Kisah Seorang Ilmuan Jepang yang Hafal Al-Qur’an dan Kuasai 30 Bahasa

 
Kisah Seorang Ilmuan Jepang yang Hafal Al-Qur’an dan Kuasai 30 Bahasa

Oleh ALWI HUSEIN AL HABIB *)

LADUNI.ID, Jakarta - Adalah Toshihiko Izutsu. Dia lahir pada 4 Mei 1914 di Tokyo dan meninggal di Kamakura pada 7 Januari 1993. Ia berasal dari keluarga yang taat. Dia telah mengamalkan ajaran Zen Buddhisme sejak kecil. Bahkan, pengalaman bertafakur dari praktik ajaran Zen sedari muda telah turut memengaruhi cara berpikir dan pencariannya akan kedalaman pemikiran filsafat dan mistisisme.

Izutsu menyelesaikan pendidikan tingkat perguruan tinggi di Universitas Keio Tokyo. Di tempat inilah dia juga mengabdikan dirinya sebagai dosen dan mengembangkan karier sebagai seorang intelektual yang diakui di dunia. Beliau mengajar di sini dari tahun 1954 sampai dengan 1968 dan mendapatkan gelar Profesor Madya pada tahun 1950.

Akhirnya, beliau juga mendapatkan gelar profesornya di universitas yang sama. Atas permintaan Wilfred Cantwell Smith sebagai direktur kajian Islam di Universitas MacGill Montreal Canada, dia bersedia menjadi profesor tamu yang dijalaninya antara tahun 1962-1968 dan selanjutnya menjadi profesor di universitas ini antara tahun 1969-1975.

Setelah mengajar di MacGill, dia berhijrah ke Iran untuk menjadi pengajar di Imperial Iranian Academy of Philosophy sebagai pemenuhan undangan koleganya, Seyyed Hossein Nasr, antara tahun 1975 sampai dengan 1979. Setelah itu, Izutsu kembali ke tanah airnya dan menjadi profesor emiritus di Universitas Keio hingga akhir hayatnya. Selain itu, dia adalah penggiat di beberapa lembaga keilmuan, seperti Nihon Gakushiin (The Japan Academy) pada tahun 1983, Institut International de Philosophy di Paris pada tahun 1971 dan Academy of Arabic Language di Kairo Mesir pada tahun 1960.

Izutsu juga memiliki beberapa kegiatan yang dilakukan di luar negeri yaitu Pelawat Rockefeller (1959-1961) di Amerika Serikat dan Eranos Lecturer on Oriental Philosophy di Switzerland antara tahun 1967-1982.

Izutsu adalah seorang sarjana yang jenius. Ia menguasai banyak bahasa dunia. Ia menguasai lebih dari 30 bahasa, termasuk bahasa Persia, Sansekerta, Pali, Cina, Rusia, dan Yunani. Kemampuan Izutsu dalam bidang bahasa memungkinkannya untuk melakukan penelitian terhadap kebudayaan-kebudayaan dunia dan menjelaskan secara spesifik berbagai sistem keagamaan dan filsafat melalui bahasa aslinya.

Bidang kegiatan penelitiannya sangat luas, mencakup filsafat Yunani kuno, filsafat Barat abad pertengahan, mistisisme Islam (Arab dan Persia), filsafat Yahudi, filsafat India, pemikiran Konfusianisme, Taoisme China, dan filsafat Zen. Keluasan pengetahuan Izutsu memungkinkan untuk melihat persoalan dari berbagai perpektif, sehingga dapat melahirkan pandangan yang menyeluruh tentang satu masalah.

Izutsu mampu mengkhatamkan Alquran dalam waktu 1 bulan setelah mempelajari bahasa Arab. Hal menakjubkan hasil dari kerja keras lainnya adalah terjemahan langsung pertama Alquran dari bahasa Arab ke Jepang pada tahun 1958. Sejauh berkenaan dengan kajian Islam, kepentingan karya Izutsu terletak pada sebuah pemikiran yang dibentuk oleh Zen Buddhisme, Neo-Konfusianisme, dan Shintoisme (yang merupakan unsur-unsur pembentuk kebudayaan klasik Jepang), yang dipertemukan dengan dunia wahyu Alquran dan pemikiran Islam.

Inilah yang membedakannya dengan sarjana-sarjana orientalis yang menghasilkan begitu banyak karya tentang pemikiran Islam yang merupakan hasil dari tradisi yang dibentuk oleh warisan Yahudi dan Kristen. Bagi Seyyed Hossein Nasr, karya Toshihiko Izutsu dalam bidang kajian Islam menunjukkan betapa pentingnya sebuah pandangan dunia yang dijadikan pijakan oleh seorang sarjana dalam mengkaji dunia intelektual lain dan bagaimana dangkalnya tuduhan-tuduhan yang disampaikan oleh begitu banyak sarjana Barat menurut pengertian mereka.

Baik disadari atau tidak, hal tersebut merupakan alasan yang anti-metafisis, bersifat sekuler, dan rasionalisme Abad Pencerahan. Dalam pandangan Sayyed Hossein, Izutsu adalah seorang sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan seorang tokoh yang mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat.

Sayyed Hossein menyatakan kekagumannya seraya mengatakan bahwa dengan menggabungkan kepekaan Buddhis, disiplin Jepang tradisional, dan bakat yang luar biasa dalam mempelajari bahasa dan kepintaran filsafat yang meliputi kemampuan analitik dan sintetik, dapat melintasi batas-batas kultural dan intelektual, Izutsu dapat dengan mudah memasuki semesta makna yang berbeda dengan wawasan yang hebat.

Dia adalah seorang tidak saja ahli dalam bahasa utama tiga peradaban Timur Jauh, Barat dan Islam, tetapi juga warisan intelektualnya. Ia menulis dengan sangat kompeten tidak hanya tentang Lao-Tse tetapi juga Ibn Arabi dan Mulla Sadra selain juga para ahli filsafat Barat.

Abu Zaid melihat sisi lain dari Izutsu sebagai seorang sarjana yang diberikan bakat luar biasa, yang jarang muncul di lingkungan akademik, karena menghubungkan gagasan-gagasan filsafat dengan teks tertulis yang merujuk pada makna asli dari bahan bacaan kuliahnya. Gaya ini adalah penggabungan wawasan filsafat dan analisis dengan menumpukan perhatian secara cermat pada teks, bahasa, kalimat, kata dan bahkan huruf-huruf, yang menjadikan Izutsu seorang guru yang baik di dalam cara sarjana tradisional yang termasyhur dari pelbagai peradaban yang selalu dijadikan dasar dan asas oleh sebuah teks tradisional.

Bahkan menurut Nasr, kemampuan Izutsu dalam bidang ini telah hilang dalam sebagian besar di dalam pendidikan universitas modern di mana ide-ide filsafat yang diajarkan biasanya terpisah daripada satu analisis yang cermat terhadap teks-teks tradisional tentang dasar daripada pentafsiran klasik.

Berkaitan dengan bagaimana Toshihiko Izutsu memahami kajian teks-teks Islam, William C. Chittick memberikan testimoni bahwa hal ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masa kecilnya, yang dipaksa ayahnya untuk mempraktikkan zen. Toshihiko merasa sangat tidak nyaman dengan pengalaman ini. Akibatnya, ia memutuskan untuk memasuki sebuah bidang yang sejauh mungkin dari pendekatan Zen dalam memahami realitas, dan oleh karena itu ia memilih linguistik.

Sejak itulah, Toshihiko Izutsu mulai mempelajari beberapa bahasa asing. Izutsu tidak hanya tertarik pada aspek intelektual dari semua kajian di atas, tetapi juga aspek estetik dan sebenarnya aspek estetik kehidupan itu sendiri. Sarjana Jepang ini sangat peka terhadap keindahan visual dan lisan.


*) Alwi Husein Al Habib, Ketua Bidang Pemberdayaan Manusia di Center for Democracy and Religious Studies (CDRS) Kota Semarang dan Mahasiswa UIN Walisongo Jurusan Ilmu al Quran dan Tafsir.