Warga Nahdliyin Dimohon Doa untuk Kesembuhan Kiai Ali Yafie

 
Warga Nahdliyin Dimohon Doa untuk Kesembuhan Kiai Ali Yafie

LADUNI.ID, Jakarta - Warga Nahlliyin dimohon mendoakan kesembuhan untuk ulama sepuh KH Ali Yafie bersama Bu Nyai tengah dirawat di Rumah Sakit Premier Bintaro. Meski sedang dalam perawatan, tokoh kelahiran Donggala 97 tahun lalu itu tetap bersemangat dalam menerima tamu.

Seperti dikutip Laduni.id dari laman pwnujatim.or.id, Senin (13/1), di antara tamu istimewanya, adalah Wakil Presiden (Wapres) KH Ma’ruf Amin, yang membesuk.

“Pagi tadi, sebelum berangkat kerja, saya menjenguk KH. Ali Yafie di rumah sakit, di kawasan Bintaro. Beliau seorang ulama fiqh, ketua umum Majelis Ulama Indonesia periode 1998-2000 dan pernah menjabat sebagai pejabat Rais Aam PBNU 1991-1992,” ujar Wapres KH Ma’ruf Amin.

“Semoga beliau lekas sembuh dan dapat kembali beraktivitas seperti biasa. Amin Ya rabbal alamin,” demikian doa dari KH Ma’ruf Amin. Ketika membesuk, Wapres didampingi isterinya, Ny Wuri Handayani dan didampingi Masduki Baidlawi, Wasekjen PBNU.

Sedang tampak dari keluarga Kiai Ali Yafie, sejumlah putranya. Mereka antara lain KH Helmy Ali Yafie dan Ustadz Azmi Ali Yafie. Prof. KH. Ali Yafie adalah mantan Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta setelah Prof. DR. KH. Ibrahim Hosen, LML. Lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, 1 September1926.

Di samping sebagai ulama fiqh dan mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia, ia juga termasuk tokoh Nahdlatul Ulama, dan pernah menjabat sebagai pejabat sementara Rais Aam (1991-1992). Saat ini, ia masih aktif sebagai pengasuh Pondok Pesantren Darul Dakwah Al Irsyad, Pare-Pare, Sulawesi Selatan yang didirikannya tahun 1947, serta sebagai anggota dewan penasihat untuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan terutama juga menjadi guru besar di IIQ Jakarta.

Kiai Ali Yafie memperoleh pendidikan pertamanya pada sekolah dasar umum, yang dilanjutkan dengan pendidikan di Madrasah Asadiyah yang terkenal di Sengkang, Sulawesi Selatan.

Spesialisasinya adalah pada ilmu fiqh dan dikenal luas sebagai seorang ahli dalam bidang ini. Ia mengabdikan diri sebagai hakim di Pengadilan AgamaUjung Pandang sejak 1959 sampai 1962, kemudian inspektorat Pengadilan Agama Indonesia Timur (1962-1965).

Sejak 1965 hingga 1971, ia menjadi dekan di fakultas Ushuluddin IAINUjung Pandang, dan aktif di NU tingkat provinsi. Ia mulai aktif di tingkat nasional pada 1971. Pada muktamar NU 1971 di Surabaya ia terpilih menjadi Rais Syuriyah, dan setelah pemilu diangkat menjadi anggota DPR.

Kemudian ia tetap menjadi anggota DPR sampai 1987, ketika Djaelani Naro, tidak lagi memasukkannya dalam daftar calon.

Sejak itu, Kiai Ali Yafie mengajar di berbagai lembaga pendidikan tinggi Islam di Jakarta, dan semakin aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan di IIQ Jakarta. Berkat pengabdiannya pada Al-Qur’an, pada Muktamar NU di Semarang 1979 dan Situbondo 1984, ia terpilih kembali sehagai Rais, dan di Muktamar Krapyak 1989 sebagai wakil Rais Aam.

Kendati begitu, karena Kiai Achmad Siddiq meninggal dunia pada 1991, maka sebagai Wakil Rais Aam ia kemudian bertindak menjalankan tugas, tanggung jawab, hak dan wewenang sebagai pejabat sementara Rais Aam. Setelah terlibat konflik dengan Abdurrahman Wahid mengenai penerimaan bantuan dari Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial untuk NU, Kiai Ali Yafie menarik diri dari PBNU.