Mengurai Akhlak, Moral dan Etika dalam Dunia Pendidikan

 
Mengurai Akhlak, Moral dan Etika dalam Dunia Pendidikan
Sumber Gambar: muslimhomeschool.net, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Secara bahasa, akhlak atau budi pekerti disamakan dengan kata “moral” atau “ethic”, yang sama-sama berasal dari bahasa Yunani, yaitu “mores” dan “ethicos”, yang  bermakna adat kebiasaan. Penulis berpendapat bahwa tatanan moral, akhlak dan budi pekerti ini berasal dari dari adat kebiasaan, karena memang tatanan moral atau akhlak adalah sesuatu yang ditanam di dalam hati dalam waktu yang lama, sehingga menjadi bagian dari kepribadian seseorang.

Al-Ghazali di dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin mendefinisikan akhlak ini sebagai suatu perangai atau watak dan tabiat yang menetap kuat di dalam jiwa seseorang, dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.

Berangkat dari pemaparan Al-Ghazali tersebut, penulis menyimpulkan bahwa apabila tabiat atau perangai seseorang itu baik, maka akan lahir akhlak yang baik atau al-akhlak al-karimah, dan sebaliknya  jika tabit atau perangai seseorang itu buruk, maka akan lahir akhlak tercela atau al-akhlak al-madzmumah. Dengan demikian, peran akhlak sangat penting dalam kehidupan manusia, terlebih karena manusia adalah makhluk sosial, atau yang menurut Aristoteles disebut sebagai Zoon Politicon.

Dalam kaitannya sebagai makhluk sosial, kiranya akhlak dan etika ini menempati urutan yang pertama, sehingga dengannya muncul pribadi-pribadi yang bukan hanya saja sholeh secara individual, juga diharapkan akan muncul pribadi-pribadi yang sholeh secara sosial.

Mengenai pentingnya akhlak yang baik, Rasulullah SAW menyatakan dengan terang bahwasanya beliau tidaklah diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak yang sholeh, sebagaimana Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلاَقِ

“Rasulullah SAW bersabda, “Susungguhnya tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak yang baik/sholeh.” (HR. Ahmad)

Hadis tersebut pada hakikatnya memberikan informasi kepada kita sebagai umat Islam, bahwasanya peran akhlak sangat dominan di dalam kehidupan, sehingga Rasulullah SAW mengibaratkannya, bahwa beliau tidaklah diangkat menjadi seorang nabi dan rasul kecuali bertujuan untuk menyempurnakan akhlak umatnya.

Dalam sebuah Hadis disebutkan:

عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍوبن العاص، حِينَ قَدِمَ مَعَ مُعَاوِيَةَ إِلَى الْكُوفَةِ فَذَكَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا وَقَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَخْيَرِكُمْ أَحْسَنَكُمْ خُلُقًا

"Diriwayatkan dari Masruq, menuturkan; ketika Abdullah bin Amr bin Ash r.a. dan Muawiyah datang ke kota Kufah, kami menghadap beliau, kemudian beliau ingat sabda Rasulullah SAW, 'Janganlah jadi orang yang buruk budi pekertinya!' Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik budi pekertinya.'" (HR. Bukhari dan Muslim)

Apabila dilihat secara tekstual, Hadis tersebut mengungkapkan hakikat manusia yang sebenarnya. Manusia yang utama dan mulia bukanlah manusia yang hanya memiliki harta kekayaan berlimpah dan jabatan yang prestisius. Tetapi, manusia yang mulia lagi sempurna adalah orang yang memiliki akhlak dan budi pekerti yang luhur. Karenanya, Nabi Muhammad SAW diutus ke muka bumi ini tiada lain kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Ibarat bangunan yang terdiri dari tumpukan batu bata, beliau adalah batu terakhirnya yang diletakkan untuk menjadikan bangunan tersebut sempurna.

Jadi, sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, sebenarnya tatanan moral manusia sudah ditata oleh para nabi dan rasul terdahulu. Akan tetapi belum sampai sempurna. Maka, Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir yang bertugas untuk menyempurnakannya. Oleh karena itu, umat beliau, yaitu kaum mukminin, yang memiliki akhlak ini, disebut sebagai manusia yang sempurna citranya. Semakin mulia akhlaknya, semakin sempurna pula citranya di sisi Allah SWT.

Untuk mencetak generasi-generasi yang unggul, sejatinya instansi ataupun lembaga-lembaga pendidikan harus menimbang tiga faktor penting, yakni Afektif, Psikomotorik dan Kognitif. Ketiga faktor ini harus berjalan, seiring dan seirama, mengingat rusaknya akhlak dan meningkatnya dekadensi moral di kalangan pelajar saat ini merupakan imbas dari pendidikan yang kurang mempertimbangkan keseimbangan, keutuhan, dan keselarasan ketiga faktor tersebut di atas.

Oleh karena itu, penulis memandang bahwa adanya fenomena anarkisme pelajar mulai dari kasus tawuran, demonstrasi yang anarkis, penyalahgunaan obat-obatan, seks bebas dan lain sebagainya, disebabkan tidak utuhnya proses pendidikan, baik di sekolah-sekolah ataupun di universitas-universitas. Dengan kata lain, pada umumnya sekolah-sekolah dan universitas-universitas saat ini tampaknya hanya menekankan faktor kognitif seorang pelajar daripada faktor-faktor yang lain.

Mengutip keterangan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab Adab Al-Alim wa Al-Muta’allim, setidaknya ada tiga pandangan tentang kedudukan akhlak pada diri seorang pelajar. Pertama, akhlak sebagai amalan utama. Kedua, akhlak sebagai media untuk menerima nur dan ilmu dari Allah SWT. Ketiga, akhlak sebagai sarana mencapai ilmu yang bermanfaat.

Di dalam Islam, para ulama telah memformulasikan konsep akhlak ini sebagai nur atau cahaya dari Allah. Maksudnya adalah bahwa ilmu yang dibarengi dengan akhlak yang baik adalah cahaya yang bersinar, yang menerangi kegelapan. Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh Najmuddin Amin Al-Kurdi di dalam Kitab Tanwirul Qulub fi Mu’amalati ‘Allamil Ghuyub. Beliau menegaskan bahwa setiap maksiat yang dilakukan adalah penghalang tercapainya ilmu yang bermanfaat, karena ilmu itu pada dasarnya adalah nur atau cahaya yang dihujamkan dalam hati, sedang maksiat justru mematikan nur tersebut.

Dari pemaparan di atas, dapat kita pahami bahwa relevansi antara akhlak dan ilmu yang bermanfaat sangat erat kaitannya. Hal ini dapat dipandang dari istilah, bahwa ilmu yang bermanfaat akan selalu memberikan cahaya kebaikan kepada yang punya dan orang lain. Sedangkan memberikan kebaikan kepada orang lain tidak bisa diterapkan tanpa divisualisasikan dengan akhlak yang baik.

Jadi, kiranya ke depan pendidikan akhlak ini hendaknya menjadi barometer untuk mengetahui kesuksesan pelajar di dalam menuntut ilmu dan juga menjadi acuan apakah ilmu yang didapat dari sekolah atau universitas tersebut menjadi ilmu nafi’ (bermanfaat) atau malah menjadi bumerang? Wallahu A’lam bis Showab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 23 Agustus 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Mohammad Khoiron

Editor: Hakim