Ikhtiar Menenangkan Hati Orang yang Ditinggal Mati Keluarganya

 
Ikhtiar Menenangkan Hati Orang yang Ditinggal Mati Keluarganya
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Ungkapan bahwa “rezeki, jodoh, dan kematian adalah rahasia Allah” sudah sangat familiar terdengar oleh kita. Ungkapan ini sejatinya sudah hampir mendarah daging di dalam diri kita, apalagi tentunya sejak kecil orang di se­kitar kita seperti orang tua, guru, teman, dan masyarakat di mana tempat kita hidup, sering kali menyampaikan ungkapan ini hingga kini dan terus diulang-ulang sebagai bentuk penguatan keyakinan dalam menjalani kehidupan ini.

Berbicara tentang maut atau kematian, maka harus dipahami bahwa hal itu merupakan ketetapan Allah yang sangat misterius. Tidak ada yang tahu, meskipun terkadang diri berusaha mencari tahu. Setiap orang tidak akan pernah ada yang tahu kapan ia akan “dipanggil” Allah SWT.

Adapun yang ada, adalah bahwa manusia hanya mendapatkan petunjuk bagaimana seharusnya menyikapi kehidupan dengan cobaan yang menerpa.

Allah SWT berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikem­balikan.” (QS. Al-Anbiya’: 35)

Maka sejatinya, kehidupan itu merupa­kan cobaan dari Allah SWT. Cobaan ini akan berakhir dengan penilaian siapakah yang di antara kita yang paling bertakwa dan paling baik dengan amalannya.

Tentunya, Allah SWT akan memberi balasan kepada manu­sia yang paling baik amalnya dengan sebuah “kehidupan” pasca kematiannya, yang mana hal itu sama sekali berbeda dengan kehidupan di dunia yang bersifat semen­tara ini. Dan keyakinan inilah yang sampai kini menjadi keteguhan dan keyakinan seorang Muslim.

Siapapun pasti tidak kan mudah melepas kepergian orang terdekatnya menghadap Allah, apakah itu orang tua, sanak saudara, teman, sahabat, guru, bahkan sampai yang ditimpa tetangga pun dirasakan demikian pula. Begitu pula yang saya rasakan, tepat pada malam 1 Syawal 1440, Allah SWT memanggil ibunda saya untuk kembali kepada-Nya.

Di saat orang lain merayakan Hari Raya Idul Fitri nan penuh dengan kemenangan, penulis menyiapkan dan harus menyegerakan pemakaman yang tidak boleh ditunda. Tentu hati tak bisa memungkiri rasa sedih yang ada kala itu.

Mungkin, ini merupakan satu dari sekian banyak kematian yang terjadi pada saat dan waktu yang sama. Bisa jadi ditempat lain, selain penulis juga ada yang mengalami dan merasakan hal yang sama. Begitupun, satu hal yang pasti, bahwa pera­saan sedih ketika ditinggal orang terdekat­ pasti selalu ada.

Menenangkan Hati

Lalu hak bagi mereka yang harus diberikan adalah ketenangan hati pasca ditinggalkan orang tercinta, jangan sampai kita lengah melakukannya.

Dahulu, saat dakwah Nabi Muhammad SAW sudah mencapai tahun kesepuluh kenabian, beliau harus menerima keadaan bahwa Abu Thalib, seorang paman yang selama ini mendampinginya dan melindunginya dalam dakwah Islam, berpulang kepada Allah SWT.

Kesedihan beliau semakin bertambah karena dalam rentang waktu yang begitu cepat, Sayyidah Khadijah, istri tercintanya juga dipanggil oleh Allah SWT. Sejarah Islam membuktikan bahwa kedua sosok tersebut merupakan pilar utama nabi dalam menjalankan misi dakwah Islam kepada umat. Keduanya selalu memberi keamanan diri dan kenyamanan hati saat nabi berdakwah menyampaikan ajaran agama Islam. Maka sangatlah wajar jika nabi bersedih dan sangat terpukul dengan tiadanya kedua sosok tersebut.

Namun, dibalik kesedihan nabi yang ditinggal orang tercintanya itu, Allah memberi satu muk­jizat penting sebagai penghargaan dan penghibur kepada nabi, yakni dengan terjadinya peristiwa Isra' dan Mi'raj. Peristiwa ini menjadi titik balik bagi nabi dalam misi membawa ajaran Islam kepada seluruh umat manusia. 

Hal yang sangat penting untuk kita cermati, bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai manusia pilihan ternyata pernah merasakan kesedihan kala ditinggal mati oleh orang yang sangat dicintainya. Tapi rasa sedih itu dibalas Allah dengan hiburan, yakni perjalanan Isra' dan Mi'raj untuk memberi ketenangan kepada diri nabi.

Praktik ini sebenarnya dapat menjadi teladan bagi kita sebagai manusia biasa. Saat ada keluarga, sahabat, teman, guru hingga tetangga yang ditinggal mati sosok tercintanya, maka hendaknya kita menghibur mereka dengan melakukan takziyah atau mengunjunginya, memberinya ketaba­han hati, hingga memberi semangat dan doa yang baik kepada mereka yang ditinggal.

Memang porsi antara peristi­wa nabi dengan kita sangat jauh berbe­da untuk disandingkan. Tapi setidaknya “esensi” menghibur dan memberi ketenangan kepada mereka yang ditinggal orang terkasihnya menjadi satu sikap terbaik dari kita, dan bisa jadi bahkan menjadi kemuliaan tersendiri dihadapan Allah.

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:

مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي أَخَاهُ بِمُصِيْبَةٍ، إِلَّا كَسَاهُ اللهُ سُبْحَانَهُ مِنْ حُلَلِ الْكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ 

“Tidaklah seorang Mukmin bertakziyah kepada sauda­ranya yang terkena musibah kecuali Allah akan memakaikan pakaian kemuliaan kepadanya di Hari Kiamat.” (HR. Ibnu Majah)

Maka, takziyah inilah cara terbaik untuk memenangkan hati mereka yang ditinggal orang-orang terkasihnya. Karena kematian memang adalah sebuah kepastian, maka tidak sepatutnya kita sama sekali mengabaikan saudara kita yang ditinggal mati orang-orang terkasihanya. Ada saatnya kita pasti juga akan mengalaminya. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 07 Juli 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Zainal Arifin Purba

Editor: Hakim