Polemik Kampus Darussalam, Kenapa Harus ada Dikotomi?

 
Polemik Kampus Darussalam, Kenapa Harus ada Dikotomi?

LADUNI.ID, KOLOM- Syeikh Nuruddin Ar Raniry, ahli fikih dari Kerajaan Aceh. Pernah menjadi Qadhiyul Qudhat (Qadhi Malik Al 'Adil) di Kerajaan Aceh pada masa Iskandar Tsani. Tahun 1637 tiba di Aceh setelah banyak menuntut ilmu di pusat-pusat keilmuan kala itu. Bustan Al Salatin adalah salah satu masterpiece-nya. Beliau amat pakar di bidang fikih, demikian juga ahli di bidang keilmuan lainnya. Tulisannya pun di berbagai bidang dengan jumlah karya puluhan.

Teungku Chiek Syiah Kuala atau Syeikh Abdurrauf Singkil (1615-1693). Ulama besar dari Aceh. Asalnya dari Barus, Singkil.  Setelah melanglang buana ke berbagai negara untuk belajar, seperti  Zabid, Yaman, Mekkah dan Madinah, pada 1661 beliau pulang ke Aceh. Beliau sangat populer di bidang tasawuf. Dari sekitar 25 karya beliau, tema tasawuf lebih mendominasi. Beliau juga menulis kitab Mir-at Al Thullab atas permintaan Sultanah Safiyatuddin. Kitab yang berbicara tentang fikih. Karya termasyhurnya adalah Tarjuman Al Mustafid. Beliau dikenal sebagai pelopor Tasawuf dan tokoh pembawa tarikat Syattariyah ke seluruh nusantara. Muridnya yang masyhur di antaranya  Syeikh Daud bin Ismail di Fatani, Syeikh Burhanuddin Ulakan di Padang dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Teungku Chiek Pante Kulu. Nama yang amat disegani Belanda dalam perang Aceh. Lahir pada tahun 1836. Setelah menamatkan pelajarannya di Tiro bersama Teungku Chiek Amin Tiro, beliau belajar ke Mekkah. Saat di Mekkah, beliau mendengar bahwa Aceh sedang diinvansi oleh penjajah, salah satu sahabatnya memimpin perang besar itu, ialah Teungku Chiek Tiro Muhammad Saman; teman sepengajian beliau dulu. Maka pada 1881 beliau pulang. Di tengah kapal antara Jeddah dan Penang beliau menulis Hikayat Prang Sabie. Hikayat yang memangkitkan semangat juang pahlawan-pahlawan Aceh ketika itu.

Setelah merdeka, Aceh menjadi daerah modal. Namun nyatanya pusat berkhianat. Timbullah pemberontakan DI/TII sejak 1953 s.d 1959. Aceh yang dulunya jaya kian kelam. Untuk mengakhirnya, Gubernur Ali Hasyimi ketika itu mendampingi Presiden Soekarno untuk meresmikan Kopelma Darussalam. Jadi Darussalam bukan hanya sebuah nama tanpa makna, tapi di dalamnya ada harapan besar wilayah perang itu menjadi mercusuar perdamaian.  Sesuai amanat Soekarno ketika itu, "Tekat bulat melahirkan perbuatan nyata, Darussalam menuju pelaksanaan cita-cita." Hari itu diingat dengan peringatan Hari Pendidikan Daerah. Tepatnya jatuh pada 2 September 1959. Aceh menatap kehidupan baru.

Barangkali satu hal yang unik, bahwa Aceh memiliki Komplek Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma). Ada IAIN (sekarang UIN) Ar Raniry, Unsyiah dan Dayah Manyang Teungku Chiek Pante Kulu. Untuk menjembatani pembangunan kopelma ketika itu, masyarakat menghibahkan tanahnya. Orang-orang kaya memberi bantuan materiil, ada yang memberi uang, emas dan harta berharga lainnya. Yang tidak punya uang memberi telur, ubi, kelapa dan lain-lain. Yang jauh seperti masyarakat Siemelu mengirim kerbau demikian juga penjuru Aceh yang lain. Bahu membahu masyarakat sekitar membangun Kopelma. Untuk mendukungnya, ada sebuah yayasan yang dibentuk, yaitu Djajasan Dana Kesejahteraan Aceh, didirikan pada 26 Maret 1956. Dengan dibantu Pemerintah dan Militer ketika itu Kopelma menjelma menjadi sebuah harapan baru.

Dekade itu, amat bangga orang mengucapkan Angkatan Darussalam atau Alumni Darussalam. Mars-nya pun Mars Darussalam yang diprakarsai oleh HT. Djohan. Belum ada sekat pemisah. 

Kampus ini terus melahirkan intelektual mumpuni, bahkan sampai saat ini. Ketika itu dua orang yang amat populer adalah Prof. H. Safwan Idris dan Prof. Dayan Dawood. Allah memanggil beliau berdua ketika konflik Aceh berkecamuk. Hinga saat ini, dua kampus itu terus melahirkan intelektual-intelektual terbaiknya.

Beberapa hari belakangan ini, dua kakak beradik ini kembali heboh. Mungkin sudah lama riak-riaknya muncul. Tapi Surat yang dikirimkan Rektor Unsyiah kepada Pengelola Asrama Putri UIN Ar Raniry menjadi pemicu terbaru, selain itu ada juga surat pengosongan sebuah Mushalla di Jalan Inoeng Bale. Bola liar ini disambut segenap masyarakat, yang memang sudah gerah dengan blokade tembok buatan Unsyiah selama ini. Masyarakat sekitaran kopelma melihat kampus ibarat menara gading yang terbuat dari kaca. Mereka orang-orang “tak berpendidikan” harus dipisahkan, bahkan saudara kandungnya sekalipun.
Salah satu surat didasarkan pada Surat Kepemilikan Hak pakai  tahun 1992, jauh setelah Kopelma diwujudkan. Mantan Rektor UIN, Prof. Farid Wajdi, MA dalam sebuah media massa mengatakan bahwa sekitar 11 atau 12 tahun yang lalu pihak Unsyiah mengurus surat kepemilikan lahan tanah di Darussalam tanpa sepengetahuan UIN Ar Raniry ketika itu. Nah, tentu ada benang yang terputus di sini.

Hendaknya kedua pihak duduk bersama. Apalagi di bulan penuh berkah ini. Jangan terlalu cepat main palu. Karena kalau sudah main palu, pasti ada yang dirugikan. 

Ingat cita-cita awal pendirian Darussalam. Ingat nama-nama yang melekat di dalamnya. Ada Ar Raniry ahli fikih, ada Syiah Kuala ahli Tasawuf dan ada Tgk. Chiek Pante Kulu sebagai politikus dan diplomat ulung. Bukankah ketiga aspek ini adalah itu dari pembangunan Darussalam yang berkepanjangan? Kenapa harus ada dikotomi, malah dari orang yang selama ini berteriak anti dikotomi?

Zahrul Bawady
Mahasiswa UIN Ar Raniry