Anggota DPR/MPR Beragama Non Islam

 
Anggota DPR/MPR Beragama Non Islam

Anggota DPR/MPR Beragama Non Islam

A. Pertanyaan

Bagaimana hukum orang Islam menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non Islam?

B. Jawaban

Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non Islam kecuali dalam keadaan darurat, yaitu:

a. Dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani sendiri oleh orang Islam secara langsung atau tidak langsung karena faktor kemampuan.

b. Dalam bidang-bidang yang ada orang Islam berkemampuan untuk menangani, tetapi terdapat indikasi kuat bahwa yang bersangkutan khianat.

c. Sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada non Islam itu nyata membawa manfaat.

Catatan: Orang non Islam yang dimaksud berasal dari kalangan ahl al-dzimmah dan harus ada mekanisme kontrol yang efektif.  

C. Dasar Pengambilan Hukum

Al-Quran Al-Karim

وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ الْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً (النِّسَآءُ 141)

“Dan Allah Swt. sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman.” (QS. al-Nisa’: 141)  

1. Tuhfah al-Muhtaj dan Hawasyi al-Syarwani [1]

(وَلاَ يُسْتَعَانُ عَلَيْهِمْ بِكَافِرٍ)

ذِمِّيٍّ أَوْ غَيْرِهِ إِلاَّ إِنِ اضْطُرِرْنَا لِذَلِكَ (قَوْلُ الْمَتْنِ وَلَا يُسْتَعَانُ إلَخْ) أَيْ يَحْرُمُ ذَلِكَ ا هـ سم عِبَارَةُ الْمُغْنِي وَالنِّهَايَةِ تَنْبِيهٌ  ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ أَنَّ ذَلِكَ لَا يَجُوزُ وَلَوْ دَعَتْ الضَّرُورَةُ إلَيْهِ لَكِنَّهُ فِي التَّتِمَّةِ صَرَّحَ بِجَوَازِ الِاسْتِعَانَةِ بِهِ أَيْ الْكَافِرِ عِنْدَ الضَّرُورَةِ

(Dan tidak diperbolehkan meminta bantuan orang kafir dalam memerangi bughat -pemberontak-), baik kafir dzimmi atau yang lainnya, kecuali kita diharuskan begitu. (Pernyataan kitab matn -Minhaj al-Thalibin-, “Dan tidak diperbolehkan …”), maksudnya hal tersebut haram, demikian pendapat Ibn Qasim al-‘Abbadi. Sementara teks  kitab Mughni al-Muhtaj dan Nihayah al-Muhtaj adalah, Peringatan. Menurut zhahir pendapat para ulama, meminta bantuan orang kafir itu tidak diperbolehkan walaupun dalam keadaan darurat. Namun, Abu Sa’id al-Mutawalli dalam kitab al-Tatimmah terang-terangan menjelaskan kebolehan meminta bantuan orang non muslim dalam keadaan darurat.  

2. Hawasyi al-Syirwani [2]

نَعَمْ إِنِ اقْتَضَتْ الْمَصْلَحَةُ تَوْلِيَّتَهُ فِيْ شَيْءٍ لاَ يَقُوْمُ بِهِ غَيْرُهُ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ ظَهَرَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ خِيَانَةٌ وَأَمِنَتْ فِيْ ذِمِّيٍّ. فَلاَ يَبْعُدُ جَوَازُ تَوْلِيَّتِهِ لِضَرُوْرَةِ الْقِيَامِ بِمَصْلَحَةِ مَا وَلَّى فِيْهِ، وَمَعَ ذَلِكَ يَجِبُ عَلَى مَنْ يَنْصِبُهُ مُرَاقَبَتُهُ وَمَنْعُهُ مِنَ التَّعَرُّضِ لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

Jika suatu kepentingan mengharuskan penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain dari kalangan umat Islam atau tampak adanya pengkhianatan pada si pelaksana dari kalangan umat Islam dan aman berada di kafir dzimmi, maka boleh menyerahkannya padanya karena darurat. Namun demikian, bagi pihak yang menyerahkan, harus ada pengawasan terhadap orang kafir tersebut dan mampu mencegahnya dari adanya gangguan terhadap siapapun dari kalangan umat Islam.  

3. Kanz al-Raghibin dan Hasyiyah al-Qulyubi [3]

(وَلاَ يُسْتَعَانُ عَلَيْهِمْ بِكَافِرٍ)

لِأَنَّهُ يَحْرُمُ تَسْلِيْطُهُ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ (قَوْلُهُ وَلاَ يُسْتَعَانُ) فَيَحْرُمُ إِلاَّ لِضَرُوْرَةٍ

(Dan tidak diperbolehkan meminta bantuan orang kafir dalam memerangi bughat -pemberontak-), karena haram menguasakan orang kafir terhadap umat Islam. (Pernyataan Imam Nawawi: “Dan tidak diperbolehkan meminta.”) Maka meminta bantuan kepada orang kafir itu hukumnya haram, kecuali karena darurat.  

4. Al-Ahkam al-Sulthaniyah [4]

وَالْوُزَارَةُ عَلَى ضَرْبَيْنِ وُزَارَةُ تَفْوِيْضٍ وَوُزَارَةُ تَنْفِيْذٍ. أَمَّا وُزَارَةُ التَّفْوِيْضِ فَهِيَ أَنْ يَسْتَوْزِرَ اْلإِمَامُ مَنْ يُفَوَّضُ إِلَيْهِ تَدْبِيْرَ اْلأُمُوْرِ بِرَأْيِهِ وَإِمْضَاءَهَا عَلَى اجْتِهَادِهِ

Kementerian itu ada dua macam, wuzarah tafwid (kementerian pengkonsep) dan wuzarah tanfidz  (kementerian pelaksana). Adapun wuzarah tafwid adalah bila seorang penguasa tertinggi negara mengangkat seorang menteri yang bertugas menggantikan dirinya dalam mengatur segala urusan sesuai dengan pertimbangannya sendiri dan melaksanakan semaksialnya.  

5. Al-Ahkam al-Sulthaniyah [5]

وَأَمَّا وُزَارَةُ التَّنْفِيْذِ فَحُكْمُهَا أَضْعَفُ. وَشُرُوْطُهَا أَقَلُّ لِأَنَّ النَّظَرَ فِيْهَا مَقْصُوْرٌ عَلَى رَأْيِ اْلإمَامِ وَتَدْبِيْرِهِ

  Sedangkan wuzarah tanfidz, maka kekuasaannya lebih lemah dan persyaratannya lebih sedikit karena pertimbangannya terbatas pada pendapat imam dan pengaturannya.  

[1]  Ibn Hajar al-Haitami dan Abdul Hamid al-Syirwani, Tuhfah al-Muhtaj dan Hasyiyah al-Syirwani pada Hasyiyata al-Syirwani wa al-‘Abbadi, (Mesir:  al-Tujjariyah al-Kubra, t. th), Jilid IX, h. 72-72.

[2] Abdul Hamid al-Syirwani, Hawasyi al-Syirwani pada Hawasyai al-Syarwani wa al-‘Ubbadi, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, t. th.), Juz IX, h. 73.

[3] Jalaluddin al-Mahalli, Kanz al-Raghibin Syarh Minhaj al-Thalibin pada Hasyiyata Qulyubi wa ‘Umairah, (Mesir: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t. th.), Jilid IV, h. 156.

[4]  Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1966), h. 22.

[5]  Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1966), h. 25.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 429 KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL AL-DINIYYAH AL-WAQI’IYYAH MUKTAMAR XXX NU DI Pon-Pes. LIRBOYO KEDIRI JAWA TIMUR TANGGAL 21 s/d 27 NOPEMBER 1999