Sejarah Mencatat Kelayakan Santri Menjadi Pemimpin Nasional

 
Sejarah Mencatat Kelayakan Santri Menjadi Pemimpin Nasional
Sumber Gambar: nu.or.id, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Tulisan ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan dengan suasana politik nasional akhir-akhir ini, yang penulis anggap mengkhawatirkan. Dengan banyaknya berita-berita yang mengatasnamakan agama atau organisasi sosial keagamaan tertentu, berakibat dengan menjelek-jelekkan kelompok yang lain, partai yang lain, ideologi yang lain. Apalagi dengan ditopang oleh arus informasi dan media sosial yang begitu bebasnya, akhirnya kadang menabrak sendi-sendi akhlaqul karimah, budaya bangsa, tradisi yang sudah menjadi ikon Bangsa Indonesia yang berbudaya luhur. Hari ini seolah luntur dengan perilaku-perilaku kepentingan yang sudah tidak sesuai dengan ajaran agama, kultur dan tradisi yang kita pegang teguh sejak nenek moyang kita.

Penulis ingin mengungkap kembali kekuatan budaya bangsa Indonesia yang santun, ramah, memegang teguh tradisi, juga mempunyai potensi religiusitas yang kuat di bumi Nusantara ini. Ini dapat direnungkan kembali bagaimana konstelasi politik Nusantara pada saat kerajaan-kerajaan Hindu atau saat penyiaran Islam, sesudah Islam masuk di Indonesia, juga sampai paska kemerdekaan, di bumi Nusanatara ini selalu memegang teguh budaya dan potensi religiusitas sebagai sebuah bangsa. Maka akhir dari semua perjalanan kesejarahan politik Nasional itu selalu diwarnai oleh dua hal penting ini, yaitu hubungan yang selalu harmonis antara kekuatan budaya dan juga tentang keyakinan agama.

Institusi yang sejak lama memegangi dua hal penting itu menurut penulis adalah pondok pesantren. Pernyataan ini bukan hal yang tidak berdasarkan, tetapi itu selaras dengan fakta mengenai perjalanan kesejarahan pondok pesantren di Nusantara, mulai dari zaman kerajaan-kerajaan, kolonialisme, paska kemerdekaan sampai pada saat ini. Pesantren dapat membuktikan eksistensinya sebagai lembaga dakwah, lembaga pendidikan, lembaga sosial, lembaga ekonomi, lembaga agama, lembaga budaya dan sebutan postif lainnya untuk pondok pesantren di Indonesia.

Sebagai lembaga dakwah, hal ini dapat dibaca dalam referensi-referensi sejarah pesantren. Awalnya memang sebagai institusi yang dipegang oleh para penyiar Islam di Nusantara. Pada saat mensyiarkan Islam mereka berdialektika dengan masyarakat sekitar yang menjadi obyek dakwah. Hasil dialektika ini menjadikan pesantren menunjukkan peran di masyarakatnya dalam berbagai bidang kehidupan yang dihadapinya, tergantung dinamika masyarakat sekitarnya.

Saat itu pesantren menjelma sebagai institusi pendidikan karena mengajarkan ilmu, berperan dalam urusan sosial keagamaan, karena membimbing masyarakat untuk taat kepada ajaran Islam, dan berperan sebaga lembaga politik ketika masyarakat membutuhkan sentuhan-sentuhan politik dari pemimpin pesantren. Pesantren juga sebagai tempat laboratorium budaya, karena di dalamnya banyak diamalkan tradisi, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat. Sebagaimana di Kediri, di Pesantren Lirboyo yang mengajarkan seni bela diri, di Ponorogo ada tradisi Reog. Kita juga tahu pada masa Walisongo terdapat bedug, wayangan, juga ada budaya bernyanyi atau nggending, menari dan lain sebagainya.

Sebagai lembaga politik, pesantren juga menampilkan kekuatan sosial yang diperhitungkan sejak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara dulu, bahkan sampai sekarang. Ini bisa kita baca pada saat kerajaan Majapahit, kerajaan Kediri, Kerajaan Banten, Kerajaan Singosari, Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Demak, Kerajaan Mataram dan seterusnya sampai era awal kemerdekaan, Orde Baru dan Reformasi.

Pesantren dan kyai selalu bersinergi dengan para raja atau penguasa yang memimpin di wilayahnya masing-masing. Pada masa kerajaan-kerajaan terdapat tokoh-tokoh nasional pesantren bersinergi dengan raja untuk menyelesaikan problem-problem umat. Misalnya, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, para Walisongo, dan para ulama lainnya. Pada masa kemerdekaan para kyai dan pesantren juga berpartner dengan Presiden Soekarno untuk mempertahankan kemerdekaan, sebagaimana yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy'ari, KH. Ahmad Dahlan, H. Agus Salim, KH. Wahid Hasyim, KH. Mahrus Ali, KH. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Abbas dan lain sebagainya.

Pada masa Orde Baru yang dipimpin oleh H. Muhammad Soeharto, pondok pesantren dan kyai juga berperan untuk mempengaruhi sejumlah kebijakan yang ada. Di antara kyai tersebut adalah KH. Mahrus Ali, Lirboyo, Kediri, KH. Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta, KH As’ad Syamsul Arifin, Situbondo, KH. Thohir Widjaya dari Blitar, KH. Maimoen Zubair, Sarang , KH. Ali Yafie, Jakarta, KH. Sahal Mahfudz, Pati, KH. Ahmad Shiddiq Jember, KH. Mustain Romli, Jombang, dan banyak lainnya. Malahan dialektika kyai atau ulama dengan pemimpin saat ini lebih dinamis lagi. Pada saat ini, ketika kyai dapat bersinergi dengan pemerintah, berdampak akhirnya dapat membangun masjid seluruh tanah air, hampir di setiap kecamatan yang banyak dimotori oleh KH. Thohir Widjaya, alumni santri Pondok Pesantren Lirboyo yang dengan diplomasinya dapat mempengaruhi penguasa dalam mengambil kebijakan-kebijakan keagamaanya.

Pada masa reformasi sekarang ini, kita diperlihatkan lebih terbuka dialektika pesantren dan kyai dengan pemimpin negeri ini. Dan pada puncaknya dapat mengantarkan seorang tokoh pesantren menjadi Presiden Republik Indonesia keempat, yaitu KH. Abdurahman Wahid atau yang akrab dikenal denga Gus Dur.

Sekali lagi, pada saat reformasi kita dapat melihat bagaimana sinergi pesantren dan kyai dengan pemerintah terjalin semain baik, yang semuanya itu bermuara untuk kemaslahatan bangsa. Hal ini sebagaimana perjuangan tokoh-tokoh pesantren dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Taruhlah seperti KH. Ali Yafie dan KH. Sahal Mahfudz yang memberdayakan secara efektif implementasi hukum Islam dengan tema Fiqih Sosial, Gus dur dengan perjuangan demokrasi, pluralisme, dan tema besar dalam membumikan Islam. Lalu ada KH. Qadri Azizi yang memperjuangan fiqih dengan tema ijtihad dengan saintifik modern, Emha Ainun Najib mengkolaborasikan seni budaya dan agama dengan Jamaah Ma'iyah. Ada Prof. Din Syamsudin dengan kajian besarnya mengenai Islam Berkemajuan, Tuan Guru Zaini Martapura, Habib Luthfi Pekalongan, KH. Asrori Surabaya dengan pemberdayaan Cinta Rasul dan thariqohnya, KH. Zainudin MZ dengan dakwah sejuta umatnya. Kita juga melihat Pondok Pesantren Sidogiri yang sukses mengembangkan potensi ekonomi masyarakat sekitar dengan koperasi pondok pesantrennya, KH. Said Aqil Siroj yang gencar mendakwahkan kekhasan Islam Nusantara, Pondok Pesantren Gontor yang sudah mempunyai alumni yang bertebaran di seantero Nusantara dan berperan sigifikan untuk kemaslahatan bangsa.

Pemaparan fakta di atas dapat dipahami, bahwa pesantren dengan perannya yang multidimensi telah menghasilkan tokoh-tokoh skala nasional dan Internasional, yang terbukti sejak zaman dahulu sampai sekarang.

Kemudian pertanyaannya adalah bagaimana pesantren dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin nasional, padahal institusi ini bukan lembaga kaderisasi pemimpin politik, sebagaimana lembaga partai politik? Jawabannya beragam. Di antarannya adalah sistem kepemimpinan di pesantren yang menggabungkan potensi budaya (culture) dan religiusitas. Pesantren dalam menjalankan kegiatan sehari-hari dipimpin oleh kyai atau ulama. Terminologi kyai dan ulama adalah dua istilah yang mensinergikan dua dimensi, yakni kyai adalah budaya dan ulama adalah istilah agama. Kyai artinya adalah seseorang yang ditokohkan, sedangkan ulama adalah orang yang mapan dalam pengetahuan keagamaannya.

Demikianlah pondok pesantren mempunyai dua istilah pemimpin dalam kehidupan sehari-harinya. Seorang kyai berperan sebagai tokoh panutan yang diikuti oleh santri-santrinya dan masyarakat sekitarnya. Dia juga seorang ulama yang mengetahui secara mendalam ilmu-ilmu agama yang kemudian diamalkan membentuk suri tauladan atau uswatun hasanah oleh orang-orang di sekitarnya. Jadilah seorang kyai adalah ulama dan ulama juga adalah kyai pesantren, yang dia menjadi profil tokoh panutan bagi orang-orang sekitarnya, baik dari kalangan santri, alumni maupun masyarakat umum.

Maka dari sini akan terlihat jelas di dunia pesantren, bahwa seorang kyai dapat memberikan solusi atau menjadi tempat bersandar untuk seluruh urusan masyarakat, baik masalah "klenik", kesehatan, doa, agama, ekonomi penyakit sosial, kenakalan remaja, keamanan, pidana konflik keluarga dan sebrek problematika sosial masyarakat. Inilah kemudian yang menjadikan kyai pesantren sebagai tokoh yang mengakar di masyarakatnya. Hal ini sesuai dengan dawuh Rasulullah SAW, “Sayidul Qaumi Khadimuhum," bahwa pemimpin masyarakat adalah pelayan bagi mereka. Apa yang didawuhkan oleh kyai, perbuatannya, keputusannya akan selalu menjadi ukuran dan panutan bagi umat di sekitarnya.   

Dengan profil demikian, tentu tidak mudah memerankan tokoh kyai pesantren di Nusantara ini. Karena itu, mereka bukanlah sembarangan orang. Karena dalam diri mereka terdapat potensi budaya dan religiusitas yang bersinergi dalam dirinya. Mungkin ini nantinya yang memunculkan istilah sosiologi kepemimpinan kharismatik dalam dunia pesantren. Kepemimpinan model kharismatik ini akhirnya tidak mudah digantikan oleh orang sembarangan, kalau dia tidak mempunyai kekuatan budaya dan agama yang kemudian menghasilkan kharisma. Maka sistem pergantian atau suksesi kepemimpinannya menggunakan dua pendekatan di atas, yaitu budaya dan agama. Artinya orang yang dapat mengganti kyai atau ulama adalah dia yang mempunyai kekuatan budaya yang tercermin dalam nasab, genealogi keturunan yang sama, juga kekuatan agama yang mumpuni.

Role model kepemimpinan pesantren ini nampaknya relevan dengan model khazanah kepemimpinan yang ada dalam tradisi Bangsa Indonesia, yang dimulai masa sejak dulu, zaman kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja, seorang yang secara nasab kekeluargaan dari golongan kesatria dan kemampuan agama Hindu dalam budaya yang mumpuni. Masa awal kemerdekaan oleh Ir. Soekarno yang nota bene menggabungkan kekuatan budaya dan kemampuan ilmu, dia juga bersinergi dengan para ilmuwan dan tokoh-tokoh agama.

KH. Abdurahman Wahid sebagai presiden keempat juga berusaha menggabungkan kekuatan budaya dan agama. Beliau secara intelektual menggelorakan pribumisasi Islam dan secara sosial keagamaan adalah seorang kyai, yang juga seorang ulama dalam arti sebenarnya. Demikian seterusnya, bahwa sejarah kepemimpinan di Nusantara selalu saja ada penggabungan antara kekuatan budaya dan agama.

Sisi lain kekuatan pesantren dapat menghasilkan kepemimpinan adalah ajaran akhlaqul karimah yang dimiliki oleh pesantren. Di pesantren, selain mempunyai kekuatan budaya dan agama, juga mempunyai potensi akhlak yang mulia. Ajaran-ajaran agama sebagai bentuk manifestasi tafaqquh fiddin tidak hanya dilihat dari perspektif intelektual rasional saja, atau perspektif sosial empiris saja, tetapi juga perspektif spiritual intuitif. Artinya, ilmu agama atau ilmu yang telah dikaji di pesantren didalami secara intelektual, dipraktikkan di ranah sosial, juga dihiasi dengan ajaran-ajaran spiritual dengan berdasarkan hati yang bersih, keikhlasan, selalu minta petunjuk Allah, keistiqomahan dan ajaran-ajaran akhlak yang lain. Misalnya terdapat dalam ajaran tawadhu (merendahkan diri) di pesantren dalam hal kepemimpinan. Maka dalam hal ini, praktiknya adalah selalu akan mendahulukan tokoh-tokoh senior (sesepuh) untuk memimpin pesantren, lembaga sosial, lembaga pendidikan dan lain sebagainya. Dengan ajaran ini di dunia pesantren selalu bisa menyelesaikan masalah kepemimpinan kalau tokoh-tokoh senior atau para sesepuh sudah membuat keputusan atau memberikan arahan. Tidak akan terjadi konflik yang berkepanjangan jika selalu memegang ajaran akhlak berupa sikap tawadhu semacam ini.

Untuk itu sudah seyogyanya pondok pesantren dengan pengalaman empirisnya sejak zaman dahulu, pada zaman kerajaan sampai sekarang dapat mengantarkan para tokohnya untuk bisa berperan dalam skala yang labih luas, tidak hanya pemimpin dalam satu organisasi Nahdlatul Ulama saja, tetapi menjadi pemimpin Negara, pemimpin Bangsa Indonesia dengan beragam kultur, budaya, ideologi, strata sosial, agama, suku dan lain-lain. Karena sejarah sudah membuktikan bahwa tokoh-tokoh pesantren dapat berperan dalam kepemimpinanya sesuai dengan tingkatan masing-masing, baik di level regional, nasional maupun internasional. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam. []


 

Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 03 April 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ustadz Asmawi Mahfudz (Pengajar di IAIN Tulungagung, Pengasuh Pesantren Al-Kamal Tulungagung, dan Mustasyar NU Blitar)

Editor: Hakim