Hari Arafah, Momentum Identifikasi Diri

 
Hari Arafah, Momentum Identifikasi Diri

LADUNI.ID - Tumpukan buku terpajang tak teratur di rak-rak sederhana, menutup dinding bangunan di sebuah lorong pasar. Tumpukan buku itu dibiarkan tetap terbuka di malam hari ketika pemiliknya sudah pulang. Foto hitam putih tersebut dishare seorang teman di grup fakultasku.

Foto itu diantar oleh kata-kata yang unik, "Di toko-toko buku di Irak, buku-buku dibiarkan begitu saja pada malam hari. Karena orang Irak yakin, pembaca buku tidak akan mencuri dan pencuri tidak akan membaca".

Saya dibuat tertegun oleh foto itu. Lepas dari benar atau tidaknya, buat saya foto tersebut sesungguhnya adalah sebuah sindiran. Saya yakin, siapa pun kita, akan tertarik melihat, membaca, dan kemudian menforwardnya, karena isi foto itu terbayang dan terasa agak-agak mustahil terjadi di negeri kita ini.

Yang saya tahu, di negeri ini, di perpustakaanpun buku tak luput dari aksi pencurian. Perpustakaan yang saya maksud bukan perpustakaan di sembarang tempat, tapi di kampus-kampus. Dan kampus-kampus yang saya maksud bukan sembarang kampus, tapi kampus-kampus Islam. Kalau gak percaya, anda bisa cek lokasi. Di pintu keluar perpustakaan-perpustakaan tersebut, dipasang detektor yang bertugas "meneriaki" tanpa ampun dan sunkan para penyelundup buku. Detektor itu sendiri adalah konfirmasi sekaligus solusi bagi adanya aksi pencurian buku.

Apa yang yang membuat kejahatan intelektual ini bisa terjadi? Ada seribu satu penjelasan yang bisa anda pakai. Tapi saya ingin melihatnya dari sisi identifikasi diri atau mengenal diri.

Secara sederhana, identifikasi diri yang saya maksud adalah mengenali "siapa" kita dan kemudian melakukan segala hal untuk menegaskan "siapa" kita tersebut. Ketika Anda mengidentifikasi diri sebagai seorang guru, misalnya, Anda pasti tahu apa yang harus, tidak harus, dan harus tidak Anda lakukan sebagai seorang guru.

Dalam konteks identifikasi diri, masalah yang muncul dalam hidup kita ini, kalau disederhanakan, sebenarnya hanya karena dua hal: salah dalam mengidentifikasi diri, atau benar dalam mengidentifikasi diri tapi melanggarnya.

Seorang pemimpin misalnya, dia akan bermasalah kalau mengidentifikasi dirinya sebagai "yang dilayani" dan bukan "yang melayani". Atau kalau dia mengidentifikasi dirinya sebagai "yang melayani" tapi justru bertindak sebagai "yang dilayani".

Kata-kata dalam foto tersebut adalah contoh identifkasi diri. Pembaca adalah mereka yang menghormati buku dan sudah pasti terdidik dan berbudaya. Mencuri buku tentu tidak sejalan dengan atribut mereka ini. Sebagaimana juga membaca buku tidak akan menjadi pilihan para pencuri. Mereka setidaknya akan mencuri yang mudah dijual, atau bisa digunakan ketika tidak dijual, dan itu bukan buku.

Pencurian buku di perpustakaan juga adalah salah satu bentuk identifikasi diri. Tapi identifikasi yang salah. Pelakunya jelas tidak lagi mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang mahasiswa. Atau kalaupun dia masih menyadari dirinya mahasiswa berarti dia telah menegasikan sendiri atribut dirinya tersebut.

Jadi, betapa pentingnya masalah identifikasi diri ini. Inkonsistensi, apalagi inakurasi, dalam mengidentifikasi diri akan menghadirkan masalah dalam hidup. Lalu, apa kaitannya dengan hari Arafah?

Momentum Arafah yang kita jalani hari ini sesungguhnya juga menyiratkan pesan tentang indentifikasi atau mengenal diri. Kata "Arafah atau Arafaat" itu sendiri, oleh sebagian Ulama, mengandung arti perkenalan. Juga berarti memahami dan mengenal bagaimana ritual beribadah kepada Allah. Juga bermakna pengakuan dan permintaan ampun atas dosa dan kesalahan di masa lalu.

Hari spesial yang oleh jamaah haji ditandai dengan ritual wuquf di padang Arafah dan oleh selain mereka dengan puasa Arafah itu adalah saat dimana seorang hamba kembali mengintrospeksi dirinya di hadapan Rabbnya. Saat dimana ia mengoreksi posisinya sebagai hamba yang menyembah dihadapan Allah yang disembah. Sudahkah ia memenuhi kewajibannya sebagai hamba? Sudahkah iya memenuhi hak-hak Allah sebagai Tuhannya? Sudahkah ia menghadirkan Allah dalam keseluruhan gerak hidupnya? Sudahkah ia melakukan apa yang menegaskan keberhambaannya kepada Allah? Sudahkah ia menjauhi apa yang menegasikan kebertuhanannya kepadaNya?

Renungan Arafah pada gilirannya akan melahirkan kembali seorang hamba dengan komitmen spiritual yang baru. Pasca Arafah, dia berkomitmen akan menjalani kehidupan edisi revisi. Edisi kehidupan yang selalu ia arahkan di jalan yang diridhaiNya, tidak di jalan yang tidak perkenankanNya. Edisi kehidupan yang tidak menyisakan satu space kecilpun kecuali diisi oleh kahadiran Allah. 
Wallahu A'lam.

Oleh: Nasaruddin Idris Jauhar