Bersama "Liyan"

 
Bersama

LADUNI.ID - Pada masa lampau, abad pertengahan, ketika dinasti-dinasti Islam berdiri, di Baghdad, di Damaskus (Siria), di Andalusia (Spanyol) atau di Turki, kaum muslimin menjalin kerjasama pertukaran ilmu pengetahuan dan kebudayaan dengan bangsa-bangsa asing, terutama Yunani, Persia, India dan Cina. Para khalifah mengundang ke istananya para sarjana, cendikiawan, filosof dan para ahli bahasa asing tanpa melihat asal usul kebangsaan dan agama mereka, untuk menerjemahkan karya-karya intelektual asing itu dan para “liyan” itu. Bahkan tidak sekedar menjadikan mereka penerjemah kekhilafahan, para khalifah itu juga mengangkat mereka sebagai penasehat, dokter pribadi, kepala lembaga negara, kepala rumah sakit umum nasional, kepala perpustakaan “bait al-hikmah”, dan teman berdiskusi para khalifah sendiri, juga para pembantunya (menteri-menteri). Beberapa orang asing (liyan) yang sering disebut untuk kepentingan tersebut adalah Hunai bin Ishaq, penganut Nasrani dari Syria, Ibn Muqaffa, beragama majusi, dan Gergorius Bakhtisyu, penganut Nestorian, Tsabit bin Qurrah (penganut Sabian/Shabi’ah/Majausi), dan lain-lain.

Berkat proses keterbukaan ilmiyah dan kerjasama kebudayaan antar bangsa-bangsa dan keterlibatan orang-orang dengan latarbelakang agama yang berbeda-beda itu, dunia Islam kemudian mencapai kemajuan yang gemilang. Zaman mereka disebut sebagai “the Golden Age” (Zaman Keemasan Islam).

Al-Kindi, filsuf Arab terkemuka, mengatakan:

يَنْبَغِى لَنَا اَنْ لَا نَسْتَحْيِى مِنْ اِسْتِحْسَانِ الْحَقِّ وَاقْتِنَاءِ الْحَقِّ مِنْ اَيْنَ اَتَى وَإِنْ أَتى مِنَ الْاَجْنَاسِ الْقَاصِيَةِ عَنَّا وَالْاُمَمِ الْمُبَايِنَةِ لَنَا

“Seyogyanya kita tidak merasa malu menerima suatu kebenaran dan menjaganya dari manapun ia berasal, meski dari bangsa-bangsa yang jauh dan berbeda dari kita”.

Ibnu Rusyd, filosof dan ahli fiqh terkemuka juga mengatakan : “Jika kita menemukan ada sesuatu yang benar dari mereka (yang berbeda dari kita), kita (sepatutnya) menerima dengan senang hati dan menghargainya.

Imam Abu Hamid al-Ghazali, hujjah al-Islam (argumentator Islam-Sunni) mengatakan:

فَاسْتَوْسِعْ فَإِنَّ رَحْمَةَ اللهِ وَاسِعَةٌ. وَلَا تَزِنْ الاُمُوْرَ الالهية بِالْمَوَازِيْن اْلمُخْتَصَرَةِ الرَّسْمِيَّةْ

“Bukalah pikiranmu lebar-lebar. Karena rahmat Tuhan sungguh maha luas. Jangan kalian ukur hal-hal yang berhubungan dengan ketuhanan dengan ukuran yang sempit dan formalistik”.

Ukuran-ukuran yang sempit dan formalistic adalah cara pandang terhadap sesuatu secara hitam putih, menunggalkan kebenaran sendiri dan tak mau menerima aau menghargai pandangan orang lain. Cara pandang seperti ini acap kali mereduksi akal sehat, mengabaikan persaudaraan atas dasar kemanusiaan, mereduksi solidaritas social dan bahkan intoleran.