Spiritualitas di Antara Pengalaman Transendensi Manusia dan Ilusi Kecerdasan Buatan
Laduni.ID, Jakarta - Sepuluh tahun lalu, saya tidak pernah membayangkan ada mesin teknologi yang dapat mengisi “perasaan” manusia. Kalau menggantikan aspek kognitif masih bisa dipahami, karena sekian puluh tahun lalu, alat ukur intelektual telah menjadi rujukan kemampuan cerna otak (kecerdasan) manusia. Namun, hadirnya mesin yang diinsersi kemampuan analitik dengan algoritma matematik mulai memenuhi ruang “rasa” bahkan petunjuk batin dan medium spiritualitas manusia membuat saya agak terheran.
Salah satu negara yang pertama kali memanfaatkan AI untuk “menggantikan” peran tokoh agama adalah Jepang. Robot bernama Mindar digunakan di Kuil Kodaiji di Kyoto. Fungsi dan tujuan dari robot humanoid ini konon menyerupai dewi welas asih Kannon Bodhisattva. Fungsi dari mesin tersebut diprogram yang dapat menyampaikan khotbah tentang ajaran Buddha, khususnya Sutra Hati. Konon, tujuannya adalah untuk menarik minat kaum muda dan membuat ajaran Buddha agar lebih mudah diakses di era modern, dengan harapan orang-orang akan datang dan merenungkan esensi ajaran tersebut.
Meskipun robot ini dapat berinteraksi dan berkhotbah, sementara para pemuka agama manusia di kuil tersebut tetap ada dan menganggap Mindar sebagai alat untuk menyebarkan ajaran, namun pelan tapi pasti bukan tidak mungkin akan menggeser peran pendeta sepenuhnya. Para ahli dan tokoh agama sendiri berpendapat bahwa AI, sebagai mesin tanpa akal dan rasa, robot cerdas tidak dapat menggantikan peran manusia seutuhnya. Apalagi memberikan fatwa atau bimbingan spiritual mendalam yang memerlukan pemahaman konteks sosial dan empati. Tetapi, jika hal tersebut tidak ada batas-batas tegas bukan tidak mungkin AI akan benar-benar nyata bagi manusia modern.
UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN
Masuk dengan GoogleDan dapatkan fitur-fitur menarik lainnya.
Support kami dengan berbelanja di sini:
Rp399.000
Rp492.000
Rp661.000
Rp530.000
Memuat Komentar ...