Ilustrasi: Laduni.id

Laduni.iD, Jakarta - Manusia adalah makhluk yang memiliki kelemahan dan kesalahan. Tidak ada manusia yang sempurna, dan setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya. Manusia merupakan makhluk yang lemah, terbukti dari ketidakmampuannya untuk mandiri sejak bayi. Berbeda dengan makhluk lain seperti ayam yang bisa langsung berjalan dan mencari makan setelah keluar dari telurnya, manusia membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Manusia juga tidak dilengkapi dengan alat pertahanan fisik seperti binatang lainnya, seperti taring atau cakar.

Ketergantungan manusia ini menunjukkan bahwa manusia membutuhkan bimbingan, arahan, dan motivasi dari orang lain sepanjang hidupnya. Meskipun manusia tumbuh dewasa, ia tetap memerlukan pertolongan orang lain. Ketergantungan ini menjadi bukti bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

Itu sebabnya manusia harus sadar bahwa dirinya memang sangat lemah dan lemah. Keadaan manusia seperti ini sudah dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya QS. Ar-Rum 30:54;

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَّشَيْبَةً ۗيَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُۚ وَهُوَ الْعَلِيْمُ الْقَدِيْرُ (٥٤)

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” [QS. Ar-Rum 30:54]

Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah SWT dari sekian banyak makhluk ciptaan-Nya. Manusia berasal dari tanah dan merupakan keturunan dari Nabi Adam as dan Hawa. Nabi Adam as adalah makhluk paling sempurna yang pertama kali diciptakan Allah SWT. Meskipun manusia dianggap sebagai makhluk paling sempurna, sejatinya manusia diciptakan dalam kondisi yang sangat lemah, baik secara fisik maupun mental.

Kelemahan manusia tidak hanya terbatas pada fisiknya, tetapi juga pada aspek mentalnya. Manusia memiliki kecenderungan untuk terjerumus dalam perbuatan dosa dan noda karena kondisi labil yang dimilikinya. Manusia selalu menghadapi berbagai kondisi kritis yang menuntut kekuatan spiritual dan keimanan yang tinggi. Dalam agama Islam, manusia diakui sebagai makhluk “Al Insanu Mahallul Khoto Wa Nisyan​”, tempat salah dan lupa, yang menunjukkan bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.

Meskipun manusia memiliki kelemahan dan kesalahan, Allah SWT memberikan kesempatan bagi manusia untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada-Nya. Manusia diberikan akal dan fitrah yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Dengan kesadaran akan kelemahan diri, manusia diharapkan dapat menjadi makhluk yang lebih baik dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surat Al-An’am 6:162;

قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ (١٦٢)

 

“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” [QS. Al-An’am 6:162]

Sebagai makhluk yang telah diberikan kelebihan dibanding makhluk lain (dalam hal akal), manusia harus mempertanggung-jawabkan segala perbuatannya di dunia. Manusia harus menggunakan akal untuk memilih jalan kebaikan. Dengan akal inilah manusia yang hina dan dina menjadi makhluk yang paling sempurna. Manusia yang lemah menjadi makhluk yang paling kuat di muka bumi ini. Kita harus mampu sebagai manusia untuk memaksimalkan akal kita agar supaya dalam kehidupan berikutnya kita tidak termasuk orang yang merugi. Hal ini Rasulullah SAW telah menjelaskan bagaimana orang yang kuat dan bagaimana orang yang lemah dari sudut pemanfaatan akal kita. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa: “Orang yang sempurna atau kuat akalnya ialah yang mengoreksi dirinya dan bersedia beramal sebagai bekal setelah mati. Dan orang yang rendah atau lemah adalah yang selalu menuruti hawa nafsunya. Disamping itu, ia mengharapkan berbagai angan-angan kepada Allah.” [HR. Imam Tirmidzi, beliau mengatakan bahwa hadis ini hasan].

Selain anugerah akal, manusia juga diberi nafsu oleh Allah SWT.
Nafsu ini juga menjadi ciri khas manusia dibanding makhluk yang lain. Jika malaikat tidak diberi nafsu sebagaimana halnya manusia, maka malaikat kedudukannya tidak lebih terhormat dari manusia. Fungsi nafsu adalah sebagai pendorong manusia untuk melakukan sesuatu bagi kebaikan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup di dunia. Nafsu memberi dorongan manusia untuk melakukan yang terbaik di dalam kehidupan ini. Itu sebabnya karena manusia yang sudah dibekali akal pikiran, harus mengoptimalkan dorongan nafsu baik bagi keberlangsungan hidupnya. Manusia yang bisa mengendalikan nafsunya adalah manusia pilihan yang memiliki kedudukan sangat mulia baik disisi Tuhan maupun manusia. Tetapi sebaliknya jika manusia menuruti hawa-nafsunya, maka manusia akan menjadi makhluk yang paling hina dan rendah kedudukannya.

Kodrat manusia sebagai tempat salah dan lupa menjadikan manusia memiliki kewajiban saling mengingatkan antara satu dengan yang lain. Kewajiban saling mengingatkan ini dalam Islam menjadi sebuah kewajiban dengan cara kebaikan dan kebijaksanaan. Islam mengajarkan ini karena jangan sampai terjadi justifikasi kebenaran mutlak atas pendapat seseorang. Setiap orang setinggi apapun ilmunya tetap akan pernah mengalami kegagalan, kekhilafan dan kealpaan. Itu sebabnya saling mengingatkan adalah menjadi kewajiban dari masing-masing individu dalam islam, bahkan kewajiban saling berbagi ilmu ini menjadi keharusan bagi seorang muslim agar tidak rugi dalam hidupnya.

Kesadaran kita akan kelemahan, membawa konsekuensi keterbukaan kita terhadap kritik dan saran dari orang lain. Itu sebabnya sebagai manusia, kita tidak boleh berfikir kolot, dan terlalu memaksakan kehendak meskipun itu sebuah kebaikan. Karena pada dasarnya setiap manusia akan memiliki batas dan standar yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Manusia tidak boleh menjustifikasi sebagai manusia paling suci atau paling benar, karena kebenaran hanya milik Allah semata. Justru yang terbaik bagi manusia menurut Islam adalah memberi penerangan, mengajak kepada kebaikan dan memotivasi orang lain untuk kembali ke jalan yang benar.  
Rasulullah SAW bersabda:

خَيْرُ الناسِ أَنفَعُهُم لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” [HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadis ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’, No. 3289].

Sebagai manusia yang cerdas yang selaras dengan hadis Rasulullah SAW tersebut, maka sudah seharusnya kita berusaha mencari bekal yang sebanyak-banyaknya yang benar-benar kita butuhkan untuk kehidupan di akhirat kelak. Janganlah kita memperjuangkan, membela sesuatu atau seseorang atau kelompok atau organisasi sampai mati-matian yang sebenarnya tidak kita butuhkan di akhirat kelak karena yang kita bela dan kita perjuangkan tidak bisa memberi manfaat dan pertolongan apa-apa, apabila tidak senafas dengan nilai-nilai dalam ajaran agama kita yakni Islam.

Sebagai bahan muhasabah diri dalam rangka mempertebal keimanan guna mempersiapkan untuk kehidupan di akhirat nanti, patut kita renungkan ketika seseorang dipanggil keharibaan Allah SWT yang merupakan tempat kembalinya setiap makhluk.

Sebagaimana yang telah kita yakini bahwa yang akan mengikuti mayat ada tiga: Keluarga, Harta, dan Amalnya. Ada dua yang kembali yaitu; Keluarga dan hartanya, sementara amalnya akan tinggal bersamanya.

Berbagai dalil hadis juga menyebutkan bahwa manusa memang tempatnya salah dan lupa. Salah satunya hadis berikut:

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Artinya: Setiap anak Adam pernah berbuat salah dan sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang bertobat dari kesalahannya.
[HR. Imam At -Tirmidzi no. 2499, Hasan].

Kita sebagai manusia, setiap hari pasti berbuat salah baik lisan, perbuatan, atau hati kita yang ngomongin orang lain. Dari hadis di atas sudah seharusnya kita senantiasa bertaubat dari kesalahan dan dosa-dosa kita, walaupun kesalahan itu dikerjakan berulang-ulang.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa manusia memang tak luput dari salah, namun kita tidak boleh menganggap hal itu sebagai alasan untuk terus berbuat kesalahan. Sebagai manusia yang memiliki akal dan hati nurani, kita harus belajar dari kesalahan dan berusaha untuk terus memperbaiki diri. Jangan jadikan alasan bahwa manusia tak luput dari salah sebagai pembenaran untuk terus berbuat kesalahan. Kita harus bertanggung jawab atas setiap tindakan kita dan berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik setiap harinya. Wallahua’lam bishawab.[]

 


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 24 Maret 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

__________________

Penulis: Abdul Rohman, S.Ag, M.Pd.I.
Editor: Lisantono