Fenomena Generasi Internet Zaman Now

 
Fenomena Generasi Internet Zaman Now

LADUNI. ID, KOLOM-Dalam simposium perusahaan-perusahaan nirkabel papan atas internasional Wireless Enterprise Symposium ke-9, yang berlangsung di Orlando, Florida, Amerika Serikat akhir bulan April tahun 2010, memunculkan topik pembahasan menarik akan generasi internet (net generation), dengan istilah barunya yaitu generasi sekarang (now generation).

Generasi sekarang maksudnya adalah generasi yang tidak sekadar familiar dengan citra digital, akrab dengan teknologi informasi, dan selalu berselancar di dunia maya. Akan tetapi, mereka juga sering menyuarakan segala sesuatu harus "sekarang": I want it, I want it now. 

Dalam perkembangan pola dan perubahan gaya hidup generasi sekarang/saat ini, tentunya segera dimanfaatkan sebagai peluang oleh sektor pasar, khususnya pelaku jasa perdagangan elektronik (e-commerce) untuk semakin menggencarkan digitalisasi perdagangan berbasis online.

Hal itu terbukti, dengan munculnya beragam perusahaan jasa pengiriman, yang mulai meniru strategi-strategi yang diterapkan perusahaan-perusahaan e-commerce seperti JNE, J&T, Sicepat, TiKi, First Logistics dan lain sebagainya.

Selain itu, beberapa rumah makan, restoran lokal/nasional juga mulai mengembangkan usaha dengan sistem pesan antar (delivery). Pun begitu dengan transportasi online Gojek dan Grab yang tak lagi sekadar menjadi penyedia layanan transportasi, namun kini berkembang menjadi penyedia layanan pesan antar makanan, logistik, pembayaran dan lain sebagainya.

Tentu, perkembangan yang terjadi di sektor jasa dengan sistem online menjadi jawaban terhadap perilaku konsumen, sesuai karakteristik generasi net (now generation) yang memiliki kebutuhan serba cepat. Pun begitu, tak dapat dipungkiri dampak negatif juga bermunculan.

Seperti, di akhir tahun 2017 kemarin, menjadi peringatan bagi kita bersama, atas tutupnya sejumlah gerai ritel seperti; 7-Eleven, Giant, Lotus, Matahari dan Ramayana. Akibatnya, terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di sektor perusahaan industri baja, semen dan elektronik seperti yang telah penulis ulas sebelumnya di rubrik opini harian Analisa, edisi Senin, 11/3/2019 dengan judul, "Menantang Zaman Revolusi Industri 4.0".

Tanpa adanya inovasi, usaha-usaha konvensional di sektor jasa, industri, transportasi dan lain sebagainya, akan mengalami dampak destruktif sebagai akibat dari revolusi industri 4.0.

Pasalnya, jika melihat riset yang disampaikan pihak Google Temasek, di tahun 2017, penjualan e-commerce mencapai USD 10,9 miliar di dunia (sekitar Rp. 141 T, kurs 1USD = 13.000). Jumlah ini meningkat, 41% dari USD 5,5 miliar yang dicapai beberapa tahun sebelum, yakni tahun 2015.

Dengan keuntungan yang begitu sangat menjanjikan, tidak mengherankan jika perkembangan e-commerce di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia dengan jumlah penduduk yang cukup besar, semakin dipertimbangkan perusahaan-perusahaan multi nasional untuk meraup untung.

Terbukti, di akhir tahun 2017 kemarin perusahaan e-commerce terbesar asal Tiongkok, Alibaba Group meningkatkan sahamnya ke Lazada Indonesia, dari 51% menjadi 83%. Beberapa bulan setelahnya, dana investasi Alibaba juga diberikan sebesar 1,1 Miliar dollar ke Tokopedia.

Dampaknya, Lazada dan Tokopedia pun masuk ke dalam 5 perusahaan e-commerce Indonesia yang paling banyak di cari di Google tahun 2017, dengan ranking search internet dari yang tertinggi ke terendah yaitu; Lazada, Tokopedia, Bukalapak, Shopee dan Blibli.com. (m.detik.com 31/12/2017)

***Yohansen W. Gultom